Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Savior

25 Desember 2015   20:46 Diperbarui: 5 Februari 2016   11:03 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sesungguhnya, satu-satunya kekuatan yang (semestinya) tidak memihak pada siapapun, tetap berjarak dan berada di tengah, adalah media massa.

Untuk mengulasnya, apa boleh buat, sekali lagi saya harus ‘menghakimi’ Soeharto meski ia kini sudah bersemayam di alam kubur.

Siapa yang tak paham kalau kepedulian dan kepekaan masyarakat terhadap kebenaran, keadilan, maupun kewajaran yang berlaku di kehidupan sekitarnya telah dikerdilkan secara luar biasa selama 32 tahun Soeharto berkuasa? Keinginan dan tuntutan untuk ‘mengasah’ kedua hal itu, secara cerdik dan licik, dipersaingkan dengan kebutuhan rasa aman dan nyaman paling mendasar. Pada masanya dulu, Soeharto memang piawai mengelola semua itu. Sebagian besar masyarakat pada akhirnya memilih kompromi untuk ‘mengendurkan‘ kepedulian dan kepekaannya agar dapat ‘meraih dan memelihara‘ keamanan dan kenyamanan hidup dan keluarganya.

Bertahun-tahun di era kekuasaannya tempo hari, hal yang penting dan perlu di ketahui publik bisa ditutup rapat dan dilarang dipublikasikan secara luas. Sebaliknya, yang tak perlu dan tak penting dipaksa untuk di-berita-kan semua media massa. 

Semula, banyak pihak yang tak nyaman dengan politik ‘pengkibirian‘ informasi itu, berupaya mencari tahu dari berbagai sumber ‘bawah tanah’. Tapi aksi represif kekuasaan terhadap ‘pembangkang‘ yang demikian juga semakin meluas. Menggedor dan mencerai-beraikan semangat. Lalu dengan berjalannya waktu, perlahan-lahan kepedulian dan kepekaan itu menjadi sesuatu yang semakin asing. Menjauh dari hakekatnya. Hingga kemudian sekedar menjadi ‘kenikmatan sensasional’ semata.

Begitulah yang terjadi ketika Ira Koesno mewawancarai Sarwono Kusumaatmadja di program Liputan Enam, SCTV, hari Minggu siang tanggal 17 Mei 1998 dulu. Salah satu sesepuh Golkar yang baru mengakhiri baktinya sebagai Menteri Lingkungan Hidup kabinet Pembangunan VI Soeharto periode sebelumnya (17 Maret 1993 - 17 Maret 1998) mengkritik sinis issue reshuffle kabinet sebagai sekedar ‘menambal gigi’. Sementara ia lebih memilih ‘mencabut gigi’.

Teknologi memang belum demikian progresif seperti sekarang. Belum ada ‘youtube’ yang sukarela menyediakan perpustakaan gratis rekaman wawancara yang bisa diakses kapan saja, dari mana saja, dan oleh siapa saja. Kabar seperti itu berkembang dari mulut ke mulut. Kecepatan penyebarannya tergantung dari nilai ‘sensasioanal’ yang terkandung. Sesuatu yang melawan atau berlawanan dengan ‘kaidah‘ berlaku, seperti sindiran Sarwono yang saat itu tergolong ‘sangat berani‘, merupakan salah satu contohnya. Sangat mungkin masyarakat ingin dan mencari tahu bukan karena ‘kepedulian dan kepekaan’ yang sejati. Tapi lebih terpikat pada ‘kenikmatan sensasional’-nya semata. Apalagi, setelah ‘insiden itu’, Ira Koesno yang mewawancarainya ‘diturunkan’ dari layar kaca Liputan Enam, SCTV. Ia tak lagi menjadi presenter yang menyapa pemirsa setiap siang.

Segera setelah Soeharto lengser, dunia pers Nasional memperoleh kemerdekaan sekaligus kebebasannya yang luar biasa. Tak ada lagi sensor yang ketat. Penanggung jawab maupun pelaku liputan tak lagi khawatir soal ‘undangan ramah-tamah’ dari aparat berkuasa yang tersenggol. Semua yang sebelumnya tak mungkin lolos untuk ditayangkan di kanal televisi maupun media cetak, kini terpampang polos.

Setelah itu, faktanya, jumlah pemirsa program berita dan program ‘serius’ sejenis, seperti dialog ataupun debat politik, terus menukik. Pemirsanya terus tergerus hingga semua stasiun televisi harus menggeser jam tayang program sejenis dan menggantinya dengan program lain yang memiliki peminat dan nilai komersial yang lebih tinggi.

Koran dan majalah berita juga mengalami nasib yang sama. Jauh sebelum media maya merasuk sebagai bagian gaya hidup modern yang tak terpisahkan hari ini, jumlah pembacanya memang sudah menyusut.

Lonceng kematian media sebagai ‘institusi’ yang kodratnya tidak memihak, tetap berjarak, dan memilih di tengah itu semakin berdenting hebat ketika modal dan kekuasaan bebas menggerayangi mereka!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun