Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Savior

25 Desember 2015   20:46 Diperbarui: 5 Februari 2016   11:03 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Merah Putih"][/caption] Alih-alih meringankan beban dan derita rakyat yang dibujuk-rayu menyerahkan amanah padanya, pemangku kekuasaan justru sibuk mempertontonkan keangkuhan. Mereka bertikai, saling cerca dan ber-'bunuh'-an.  

INDONESIA SEMU

 Kita pernah, dan masih sepakat bahwa penegakan hukum di negeri ini, khususnya soal korupsi-kolusi-nepotisme, teramat lemah. Lembaga terkait yang bertugas dan bertanggung-jawab menumpasnya justru disimpulkan tak mampu sehingga perlu mengadakan lembaga sementara waktu (ad-hoc) yang disebut KPK. Tapi sejak hari pertama keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi itu, justru berbagai kontroversi yang selalu disuguhkan. Orang-orang pilihan yang dipilih dan terpilih di sana terus diguncang. Sebagian besar dimotori oleh mereka yang secara 'de facto' bermasalah walau belum tersimpulkan secara 'de jure'. Dugaan konspirasi kekuasaan begitu kental. Kasar. Norak. Sayangnya, kita cuma bisa menduga-duga. Hingga kini, semua itu memang sulit dibuktikan menggunakan kaidah formalitas hukum yang ada. Walau yang kasat mata terbentang, mustahil berterima dengan akal sehat. Mungkin, pengakuan formal kita pada budaya korupsi-kolusi-nepotisme sebagai akar masalah bangsa, tak pernah disertai dengan penyesalan dan kesadaran yang penuh dan utuh untuk tak mengulanginya. Padahal, formalisasinya telah kita suratkan secara tegas melalui perundang-undangan (lihat UU 31/1999 dan turunannya). Tapi hal yang berlangsung setelahnya bukan tentang penyempurnaan. Kita justru sibuk mencari-cari kelemahan dan kekurangan. Untuk menampik dan mengelak. Mereka lebih sibuk berkelit. Celah dan lubang-lubang yang menganga disana-sini bukan ditutup. Tapi dengan sengaja dikorek-korek. Digali lebih dalam. Kalau perlu, membuat lubang yang baru! Seolah sengaja memupuk rasa putus-asa. Juga membantah harapan. Tatanan legalitas formal yang ada memang penuh 'jebakan'. Jauh dari sempurna. Saat penyusunannya terlihat sangat kental mengakomodasi kepentingan kelompok pelanggeng kekuasaan lampau. Mereka telah menyusup ke dalam. Memanfaatkan peluang. Merekayasanya. Menjadikan tameng untuk menyangkal kebenaran yang kasat mata. Akumulasi jerih payah dan kepiawaian mereka sulit terbantah. Kita hanya mampu terhenyak tak berdaya ketika disuguhkan tontonan laku Setya Novanto bersama para pendukung yang bersikap total tanpa tedeng aling-aling membelanya pada episode 'Papa Minta Saham' kemarin. Makna dan pemahaman etika yang semestinya hanya soal ‘kepatutan dan kepantasan’ telah berputar-balik. Masyarakat terkejut. Bingung. Dan bengong. Hal yang nyata-nyata tak masuk akal terus dipaksakan sebagai kewajaran. Walaupun secara amat tak patut dan sangat tak pantas. Mereka sedang menihilkan yang nyata dan ada!  

INDONESIA SUSUT

 Kenyataannya memang semakin banyak masyarakat yang kian merasakan harapan yang menjauh. Lakon yang dipertontonkan seolah sengaja menciptakan ‘budaya dan prilaku’ apatis. Kita diharapkan gugur satu per satu! Cobalah 'blusukan' ke sanubari siapa saja di berbagai penjuru Nusantara yang (pernah) permai ini. Mulai mereka yang hidup di ibukota republik sampai dusun di kaki gunung, desa di pinggir sawah, maupun kampung di tepi pantai. Dari lapisan yang hidup nyaman di griya tawang hingga mereka yang sehari-hari terlelap beralaskan tikar atau kardus bekas di atas lantai tanah. Hampir tanpa kecuali, semua mencibir. Tak hendak menghiraukannya lagi. Kesimpulan massal yang mutlak soal politik, pemerintahan, dan demokratisasi sosial-ekonomi-budaya hanya pepesan kosong semata, terasa begitu dekat. Seandainya ada keraguan yang bersisa, mungkin hanya pada sekelompok yang teramat kecil. Segelintir mereka yang kini justru leluasa mempertontonkan kepongahan dan keculasannya. Jadi, Indonesia bukan dijerat! Ia justru terjerat oleh laku dan budayanya sendiri. Hal yang kemudian menyebabkannya mudah dipermainkan. Masuk dalam labirin yang penuh jebakan. Oleh ketakutan, kelicikan, kesombongan, dan kerakusan segerombolan manusianya. Dan memang tak ada yang sekonyong-konyong. Kekayaan alam yang hampir habis terkuras - dan sisanya pun kini disandera kepentingan privat maupun asing - bukan diperkosa, tapi justru dilacurkan. Kita tak me-manusia-kan diri kita sendiri. Tapi justru mengerdilkannya secara terencana. Melalui kekuasaan yang tak lelah mempertontonkan kesemena-menaannya. Langsung ataupun tidak, kita diteluh hingga tak berdaya untuk membiarkan mereka menggerogoti dan memiskinkan semangat luhur. Kebersamaan. Gotong-royong. Pantang menyerah. Tolong-menolong. Saling menghormati. Sopan-santun. Hingga cinta dan kebanggaan kepada Bangsa dan Tanah Air sendiri! Ketika yang lain berlomba mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, Indonesia sibuk mengkampanyekan produksi buruh dan tukang. Bukan pemikir, inovator, dan pemimpin! Masyarakat luas dibina untuk memangkas cita-citanya hanya sampai sekolah kejuruan yang dalam perjalanan waktu kalah tanggap dengan tuntutan modernisasi teknologi. Kitapun lengah dan tak pernah sungguh-sungguh mengupayakan nilai tambah dari kekayaan sumber daya alam yang ada. Bahkan untuk sekedar mengembangkan swa-produksi terhadap berbagai kebutuhan mendasar yang dikonsumsi rakyat sehari-hari. Sesederhana apapun itu! Atas nama kebutuhan, kita justru disibukkan dengan perburuan rente untuk mengadakannya dari luar. Tak pernah menggubris peta jalan (roadmap) untuk menyiasati ketergantungannya. Di sisi lain, di tengah ketidak berdayaan mengupayakan swadaya, kita justru sibuk mengamini penghapusan tarif dan bermacam bentuk proteksi yang gigih diperjuangkan bangsa lain yang jauh lebih siap. Sementara, semua itu sesungguhnya hanya dan masih berpeluang dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat kita. Pelan tapi pasti, Indonesia memang tak sanggup lagi menopang kemewahan menyantuni hidupnya yang hampir sia-sia. Hutang membengkak. Anggaran yang boros, bocor dan tidak produktif. Kemampuan yang rendah untuk menyediakan sendiri kebutuhan sehari-harinya yang terus berkembang dan juga meningkat. Sementara itu, pintu semakin terbuka lebar bagi modal dan kreditur asing yang lihai menjerat kelalaian kita sendiri. Semua mengantar Indonesia yang ingin kita banggakan ini pada gelombang krisis bergulung-gulung yang niscaya.  

INDONESIA PANDIR

 Selama 32 tahun Soeharto berkuasa, ia menerapkan otoritarianisme terselubung di balik falsafah Pancasila. Hingga akhirnya ia terguling. Lalu, kecelakaan demi kecelakaan sejarah itupun terjadi! Bermula pada saat yang bertepatan dengan peluang berbenah yang hadir di tengah situasi kacau balau, paska kejatuhan Presiden Kedua Republik Indonesia itu. 

Pertama, soal Golkar.

Selain mencengkram militer, konglomerasi politik Golongan Karya merupakan organisasi andalan Soeharto untuk mengelola dan mempertahankan kekuasaannya di masa itu. Kelihaian, kecerdikan, dan sekaligus kelicikannya berhasil menyatukan berbagai kalangan ke dalamnya. Bahkan putra-putri terbaik Indonesia yang ingin berkarya dipaksa bertekuk lutut ke sana. Mencoba berdiri di atas kaki sendiri tanpa menggubrisnya hampir mustahil, bahkan di lorong-lorong yang senyap sekalipun.

Ketika Soeharto runtuh, kejengkelan publik padanya - sebagaimana pula pada gerombolan yang setia mendukungnya - menyeruak ke permukaan. Suara-suara yang menghendaki pembubaran Golongan Karya nyaring terdengar dimana-mana. Setidaknya keinginan menghukum mereka untuk tidak tampil di panggung sementara waktu.

Tapi mereka sungguh lihai.

Desakan publik itu tak dihadapinya secara frontal dan membabi-buta. Mereka bergerilya pada setiap celah rapuh yang ada. Diantara begitu banyak soal yang perlu segera dituntaskan. Mulai pelucutan peran dwi fungsi ABRI yang sebelumnya terlibat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sipil. Pemisahan Kepolisian agar khusus untuk menjaga ketertiban dan memelihara keamanan masyarakat, dengan TNI yang ditugaskan melindungi kesatuan Tanah Air dari berbagai ancaman luar. Referendum soal kelangsungan Timor Timur sebagai propinsi termuda kita. Tentang perluasan otonomi sehingga daerah-daerah lebih berkuasa dan leluasa mendaya-gunakan sumberdaya dan mengelola dirinya sendiri. Mematuhi dan memenuhi berbagai janji yang disepakati dengan IMF sebelum ‘menolong‘ kita untuk melepaskan diri dari kebangkrutan ekonomi. Pengusutan biang kerok kerusuhan 1998 yang terjadi sebelum Soeharto lengser dan berakhir dengan pemberhentian Letnan Jenderal Prabowo Subianto. Hingga mempersiapkan ulangan pemilihan umum yang menyertakan belasan peserta baru diluar 3 kontestan tetap yang diakui Orde Baru sebelumnya.

Gerilya mereka untuk meyakinkan agar tidak dilarang ikut bersaing dalam tatanan politik yang baru, bertemu dengan keluhuran budi pekerti bangsa yang menjunjung semangat persaudaraan dan kebersamaan ini. Lalu Indonesia ikhlas memaafkan mereka yang sebelumnya pernah 'mengkhianati' dan 'merugikan' kita semua. Kita malah menggandeng mereka untuk bersama-sama mengejar ketertinggalan membangun dan membenahi negeri ini. Kita tak ingin mengulang kecerobohan sekaligus pengalaman pahit yang pernah mereka lakoni tatkala berkuasa sebelumnya. Membumi hanguskan PKI setelah tragedi G30S 1965 itu tak perlu dicontoh. 

 

Kedua, soal ikatan alumni ‘Akademi dan Balai Latihan Soeharto

Setelah Orde Baru yang represif bubar, kita beramai-ramai mengidolakan sistem demokrasi yang baru. Sesuatu yang bercirikan kemerdekaan dan kebebasan (yang bertanggung jawab) setiap individu maupun kelompok untuk berserikat, berkumpul, dan berekspresi. Kesamaan hak dan tanggung-jawab di depan hukum

Euforia merasuk hampir di semua lini kehidupan dan tak ada yang salah pada pilihan itu.

Masalahnya, setelah sekian puluh tahun dirantai, sesungguhnya kita sangat miskin pemahaman dan pengalaman. Sejak merdeka, kapan sih ada seorang diantaranya yang pernah terlibat langsung dengan sistem politik yang demikian?

Kalau jumlah yang mempelajari, baik melalui pendidikan formal maupun otodidak, pasti cukup banyak. Tapi semua yang dipahami hanya terselip di pemikiran, hipotesa akademis, dan diskusi terbatas. Tanpa best practice!

Lalu, siapa yang merancang dan mengawalnya ketika semua berebut ingin memimpin dan berkuasa

Seketika tokoh-tokoh yang sebelumnya kompak merongrong Soeharto hingga terjungkal, berhadap-hadapan satu dengan yang lain. Saling jegal dan memuja diri. Masing-masing segera dirubung kepentingan ‘model lawas’ yang bergerilya untuk bertahan. Atau bermetamorfosa pada bentuk yang lain tapi ‘maksud dan tujuan’-nya tetap sama.

Pertanyaannya : siapakah diantara mereka yang saat itu berembug dan memutuskan cetak-biru bangsa ini yang bukan jebolan 'akademi' dan 'balai pelatihan' Soeharto?

Mari kita berhitung tahun kelahiran mereka yang duduk di lembaga legislatif yang menggodok dan merumus sistem bernegara pada tahun 1999 lalu. Jika mereka berusia antara 30 hingga 60 tahun maka kelahirannya pasti berkisar antara 1939 - 1969. Jika ia berusia 60 tahun maka sebagian besar usia produktifnya dihabiskan pada periode 32 tahun Soeharto berkuasa! Apalagi yang berumur 30 tahun. Lahir di muka bumi inipun dipastikan saat Soeharto sudah berkuasa!

Suka atau tidak, sedikit atau banyak, pengaruh ‘lingkungan’ Soeharto dan Orde Barunya merasuk pada mental, keyakinan, cara pandang, dan gaya hidup mereka. Kita tahu, segelintir yang waras dan teguh tak ingin tergelincir, beberapa saat kemudian justru memilih undur diri dan menjauh dari hingar-bingar kekuasaan.

Berpindah dari tatanan lama ke tatanan yang baru tak hanya dialami oleh negara. Dalam kehidupan masyarakat, hal demikian biasa terjadi. Baik di dunia komersial maupun nirlaba. Perkembangan teknologi, peradaban, dan dinamika sosial-budaya yang menuntutnya.

Tapi, sebuah perpindahan tak pernah dan tak bisa berlaku serta-merta. Banyak penyesuaian dan proses pengembangan pemahaman yang kerap harus dan perlu dilakukan. Mulai dari sistem nilai dan filosofi dasarnya hingga tata-cara pelaksanaan teknisnya.

Ketika Indonesia berubah menjadi sistem multi-partai, memilih langsung kepala daerah, menambah dan memperluas hak anggaran pada legislatif, mengadakan lembaga ad hoc KPK untuk mengatasi ketidakmampuan institusi yang tersedia, dan seterusnya, kita tak pernah memikirkan - bahkan mempedulikan - roadmap yang harus dilalui untuk menyeberang dari kutub yang lama ke yang baru.

Berbagai organisasi pemerintah, mulai pusat hingga daerah, jamak dan mendarah-daging melakukan praktek korupsi-kolusi-nepotisme. Tapi kita menutup diri untuk membongkar mereka. Kita malah melindungi hak para pegawai negara yang banyak miskin prestasi bahkan cenderung merugikan hingga tak mungkin diisi dari luar meskipun jauh lebih baik dan mumpuni. Kecuali jabatan tertentu setingkat Menteri.

Kita seperti bermimpi di siang bolong ketika mengharapkan terjadinya revolusi kinerja setelah kesejahteraan mereka dilipat-gandakan. Hal yang terjadi justru pembengkakan anggaran rutin di setiap daerah sehingga ruang anggaran yang tersedia untuk belanja modal dan pembangunan semakin hari kian sempit.

KPK diadakan karena Kepolisian dan Kejaksaan bobrok. Begitu pula Kehakiman. Ia memang dimaksudkan untuk sementara waktu. Artinya, suatu saat akan dibubarkan. Pertanyaannya adalah kapan dan bagaimana, bukan?

Tentu setelah tugas pokok dan fungsi yang diamanatkan sementara kepada KPK bisa dan mampu dilakoni kembali oleh lembaga-lembaga penegak hukum permanen itu.

Bagaimana mungkin institusi-institusi yang bermasalah itu membenahi dirinya, tanpa road map yang teruji? Bahkan, peran dan fungsi yang diamanatkan pada komisi-komisi yang diadakan untuk mendampingi mereka saja, seperti Komisi Polisi Nasional maupun Komisi Yudisial, dari hari ke hari semakin digerogoti dengan berbagai upaya, langsung maupun tidak langsung.

Kini, kita menyaksikan Kepolisian yang menghilang bagai ditelan bumi bahkan terbirit-birit dikejar massa ketika kerusuhan 1998 berlangsung, tampil penuh percaya diri. Bukan saja menyangkal berbagai kejanggalan yang kasat mata seperti sinyalemen ‘rekening gendut’, bahkan mempertontonkan aroganisme dengan mengkriminalisasi tokoh-tokoh yang ‘neraca’-nya jelas jauh lebih positif dibanding mereka.

Uraian untuk menjelaskan contoh-contoh absurditas yang sedang berlangsung di negara ini tak akan mungkin bisa diakhiri. Tapi akar dari semua itu sesungguhnya sangat mudah. Sistem legal dan ketata-negaraan yang centang-prenang telah memberi perlindungan dan lorong-lorong penyelamat yang memudahkan mereka berkelit.

Alumni ‘akademi‘ dan ‘balai pelatihan‘ Soeharto yang masih kokoh dan masif bercokol di dalamnya kemudian menyempurnakan semua kegagalan itu!

 

INDONESIA ‘GANG BANG’

Masyarakat yang jengah dengan keadaan sekarang sesungguhnya mudah terbaca dari berbagai jajak pendapat yang banyak dilakukan akhir-akhir ini. Salah satunya seperti yang dipaparkan CSIS (Center for Strategic and International Studies) beberapa bulan lalu. Tingkat kepercayaan publik terhadap institusi politik dan penegak hukum yang disigi, tertinggi diraih oleh TNI dengan nilai 90 persen. Sedangkan Polisi dan DPR berada jauh di bawahnya, masing-masing 63.5 dan 53.0 persen. Selain kehilangan kepercayaan dari publik yang diwakilinya, kepuasan masyarakat terhadap kinerja DPR juga teramat buruk. Hanya 29.2 persen responden yang tersebar di seluruh Indonesia yang menyatakan puas!

Semua ‘prestasi’ yng mereka ukir itu wajar adanya jika dikaitkan dengan manuver menit-menit terakhir yang dipertontonkan pada persidangan MKD dalam mengadili etika Setya Novanto mencatut nama Joko Widodo dan Jusuf Kalla kemarin. Meski kehebohan itu berakhir dengan anti-klimaks pengunduran diri sang terduga yang beberapa bulan sebelumnya juga membuat ‘onar’ republik ketika menghadiri kampanye terbuka Donald Trump - salah seorang calon Presiden USA yang bangga dan percaya diri dengan sikap rasisnya - persoalan utama tentang pelanggaran etikanya langsung menguap begitu saja. Ketidak pedulian DPR terhadap aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat pemilihnya, justru dipamerkan dengan gamblang ketika Novanto hanya bertukar ‘tempat’ dengan Ade Komaruddin yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Fraksi Golkar. Tak ada gejolak berarti yang menyertai langkah ‘aneh’ di gedung perwakilan rakyat Indonesia itu.

Kenyataan itu seolah menegaskan bahwa - meski berbeda partai politik - ikatan alumni ‘akademi’ dan ‘balai pelatihan’ Soeharto memang kompak berjuang menyelamatkan sang ‘papa yang minta saham’. Perhatikanlah sepak-terjang 7 dari 17 anggota MKD yang mencoba menyiasati jalan persidangan dengan memberi ‘vonis berat‘ kepada Setya Novanto.

Siasat itu mereka gunakan agar bisa mengulur waktu penjatuhan sanksi. Bahkan terbuka peluang baru untuk membebaskan Novanto melalui Panel Ad Hoc yang harus dibentuk Mahkamah jika akhirnya memutuskan ‘vonis pelanggaran berat’. Ketujuh wakil rakyat yang juga anggota MKD dan memutus ‘pelanggaran berat’ itu masing-masing 3 dari Golkar, 2 dari Gerindra, 1 dari PPP, dan 1 dari PDIP. Semula, ‘tim sukses’ Ketua DPR bermasalah itu sebetulnya sempat yakin mendulang predikat ‘kesalahan berat’ dari 10 suara : 3 dari Glokar, 2 dari Gerindra, 2 dari PKS, 2 dari PDIP, dan 1 dari PPP.

Menyadari peluangnya mendapat vonis ‘pelanggaran berat‘ gagal - ketika sidang harus diskors untuk sholat magrib, 9 dari 17 anggota MKD telah menyatakan Novanto melakukan ‘kesalahan sedang‘ - ia buru-buru mengirim surat pengunduran diri dari posisi Ketua DPR. MKD kemudian mengakhiri persidangan tanpa memutuskan apakah Setya Novanto beretika atau tidak dalam drama ‘Papa Minta Saham’!

 

INDONESIA ‘BIG BANG’

Harus diakui, TNI adalah satu-satunya institusi yang paling tertib dan berhasil mereformasi diri sebagaimana yang diamanatkan Ketetapan MPR/VI/2000 dan Ketetapan MPR/VII/2000. Setelah tak cawe-cawe lagi dalam kehidupan sipil dan politik praktis, kehadirannya sebagai penjaga kedaulatan bangsa dan negara sangat dirasakan masyarakat. Bahkan, dalam berbagai hal darurat dan mendesak, seperti ketika diminta bantuannya menangani bencana kebakaran hutan kemarin, manfaat kehadiran mereka sangat dirasakan.

Meski demikian, mengembalikan mereka untuk terlibat permanen dalam kehidupan sipil, seperti yang disinyalir tertuang pada salah satu draft Peraturan Presiden yang pernah beredar, tentu bukan pilihan bijak. Hal tersebut jelas-jelas akan mengkhianati Gerakan Reformasi 1998 lalu.

Akan tetapi, dibalik pemujaan kehidupan masyarakat madani itu, kita tentu tak bisa menyangkal ‘pengkhianatan massive dan besar-besaran’ yang hari ini tanpa ‘ragu dan malu’ sedang dipertontonkan berbagai institusi politik dan penegak hukum di hadapan kita, bukan?

Di ranah kekuasaan penegakan hukum, Presiden republik ini memang memiliki pilihan yang semakin terbatas untuk membantu dan mendukungnya. Jika mencermati angka penilaian publik terhadap kemampuan Presiden untuk memimpin Polri dan TNI pada Survey Nasional yang diselenggarakan CSIS tadi (masing-masing 63,1 dan 66,6 persen), keraguan masyarakat pada keduanya terlihat cukup significant.

Bagaimanapun, ‘pertikaian’ KPK dan Polri yang sejak drama ‘Cicak-Buaya’ berlangsung hampir tanpa jeda, sangat mungkin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi ketidak-yakinan sepertiga responden terhadap kepemimpinan Presiden di sana.

Begitu juga dengan rangkaian gesekan yang masih cukup kerap terjadi antara organ TNI dan Polri di berbagai daerah. Kasus demi kasus yang masih berulang itu sangat mungkin mempengaruhi keyakinan mereka terhadap kemampuan Presiden memimpin TNI.

Walaupun demikian, dibanding Polri, masyarakat yang meyakini kemampuan Joko Widodo untuk mengendalikan TNI sesungguhnya masih lebih besar.

Joko Widodo telah membuktikan kepemimpinannya yang piawai dan kecermatannya membangun ‘strategi perang’ untuk mengendalikan sumberdaya maupun ‘musuh’-nya. Dalam setahun terakhir ini, kita menyaksikan ‘arogansi’ dan ‘pembangkangan’ yang menyusut - bahkan mencair - dari oknum-oknum partai yang bergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) yang menentangnya. Kita juga terkesima dengan ‘penyutradaraan’-nya pada hingar-bingar Freeport-Setya Novanto-Luhut Panjaitan-Jusuf Kalla-Sudirman Said kemarin. Tak banyak sutradara yang berhasil menyelamatkan ‘cerita’ di tengah egosime maha bintang yang bertebaran di atas panggung, kawan!

Jadi, jika karena berbagai ‘keadaan darurat‘ yang sedang melanda Indonesia hari ini, Joko Widodo memang terdesak sehingga membutuhkan keterlibatan unsur TNI dalam kehidupan sipil, mengapa tidak?

Bukankah upaya pemadaman kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan beberapa bulan lalu juga bagian dari kehidupan sipil yang tak bersangkut-paut dengan ancaman keutuhan NKRI?

Jika memang harus menggunakan kekuasaannya untuk menerbitkan Peraturan Presiden agar untuk sementara waktu ‘unsur’ TNI dapat dilibatkan kembali dalam kehidupan sipil yang sedang porak-poranda ini, maka mantan Walikota Solo (2005-2012) dan Gubernur DKI Jakarta (2012-2014) yang kurus itu tentu tak akan mengulang kesalahan bersejarah seperti yang dialami oleh institusi KPK sekarang. 

Pertama, soal Rancang Bangun.

Ia akan menyusun secara terstruktur dan rinci ‘lembaga ad-hoc’ apa saja yang sementara waktu dibutuhkan untuk ‘menutupi‘ ketidak-mampuan dan ‘menambal’ ketidak-becusan organ-organ pemerintah permanen yang ada sekarang. Jika perlu, ia bisa menggunakan kekuasaannya untuk ‘melucuti‘ kewenangan organ permanen yang ditengarai selalu menjadi biang-kerok kekisruhan hari ini, untuk kemudian dilimpahkan sementara waktu kepada ‘lembaga ad-hoc’ baru yang dibentuknya. 

Kedua, soal Milestone

Ia pasti akan mendefinisikan rangkaian milestone dari proses reformasi yang harus dilalui masing-masing internal organisasi pemerintahan yang hari ini bermasalah sehingga kewenangannya perlu ‘dilucuti’ dan diserahkan kepada ‘lembaga ad-hoc’ yang akan dibentuknya. Dualisme akan dihindarinya agar satu sama lain tak lagi saling melakukan langkah ‘kriminalisasi’. Sangat mungkin ia menyiapkan strategi yang memungkinkannya melakukan proses ‘implantasi’ bagian atau seluruh ‘lembaga ad-hoc’ yang dibentuknya ke dalam organisasi permanen yang tak kunjung mampu memperbaiki dan membenahi diri.

Ketiga, soal Tenggat Waktu

Agar niat tulus dan lurus untuk menyelamatkan negara, yang kepercayaannya pada kekuasaan politik dan hukum sedang amburadul ini, tidak dinistakan kembali oleh berbagai kepentingan sempit dan sektoral, ia akan menetapkan tenggat waktu yang pasti untuk menyudahi keberadaan berbagai ‘lembaga ad hoc’ yang dibentuknya itu. Cuci piring, menambal lobang, dan berburu tikus yang diamanahkan sementara waktu itu, harus diakhiri pada waktu yang disepakati. Pekerjaan rutinnya kemudian di kembalikan kepada organisasi permanen yang saat itu mesti sudah siap, cekatan, dan dipercaya melakoninya.

Keempat, soal Sumberdaya

Siapapun yang terlibat ataupun dilibatkan pada ‘lembaga ad-hoc’ itu, selain memiliki kemampuan dan daya tahan istimewa, akan berhadapan dengan persoalan maupun godaan yang luar biasa dahsyatnya. Joko Widodo tak akan gegabah untuk merekrutnya tanpa penyaringan dan ‘kontrak’ yang jelas dan tegas.

Jika untuk mengisi kebutuhan ‘ad-hoc’ tersebut, sumberdaya yang tersedia ada di TNI, mengapa harus dihalangi? Bukankah mereka juga warga negara yang ‘geram’ melihat sepak-terjang berlebihan begundal penguntil dan pecundang di lingkungan kekuasaan hari ini.

Mungkin memang sudah suratannya jika sang ‘Juru Selamat’ itu hadir sekarang untuk menulis ulang berbagai ‘perjanjian kontemporer-modern-inovative-progresif’ yang memang keperluannya sudah sangat mendesak untuk menyelesaikan ‘pemberontakan’ kita sebagai manusia Indonesia yang sesungguhnya.

 

INDONESIA KITA

Sesungguhnya, satu-satunya kekuatan yang (semestinya) tidak memihak pada siapapun, tetap berjarak dan berada di tengah, adalah media massa.

Untuk mengulasnya, apa boleh buat, sekali lagi saya harus ‘menghakimi’ Soeharto meski ia kini sudah bersemayam di alam kubur.

Siapa yang tak paham kalau kepedulian dan kepekaan masyarakat terhadap kebenaran, keadilan, maupun kewajaran yang berlaku di kehidupan sekitarnya telah dikerdilkan secara luar biasa selama 32 tahun Soeharto berkuasa? Keinginan dan tuntutan untuk ‘mengasah’ kedua hal itu, secara cerdik dan licik, dipersaingkan dengan kebutuhan rasa aman dan nyaman paling mendasar. Pada masanya dulu, Soeharto memang piawai mengelola semua itu. Sebagian besar masyarakat pada akhirnya memilih kompromi untuk ‘mengendurkan‘ kepedulian dan kepekaannya agar dapat ‘meraih dan memelihara‘ keamanan dan kenyamanan hidup dan keluarganya.

Bertahun-tahun di era kekuasaannya tempo hari, hal yang penting dan perlu di ketahui publik bisa ditutup rapat dan dilarang dipublikasikan secara luas. Sebaliknya, yang tak perlu dan tak penting dipaksa untuk di-berita-kan semua media massa. 

Semula, banyak pihak yang tak nyaman dengan politik ‘pengkibirian‘ informasi itu, berupaya mencari tahu dari berbagai sumber ‘bawah tanah’. Tapi aksi represif kekuasaan terhadap ‘pembangkang‘ yang demikian juga semakin meluas. Menggedor dan mencerai-beraikan semangat. Lalu dengan berjalannya waktu, perlahan-lahan kepedulian dan kepekaan itu menjadi sesuatu yang semakin asing. Menjauh dari hakekatnya. Hingga kemudian sekedar menjadi ‘kenikmatan sensasional’ semata.

Begitulah yang terjadi ketika Ira Koesno mewawancarai Sarwono Kusumaatmadja di program Liputan Enam, SCTV, hari Minggu siang tanggal 17 Mei 1998 dulu. Salah satu sesepuh Golkar yang baru mengakhiri baktinya sebagai Menteri Lingkungan Hidup kabinet Pembangunan VI Soeharto periode sebelumnya (17 Maret 1993 - 17 Maret 1998) mengkritik sinis issue reshuffle kabinet sebagai sekedar ‘menambal gigi’. Sementara ia lebih memilih ‘mencabut gigi’.

Teknologi memang belum demikian progresif seperti sekarang. Belum ada ‘youtube’ yang sukarela menyediakan perpustakaan gratis rekaman wawancara yang bisa diakses kapan saja, dari mana saja, dan oleh siapa saja. Kabar seperti itu berkembang dari mulut ke mulut. Kecepatan penyebarannya tergantung dari nilai ‘sensasioanal’ yang terkandung. Sesuatu yang melawan atau berlawanan dengan ‘kaidah‘ berlaku, seperti sindiran Sarwono yang saat itu tergolong ‘sangat berani‘, merupakan salah satu contohnya. Sangat mungkin masyarakat ingin dan mencari tahu bukan karena ‘kepedulian dan kepekaan’ yang sejati. Tapi lebih terpikat pada ‘kenikmatan sensasional’-nya semata. Apalagi, setelah ‘insiden itu’, Ira Koesno yang mewawancarainya ‘diturunkan’ dari layar kaca Liputan Enam, SCTV. Ia tak lagi menjadi presenter yang menyapa pemirsa setiap siang.

Segera setelah Soeharto lengser, dunia pers Nasional memperoleh kemerdekaan sekaligus kebebasannya yang luar biasa. Tak ada lagi sensor yang ketat. Penanggung jawab maupun pelaku liputan tak lagi khawatir soal ‘undangan ramah-tamah’ dari aparat berkuasa yang tersenggol. Semua yang sebelumnya tak mungkin lolos untuk ditayangkan di kanal televisi maupun media cetak, kini terpampang polos.

Setelah itu, faktanya, jumlah pemirsa program berita dan program ‘serius’ sejenis, seperti dialog ataupun debat politik, terus menukik. Pemirsanya terus tergerus hingga semua stasiun televisi harus menggeser jam tayang program sejenis dan menggantinya dengan program lain yang memiliki peminat dan nilai komersial yang lebih tinggi.

Koran dan majalah berita juga mengalami nasib yang sama. Jauh sebelum media maya merasuk sebagai bagian gaya hidup modern yang tak terpisahkan hari ini, jumlah pembacanya memang sudah menyusut.

Lonceng kematian media sebagai ‘institusi’ yang kodratnya tidak memihak, tetap berjarak, dan memilih di tengah itu semakin berdenting hebat ketika modal dan kekuasaan bebas menggerayangi mereka!

Kita tentu ingat, di penghujung zamannya, berbagai media cetak yang merupakan perpanjangan tangan kekuatan politik maupun kekuasaan pernah menjamur. Kebebasan pers justru dimanfaatkan sebagian kalangan untuk menyokong, atau setidaknya memihak, propaganda kepentingan kelompoknya. Begitu pula ketika izin bisnis pertelevisian yang sebelumnya sempat lama tertutup kecuali bagi klan kekuasaan Soeharto, dibuka kembali. Dua dari 5 izin Nasional yang dikeluarkan kemudian hari dikuasai konglomerasi bisnis yang sangat dekat dengan kekuatan politik tertentu.

TV One (VIVA News), Aburizal Bakrie, dan Golkar.

Metro TV (Media Group), Surya Paloh, dan Nasdem.

Peluang ‘perselingkuhan’ bisnis media dengan kekuasaan yang terbuka lebar bahkan menggiurkan Hari Tanoe, pengusaha yang mengambil alih raksasa bisnis yang sebelumnya dimiliki salah seorang putera Soeharto, Bambang Trihatmodjo. Menjelang Pemilihan Umum 2014 lalu, ia melompat-lompat bak kutu loncat dari satu kubu ke kubu yang lain. Mula-mula Nasdem, kemudian Hanura. Dan sekarang malah nekad membuat kubunya sendiri, Perindo.

Sejumlah mekanisme dasar yang diletakkan setelah Presiden Soeharto mundur sesungguhnya telah membuka jalan bagi keberlangsungan proses demokratisasi yang lebih baik di berbagai bidang, termasuk pertelevisian. Tapi nyatanya semua itu masih belum cukup dan memadai. Terlalu banyak ruang longgar yang memberi peluang bagi kepentingan sekelompok orang untuk menelikungnya sehingga hasrat mereka yang ingin selalu memegang kendali dan menguasai tetap terbuka lebar.

Undang Undang 32/2002 tentang Penyiaran disusun dengan penuh semangat dan sukacita oleh para wakil rakyat yang terpilih melalui proses pemilihan umum paling demokratis pertama setelah Soeharto dan Orde Baru terguling. Produk legislasi itu sesungguhnya telah memuat prinsip dan norma-norma dasar yang dapat mengawal bangsa ini menegakkan demokratisasi dunia pertelevisian Nasional. Para wakil rakyat yang terpilih sangat menyadari betapa penting dan strategisnya urusan penyiaran itu. Ketika itu, panggung layar kaca televisi adalah satu-satunya yang mampu mengunjungi sebagian besar ruang keluarga Indonesia.

Di dalam undang-undang itu sesungguhnya terbersit semangat agar frekuensi terbatas yang merupakan ranah publik, perlu diatur agar tak lagi dimonopoli segelintir orang (pasal 18). Kekuatan pasar, tak lagi menjadi satu-satunya penentu mata acara yang disiarkan televisi swasta (pasal 35). Ruang lokal untuk mengekspresikan diri maupun yang dimanfaatkan untuk kepentingan pengembangan sosial maupun budaya lokal, dijamin ketersediaannya (pasal 21). Jakarta tak lagi harus menjadi satu-satunya domisili pusat penyiaran (pasal 31). Setiap penduduk Indonesia dimerdekakan untuk menjadi pengusaha lembaga penyiaran swasta, termasuk bidang televisi yang pada era Soeharto hanya terbatas pada keluarga dan kerabat dekatnya saja (pasal 33). Layar kaca tak lagi menjadi panggung propaganda yang hanya bisa dimanfaatkan oleh mereka yang berkocek tebal. Ada ketentuan yang mewajibkan pengusaha industri penyiaran menyediakan ruang bagi kepentingan publik luas (pasal 46). Lembaga negara independen yang khusus menangani penyiaran agar dapat bersaing sehat serta tak lagi bisa sembarangan diintervensi penguasa juga diamanatkan (pasal 7).

Disini kecelakaan bersejarah kembali berulang. Sejak undang-undang itu dimasukkan ke dalam lembaran negara (nomor 139 tahun 2002), semua cita-cita luhurnya yang sebagian diurai di atas tak mewujud. Jauh panggang dari api. Hal yang paling fatal adalah soal konglomerasi yang menguasai beberapa media dan kedigdayaan TV Nasional, bukan TV berjaringan yang diamanatkan Gerakan Reformasi dulu!

Tapi alam kehidupan manusia yang selalu menyisakan misteri ini memiliki hukumnya sendiri. Ia terus-menerus menghadirkan sesuatu yang baru untuk memprovokasi dan menemukan kesetimbangan anyar. Tak ada manusia yang mampu seutuhnya menaklukkan.

'Pemaksaan’ terselubung tapi terstruktur yang digalang penguasa modal industri televisi Nasional itu pada akhirnya memang tak mungkin mampu membendung zaman. Pilihan demi pilihan kemudian hadir dan terbuka pada banyak hal yang kontemporer, modern, inovative, dan progresif. Hipotesa saya, hal yang justru mengkhawatirkan sekaligus memprihatinkan adalah apa yang menjadi dasar penarik perhatian masyarakat hari ini. Apakah betul semata ‘kenikmatan sensasional‘? Masihkah ada ruang bagi ‘kepedulian dan kepekaan‘ publik?

Ketika berada di titik nadir seperti sekarang, langkah-langkah sensasional sang ‘Juru Selamat’ bangsa di atas sesungguhnya sangat berpeluang menjadi sesuatu yang ‘happening’ pada materi (multi) media kontemporer. Topik-topik dan gagasan-gagasan yang ‘trending’. Tak banyak kelompok media yang masih memenuhi pra-syarat untuk mengkapitalisasinya. Mereka yang selama ini angkuh dan tak mempedulikan hasrat publik yang terpendam itu tak mungkin mencukupi konvensi pra-syarat yang dituntut publik.

Maka, meskipun dalam kehidupan sehari-hari sekarang mereka - yang memang nyata dan terbukti selalu mengambil jarak dari kekuasaan, berupaya berimbang, dan tetap berada di tengah - terlihat seperti terpinggirkan, percayalah, jika mereka bersungguh-sungguh, publik luas tetap akan berduyun-duyun menominasikannya.

Saya melihat peluang besarnya pada T dan KG.

 

:: Bandung, 25 Desember 2015 :: 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun