Maka Ikatan Alumni ITB semestinya juga tentang martabat. Sebuah jejaring yang tak membiarkan setitik nilapun bakal merusak sebelanga susunya.
Dari masa ke masa - seperti juga yang sedang terjadi kali ini - pemilihan Ketua Ikatan Alumni ITB selalu berkutat pada normative issues yang usang dan segera menguap hampir tak berjejak setelah kongres dan pesta usai. Gagasan dan janji-janji kampanye yang jika dari mula pertama hingga yang mutakhir dipersandingkan satu per satu, isinya hampir selalu sama dan hanya berbeda dalam kemasan. Dan faktanya, kemeriahan itu hanya mampu menggoda segelintir dari jumlah yang terlegitimasi.
Jika demikian maka pantaslah sebuah pertanyaan nyinyir dilesakkan : apakah sebagian besar alumninya yang tak tertarik berpartisipasi pada perhelatan yang diselenggarakan setiap 4 tahun sekali itu hilang kepedulian pada ikatan kekeluargaan mereka?
Bisa pula pertanyaan diubah seperti ini : apakah formalisasi ikatan kebersamaan itu hanya kepentingan segelintir alumni yang karenanya mungkin ‘diuntungkan’ secara pribadi atau kelompok?
Mungkin kita sungkan menelisik. Mungkin disana ada soal martabat. Mungkin ada luka yang perih dan malu yang tak tertahankan pada mayoritas yang diam.
***
Setidaknya ada 3 fenomena buruk yang perlu disikapi oleh Ikatan Alumni ITB, siapapun yang memimpinnya.
Pertama, terkait dengan para alumni yang disangka atau ditetapkan sebagai terpidana korupsi dan memang terbukti memperkaya diri sendiri atau kelompoknya.
Kedua, terkait alumni-alumni yang disangka maupun ditetapkan sebagai pelaku korupsi hanya karena persoalan prosedur administrasi dan birokrasi tapi senyatanya tak terbukti memperkaya diri sendiri ataupun kelompok tertentu.
Ketiga, terkait dengan para alumni yang mundur atau menyerah kalah dari tanggung-jawab yang ia minta dan diamanatkan padanya.