Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Budi Karya dan Operasi Tangkap Tangan: Efektivitas Proses Transformasi

13 Oktober 2016   08:07 Diperbarui: 13 Oktober 2016   16:47 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Perhubungan Budi Karya (dokumentasi MBM Tempo)

Singkat kata, bagi sebagian kalangan, status pegawai negeri sipil adalah anugerah istimewa. Setidaknya menyangkut hak atas gaji pokok, fasilitas, jaminan pensiun dan hari tua. Semua itu hampir dipastikan tak terusik sepanjang yang bersangkutan 'duduk manis' dan 'tidak bertingkah'. Kecuali terlibat atau melakukan hal yang nyata-nyata larangannya tercantum pada undang-undang dan berbagai aturan yang ada. Tindak pidana dan terlibat partai politik adalah 2 hal yang utama.

Kegamangan negara bersikap soal kinerja menyebabkan lahirnya berbagai ketentuan fasilitas tunjangan bagi jabatan dan penugasan yang diberikan. Semakin konyol karena nilainya jauh lebih besar dibanding gaji pokok yang diterima. Arti dari sistem fasilitas tunjangan itu adalah — pada serombongan pegawai yang tak perlu bersusah payah meraih kinerja untuk mempertahankan gaji dan fasilitas pokok yang menjadi haknya — terdapat sejumlah pegawai yang 'diharapkan lebih' melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.

Maka jabatan pun menjadi 'perdagangan' tersendiri yang menggiurkan. Termasuk 'bagaimana dan cara' mempertahankannya. Disanalah benih korupsi, kolusi, dan nepotisme berawal. Lalu 'mendaya gunakan' kekuasaan pada jabatan untuk 'biaya memperoleh dan mempertahankan' jabatan itu sendiri , menemukan logika 'pembenaran'-nya.

Maka menjadi bagian dari aparatur sipil negara dikenal luas sebagai sesuatu yang 'tak mudah dimasuki'. Tapi setelah itu, setiap anggota korps pegawai negeri juga memiliki keistimewaan (privileges) sehingga 'tak mudah dikeluarkan'.

***

Reformasi total terhadap sistem kepegawaian di lembaga-lembaga pemerintah adalah hal yang niscaya. Kesempatan berkarya untuk melayani kepentingan bangsa seharusnya tidak lagi dipertahankan sebagai hak prerogatif mereka yang telah terdaftar dan memiliki nomor pokok pegawai. Nyatakan bahwa semua itu bukan jaminan. Setiap saat — sesuai dengan tuntutan kinerja dan perkembangan zaman — status kepegawaiannya dapat dicabut. Sebaliknya — siapapun yang memenuhi kualifikasi  yang dibutuhkan dan dapat melaksanakan tugas pokok dan fungsi yang ditetapkan — memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan mereka yang selama ini sudah terdaftar di sana.

Mereka yang kini sudah terdaftar dan bekerja pada institusi pemerintahan tentu memiliki kesempatan pertama untuk mempertahankan karirnya. Tapi bukan jaminan jika kalah bersaing dengan yang dari luar lingkungan mereka. 

Dengan demikian, renumerasi Aparatur Sipil Negara dapat disusun secara terukur dan bertanggung jawab. Penyingkiran terhadap mereka yang tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi dapat dilaksanakan. Sebab, segala sesuatu memang diukur dari indikator kinerja kunci (key performance indicators) yang ditetapkan.

Persoalannya, organisasi pemerintah yang sesungguhnya berfungsi mewakili negara untuk melayani masyarakat itu harus mampu merumuskan 'tingkat pelayanan standar' yang wajib dipenuhinya (level of services agreement). Sebab, pada kesepakatan yang terukur itulah dasar penetapan capaian kinerja aparat pemerintah dapat dicermati secara obyektif.

***

Budi Karya — sebagaimana pemimpin-pemimpin lembaga negara lainnya — juga mewarisi kekacauan sistem organisasi dan sumberdaya manusia yang telah berlangsung sejak republik ini merdeka. Sesuatu yang tidak mungkin bisa dihindarinya. Sebaliknya, ia harus terlibat aktif membenahi sekaligus mengawal proses transformasi seluruh organisasi di departemennya untuk meyakini dan melakoni budaya kerja yang dicita-citakan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun