Begitu juga ketika beredar kabar alumni yang bukan karena memperkaya diri, menyalah-gunakan jabatan, ataupun dengan sengaja merugikan kepentingan publik, tapi bernasib sial karena dikriminalisasi oleh kekuasaan. Sikap diam seribu bahasa tanpa memberikan dukungan semestinya - atau sekedar pendapat yang mencerahkan - dari Ikatan Alumni itu, merupakan bentuk kekecewaan lain yang mengusik martabat mereka.
Kepedulian dan sikap para kandidat yang menjagokan diri menjadi Ketua Ikatan Alumni ITB kali ini, terhadap issue-issue mengecewakan itu, sesungguhnya sangat mungkin digali dan ditelisik secara mendalam. Sebab, membangun dan menyediakan kanal-kanal interaktif yang dibutuhkan telah begitu dimudahkan oleh teknologi mutakhir yang digunakan untuk hal teknis proses pemilihan yang diterapkan.
Jadi, ditengah keterpurukan moralitas bangsa Indonesia akibat kekacauan politik dan prilaku kekuasaan yang berlangsung hari ini, kerinduan pada keterbukaan, akuntabilitas, serta kesempurnaan prinsip dan nilai-nilai integritas yang diyakini setiap kandidat sesungguhnya telah terbuka begitu lebar. Tapi nyatanya, peluang itu tak disikapi sebagaimana mestinya.
Semua kandidat masih sibuk melakoni gaya lama melalui pertemuan-pertemuan tatap muka secara fisik yang sebetulnya bagian dari cara-cara yang telah usang. Padahal mereka berharap mendulang suara dari the ‘silent majority‘ yang selama ini tak pernah hadir, cuek ataupun kecewa tadi. Jika ketiga sinyalemen soal rendahnya tingkat partisipasi alumni tadi benar maka ajakan, gagasan, dan rencana kerja berjihad dari pengurus yang terpilih untuk menepis semua itu, adalah hal yang niscaya.
***
Apakah karena kampus itu berada di tanah Parahyangan sehingga kami semua menganggap diri seperti sang legenda Sangkuriang yang dalam tempo semalam mampu menciptakan gunung Tangkuban Perahu?
***
Alumni ITB memang selalu menepis kata tidak mungkin ataupun terlambat. Dan siapapun Ketua Ikatan Alumni yang terpilih besok, harus menerima tugas dan tantangan yang sungguh berat untuk memikirkan dan mencari jalan keluar dari absurditas yang diuraikan di atas.
Selain harus mampu merangkul kembali mayoritas alumni yang mengacuhkan lembaga yang dipimpinnya, gagasan untuk mengembalikan martabat yang tercoreng hari ini semestinya digarap dan dikembangkan sungguh-sungguh. Melembagakan sejenis Dewan Kehormatan Alumni yang berfungsi untuk ‘mengadili’ anggota yang lancung, nista, dan murtad sangat perlu dipertimbangkan sebagai salah satu capaian kepengurusannya. Begitu pula dengan lembaga yang memberikan advokasi terhadap alumni-alumni yang dizalimi ataupun diperlakukan semena-mena oleh kekuasaan.
Percayalah, keberhasilan IA ITB membenahi diri dan keluar dari kemelut laten ini akan menjadi role-model Indonesia. Karena mereka adalah putera-puteri terbaik bangsa.