[caption caption="The Few, The Proud, The Alumni"][/caption]
Ikatan alumni adalah soal kekeluargaan. Mereka terpaut pada asal lingkungan yang sama. Sebuah locus. Mesti tak hadir di sana pada waktu yang sama.
Keterpautan itu hadir karena sederet kenangan. Sejumput kebanggaan. Sejumlah harapan. Atau sekedar angan-angan.
Bagi saya, Ikatan Alumni ITB merupakan ikhtiar untuk membangun, memelihara dan mempertahankan sebuah keluarga yang layak dikenang, pantas dibanggakan, selalu diharapkan, dan enak diangan-angankan. Suatu upaya untuk menunaikan Janji Sarjana yang dulu dilafazkan sepenuh hikmat :
“Kami berjanji akan tetap setia dan mengabdi kepada almamater kami yang agung, Institut Teknologi Bandung”
***
Kebersamaan alumni tentu bukan untuk mengabaikan hal-hal yang nista. Tapi sebagai upaya untuk menegakkan moral dan etika dalam menggapai nilai-nilai luhur dan paripurna.
Kekeluargaan alumni mestinya tak pernah menghendaki yang durhaka. Ia adalah wadah yang patut terus-menerus mengingatkan, memelihara, dan mengembangkan norma dan keyakinan agar tak ada yang lancung ataupun terperosok pada kubangan yang terkutuk.
***
Maka Ikatan Alumni ITB semestinya juga tentang martabat. Sebuah jejaring yang tak membiarkan setitik nilapun bakal merusak sebelanga susunya.
Dari masa ke masa - seperti juga yang sedang terjadi kali ini - pemilihan Ketua Ikatan Alumni ITB selalu berkutat pada normative issues yang usang dan segera menguap hampir tak berjejak setelah kongres dan pesta usai. Gagasan dan janji-janji kampanye yang jika dari mula pertama hingga yang mutakhir dipersandingkan satu per satu, isinya hampir selalu sama dan hanya berbeda dalam kemasan. Dan faktanya, kemeriahan itu hanya mampu menggoda segelintir dari jumlah yang terlegitimasi.
Jika demikian maka pantaslah sebuah pertanyaan nyinyir dilesakkan : apakah sebagian besar alumninya yang tak tertarik berpartisipasi pada perhelatan yang diselenggarakan setiap 4 tahun sekali itu hilang kepedulian pada ikatan kekeluargaan mereka?
Bisa pula pertanyaan diubah seperti ini : apakah formalisasi ikatan kebersamaan itu hanya kepentingan segelintir alumni yang karenanya mungkin ‘diuntungkan’ secara pribadi atau kelompok?
Mungkin kita sungkan menelisik. Mungkin disana ada soal martabat. Mungkin ada luka yang perih dan malu yang tak tertahankan pada mayoritas yang diam.
***
Setidaknya ada 3 fenomena buruk yang perlu disikapi oleh Ikatan Alumni ITB, siapapun yang memimpinnya.
Pertama, terkait dengan para alumni yang disangka atau ditetapkan sebagai terpidana korupsi dan memang terbukti memperkaya diri sendiri atau kelompoknya.
Kedua, terkait alumni-alumni yang disangka maupun ditetapkan sebagai pelaku korupsi hanya karena persoalan prosedur administrasi dan birokrasi tapi senyatanya tak terbukti memperkaya diri sendiri ataupun kelompok tertentu.
Ketiga, terkait dengan para alumni yang mundur atau menyerah kalah dari tanggung-jawab yang ia minta dan diamanatkan padanya.
Ikatan Alumni ITB sudah saatnya mempertimbangkan formalisasi lebih jauh tentang legitimasi alumninya. Sebagai sebuah keluarga besar yang dibangun atas kenangan indah yang tak tergantikan, harapan yang luhur, kebanggaan yang paripurna, dan angan-angan yang setinggi langit, ia harus mampu bersikap : menghardik yang lancung, mengenyahkan yang murtad, tapi juga membela dan melindungi sepenuhnya mereka yang teraniaya dan dizalimi.
Alumni memang niscaya tapi biarlah ikatan kekeluargaannya sebagai sebuah pilihan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H