Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

IA ITB : Belum 'Move On' dan Kurang 'Jihad'

23 Januari 2016   00:41 Diperbarui: 23 Januari 2016   00:54 3291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Rekan-rekan saya dari ITB memang sering selangkah di depan zaman. Terutama untuk hal yang berkait dengan teknologi. Kami memang berasal dari institusi pendidikan tinggi ternama di Indonesia yang menekuni bidang itu.

Besok kami menyelenggarakan perhelatan akbar : kongres sekaligus memilih ketua ikatan alumni. Untuk itu, kami mengaplikasikan teknologi masa kini dalam proses pemungutan suaranya. Rekan-rekan alumni yang tersebar di segenap pelosok tanah air - juga di seluruh penjuru dunia - kini dimungkinkan berpartisipasi aktif tanpa perlu hadir di Bandung ataupun kota-kota lain yang menyediakan tempat pemungutan suara. Kami telah berkemampuan untuk memilih - sekaligus memiliki - cara yang paling efektif dan efisien pada hari ini. Setiap alumni yang ingin berpartisipasi menyuarakan aspirasi dan menggunakan hak pilih tak perlu lagi banyak mengorban waktu ataupun biaya. Tentu saja sepanjang yang bersangkutan terjangkau akses internet yang menjadi prasarat beroperasinya cara ini.

Oleh karena itu, jika faktor kemudahan menjadi salah satu tolak ukur demokratisasi maka pemilihan Ketua Ikatan Alumni ITB kali ini sungguh sudah mencapainya. Sebuah terobosan yang layak dipertimbangkan dan dikembangkan untuk menyempurnakan tata-cara berbagai pesta demokrasi yang berlangsung di tanah air. Termasuk ketika memilih anggota lembaga legislatif, kepala daerah maupun presiden Indonesia yang masing-masing selalu berulang setiap 5 tahun sekali.

TAPI,

Seperti banyak kejadian yang kami lakukan ketika menghadirkan dan menerapkan teknologi dalam banyak aspek kehidupan praktis sehari-hari, kami kerap gagal melakukan ‘proses rekayasa‘ (to engineering) atau ‘menyusun rancangan proses kayasa’ (engineering design) yang dibutuhkan pada habitat atau lingkungan sosial dimana teknologi rekayasa itu diperkenalkan dan diterapkan.

Kami sering terjebak dengan teknologi rekayasa itu sendiri.

Kami sering alpa menyiapkan dan merekayasa habitat dimana teknologi itu ditempatkan.

Teknologi hadir untuk memangkas pengorbanan manusia dalam melakoni aktivitas sehari-sehari sehingga ia dapat lebih leluasa menguak rahasia alam-semesta dan menikmati anugerah kehidupan yang fana ini. Jadi, kehadiran teknologi sesungguhnya ditujukan untuk memberi manfaat yang lebih menguntungkan pada suatu tatanan.

Meski demikian, pada mulanya ia tetaplah sesuatu yang asing. Ia bukan bagian dari lakon sehari-hari yang berada di tatanan itu. Agar kehadirannya beradaptasi dan teradaptasi sempurna, maka perlu diupayakan rekayasa terhadap berbagai unsur lain yang terkait. Sebagian adalah yang ada dan menjadi bagian dari lingkungan itu sendiri.

Pada pemilihan ketua ikatan alumni sebelumnya, kami masih mengandalkan cara tradisional. Alumni yang memiliki hak suara dan ingin menggunakan - pada hari yang ditetapkan - datang ke bilik-bilik suara di tempat pemungutan yang disiapkan. Lalu mencoblos pilihannya.

Alumnus ITB tentu saja masuk kelompok masyarakat Indonesia yang memiliki tingkat literasi tertinggi dalam hal menggunakan teknologi yang demikian jika diterapkan pada sebuah proses pemungutan suara. Mengajarkan tata-cara menggunakannya dapat dikategorikan sebagai ‘mengajarkan ikan berenang’. Lebay, bukan?

Lalu, mengapa angka yang berminat dan terverifikasi hingga hari terakhir pendaftaran kali ini belum mencapai 10 persen dari perkiraan 160 ribu jumlah alumni yang ada?

Rupanya kami alpa, atau mungkin tak mengacuhkannya.

Persoalan ternyata bukan semata kemudahan menggunakan hak suara untuk menentukan pilihan pada sosok yang layak menjadi ketua ikatan alumni kami. Rendahnya angka pendaftaran yang akan berpartisipasi pada pesta demokrasi akhir pekan ini mengisyaratkan beberapa hal prinsip dan mendasar yang perlu segera difikirkan ‘proses rekayasa’-nya.

Pertama, apakah mayoritas alumni ITB itu tidak terinformasi dengan baik sehingga tak mengetahui hajatan tersebut?

Kedua, apakah mereka yang melek teknologi dan memiliki aksesibilitas internet hampir sempurna itu, sesungguhnya sudah tahu tapi - karena satu dan lain hal - tak berminat berpartisipasi pada proses pemilihan yang akan berlangsung besok?

Ketiga, apakah mereka yang tak sudi terlibat itu sesungguhnya tak menganggap lagi dirinya bagian dari paguyuban yang sedang heboh digembar-gemborkan?

INDIVIDUALISTIS

Jika karena tak terinformasi dengan baik seperti alasan pertama yang disebutkan, saya kira ini persoalan yang cukup serius. Lazimnya, diantara sesama alumni yang berasal dari angkatan dan jurusan yang sama, satu dengan yang lain masih memelihara silaturahmi. Apalagi setelah teknologi komunikasi digital dan sosial media berkembang pesat beberapa tahun terakhir ini. Reuni - anjang sana dengan sahabat maupun kerabat setelah sekian lama terpisah - sudah menjadi bagian dari gaya hidup sehari-hari.

Jika ada penelitiannya, rata-rata frekuensi aktivitas reuni yang diikuti seseorang di era digital ini, sangat mungkin jauh lebih tinggi dibanding mereka yang hidup di era teknologi analog sebelumnya. Reuni sesama calon pembantu rumah tangga yang bertemu di kereta api ketika menuju suatu kota saja kini semakin jamak berlangsung.

Dari data alumni yang terdaftar di situs I-Vote IA ITB, dapat terlihat jelas bahwa setiap angkatan mulai dari tahun 1958 hingga yang termuda, sesungguhnya sudah ada yang mewakili. Tentulah wajar jika mereka yang sudah mendaftar dan terverifikasi meneruskan informasi kepada - atau mengajak rekan-rekan lain - yang memiliki kedekatan dengannya. Setidaknya kepada mereka yang berasal dari angkatan dan disiplin ilmu yang sama. Atau teman satu pondokan. Bekas pacar. Rekan yang sama-sama aktif di salah satu unit kegiatan atau organisasi ketika masih di kampus dulu. Dan seterusnya.

Jadi, jika fenomena rendahnya partisipasi alumni yang mendaftarkan diri dikaitkan dengan alasan yang pertama itu maka tuduhan ‘individualistis’ menjadi sangat beralasan. Artinya, ada sikap acuh dan ketidak-pedulian yang berlebihan diantara sesama alumni yang digadang-gadang kebersamaannya.

Gawat, bukan?

EXCLUSIVISME

Alumni ITB umumnya cerdas dan cerdik. Sulit mengelabui mereka dengan jargon dan janji-janji muluk yang tak berdasar. Seperti yang pernah saya ungkapkan sebelumnya, normative issues yang selalu dikemukakan setiap kandidat Ketua IA ITB - sejak yang pertama hingga yang terakhir kali ini - nyata dan jelas tak pernah terbukti direalisasikan sungguh-sungguh saat yang bersangkutan naik ke panggung. Gegap gempita kampanye yang digencarkan tak beda jauh dengan calon-calon wakil rakyat yang ingin duduk di lembaga legislatif, ataupun kepala daerah yang ingin dipilih rakyat. Pengalaman Indonesia sejak Reformasi 1998, sebagian besar janji-janji itu memang omong kosong, bukan?

Pemilu, Pilkada, atau Pilpres memang melibatkan masyarakat pemilih yang amat beragam latar belakang ‘keluguan’, ‘kebodohan’, ‘kemiskinan’, dan ‘keimanan’-nya. Dalam kelompok terbatas yang tersaring ketat seperti alumni ITB, tentulah rentang keragaman itu jauh lebih sempit. Baik soal ‘keluguan’-nya, ‘kebodohan’-nya, ‘kemiskinan’-nya, maupun ‘keimanan’-nya.

Jika demikian, kehebohan dan hingar-bingar yang berlangsung ini sangat mungkin dipandang oleh mayoritas yang tak sudi mendaftarkan dirinya sebagai persoalan exclusive mereka yang berminat naik ke atas panggung beserta segelintir simpatisannya. Seolah-olah keramaian yang berlangsung hanya tentang ‘mereka’. Bukan tentang ‘kita’.

Dalam hal ini, tingkat kecerdasan dan kecerdikan alumni ITB justru menjadi hambatan penting. Sulit ditembus urusan kelabu-mengkelabui ataupun kampanye yang abal-abal. Dan sayangnya, para kandidat yang tampil hari ini pun belum terlihat ‘move on’ juga. Persis seperti fenomena katak yang direbus.

Perhatikan saja pola dan cara mereka merangkul suara pemilih. Tak satupun yang menyediakan layanan tanya-jawab langsung yang berpeluang menggali konsep dan gagasan mereka jika kelak terpilih. Setidaknya untuk menanggapi hal-hal yang menyuburkan apatisme, menepis keraguan, membangun kebersamaan, ataupun membantah tuduhan exclusivisme itu.

Kemajuan teknologi yang didaya-gunakan untuk teknis proses pemilihan ternyata tak digunakan pada proses diseminasi pemikiran dan gagasan mereka yang menjajakan dirinya sebagai ketua Ikatan Alumni paling layak pada periode 2016-2020 ini. Bukankah kini menyediakan layanan FAQ (frequently asked questions) maupun QA (question and answer) itu kini merupakan hal yang jauh lebih mudah dan sangat dimungkinkan dibanding masa sebelumnya?

MARTABAT 

Walaupun bukan soal yang sederhana, alasan pertama dan kedua sesungguhnya masih menyisakan celah positif. Sebab, mereka yang tak berpartisipasi karena kedua alasan itu masih berada di dalam lingkaran kebangsaan (nation) ITB. Walau kecewa tapi belum berniat menanggalkan ‘kewarga-negaraan’-nya.

Tidak demikian dengan alasan yang ketiga. Mereka bukan sekedar cuek tapi telah enggan mengakui dirinya bagian dari ikatan itu. Hal ini tentu sangat mengecewakan. Bukan hanya bagi almamater tapi juga alumni itu sendiri.

Mengapa sampai demikian?

Pasti bukan karena alasan yang tunggal. Sangat mungkin karena sejumlah hal yang berlapis dan saling menyempurnakan kekecewaannya. Karena mudarat yang dirasakan jauh melebihi manfaat yang diperoleh.

Diantara sekian banyak alasan, soal martabat adalah salah satunya. Keberadaan alumni yang nyata-nyata berbuat hal yang nista, ataupun murtad terhadap janji sarjana yang pernah diucapkannya, sangat mungkin mengusik integritas dan harga diri mereka. Dan kenyataannya, Ikatan Alumni ITB tak bersikap apapun terhadap semua yang mencoreng kebanggaan korps yang ingin diagungkannya.

Begitu juga ketika beredar kabar alumni yang bukan karena memperkaya diri, menyalah-gunakan jabatan, ataupun dengan sengaja merugikan kepentingan publik, tapi bernasib sial karena dikriminalisasi oleh kekuasaan. Sikap diam seribu bahasa tanpa memberikan dukungan semestinya - atau sekedar pendapat yang mencerahkan - dari Ikatan Alumni itu, merupakan bentuk kekecewaan lain yang mengusik martabat mereka.

Kepedulian dan sikap para kandidat yang menjagokan diri menjadi Ketua Ikatan Alumni ITB kali ini, terhadap issue-issue mengecewakan itu, sesungguhnya sangat mungkin digali dan ditelisik secara mendalam. Sebab, membangun dan menyediakan kanal-kanal interaktif yang dibutuhkan telah begitu dimudahkan oleh teknologi mutakhir yang digunakan untuk hal teknis proses pemilihan yang diterapkan.

Jadi, ditengah keterpurukan moralitas bangsa Indonesia akibat kekacauan politik dan prilaku kekuasaan yang berlangsung hari ini, kerinduan pada keterbukaan, akuntabilitas, serta kesempurnaan prinsip dan nilai-nilai integritas yang diyakini setiap kandidat sesungguhnya telah terbuka begitu lebar. Tapi nyatanya, peluang itu tak disikapi sebagaimana mestinya.

Semua kandidat masih sibuk melakoni gaya lama melalui pertemuan-pertemuan tatap muka secara fisik yang sebetulnya bagian dari cara-cara yang telah usang. Padahal mereka berharap mendulang suara dari the ‘silent majority‘ yang selama ini tak pernah hadir, cuek ataupun kecewa tadi. Jika ketiga sinyalemen soal rendahnya tingkat partisipasi alumni tadi benar maka ajakan, gagasan, dan rencana kerja berjihad dari pengurus yang terpilih untuk menepis semua itu, adalah hal yang niscaya.

***

Apakah karena kampus itu berada di tanah Parahyangan sehingga kami semua menganggap diri seperti sang legenda Sangkuriang yang dalam tempo semalam mampu menciptakan gunung Tangkuban Perahu?

 

***

Alumni ITB memang selalu menepis kata tidak mungkin ataupun terlambat. Dan siapapun Ketua Ikatan Alumni yang terpilih besok, harus menerima tugas dan tantangan yang sungguh berat untuk memikirkan dan mencari jalan keluar dari absurditas yang diuraikan di atas.

Selain harus mampu merangkul kembali mayoritas alumni yang mengacuhkan lembaga yang dipimpinnya, gagasan untuk mengembalikan martabat yang tercoreng hari ini semestinya digarap dan dikembangkan sungguh-sungguh. Melembagakan sejenis Dewan Kehormatan Alumni yang berfungsi untuk ‘mengadili’ anggota yang lancung, nista, dan murtad sangat perlu dipertimbangkan sebagai salah satu capaian kepengurusannya. Begitu pula dengan lembaga yang memberikan advokasi terhadap alumni-alumni yang dizalimi ataupun diperlakukan semena-mena oleh kekuasaan.

Percayalah, keberhasilan IA ITB membenahi diri dan keluar dari kemelut laten ini akan menjadi role-model Indonesia. Karena mereka adalah putera-puteri terbaik bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun