Kenyataan itu seolah menegaskan bahwa - meski berbeda partai politik - ikatan alumni ‘akademi’ dan ‘balai pelatihan’ Soeharto memang kompak berjuang menyelamatkan sang ‘papa yang minta saham’. Perhatikanlah sepak-terjang 7 dari 17 anggota MKD yang mencoba menyiasati jalan persidangan dengan memberi ‘vonis berat‘ kepada Setya Novanto.
Siasat itu mereka gunakan agar bisa mengulur waktu penjatuhan sanksi. Bahkan terbuka peluang baru untuk membebaskan Novanto melalui Panel Ad Hoc yang harus dibentuk Mahkamah jika akhirnya memutuskan ‘vonis pelanggaran berat’. Ketujuh wakil rakyat yang juga anggota MKD dan memutus ‘pelanggaran berat’ itu masing-masing 3 dari Golkar, 2 dari Gerindra, 1 dari PPP, dan 1 dari PDIP. Semula, ‘tim sukses’ Ketua DPR bermasalah itu sebetulnya sempat yakin mendulang predikat ‘kesalahan berat’ dari 10 suara : 3 dari Glokar, 2 dari Gerindra, 2 dari PKS, 2 dari PDIP, dan 1 dari PPP.
Menyadari peluangnya mendapat vonis ‘pelanggaran berat‘ gagal - ketika sidang harus diskors untuk sholat magrib, 9 dari 17 anggota MKD telah menyatakan Novanto melakukan ‘kesalahan sedang‘ - ia buru-buru mengirim surat pengunduran diri dari posisi Ketua DPR. MKD kemudian mengakhiri persidangan tanpa memutuskan apakah Setya Novanto beretika atau tidak dalam drama ‘Papa Minta Saham’!
INDONESIA ‘BIG BANG’
Harus diakui, TNI adalah satu-satunya institusi yang paling tertib dan berhasil mereformasi diri sebagaimana yang diamanatkan Ketetapan MPR/VI/2000 dan Ketetapan MPR/VII/2000. Setelah tak cawe-cawe lagi dalam kehidupan sipil dan politik praktis, kehadirannya sebagai penjaga kedaulatan bangsa dan negara sangat dirasakan masyarakat. Bahkan, dalam berbagai hal darurat dan mendesak, seperti ketika diminta bantuannya menangani bencana kebakaran hutan kemarin, manfaat kehadiran mereka sangat dirasakan.
Meski demikian, mengembalikan mereka untuk terlibat permanen dalam kehidupan sipil, seperti yang disinyalir tertuang pada salah satu draft Peraturan Presiden yang pernah beredar, tentu bukan pilihan bijak. Hal tersebut jelas-jelas akan mengkhianati Gerakan Reformasi 1998 lalu.
Akan tetapi, dibalik pemujaan kehidupan masyarakat madani itu, kita tentu tak bisa menyangkal ‘pengkhianatan massive dan besar-besaran’ yang hari ini tanpa ‘ragu dan malu’ sedang dipertontonkan berbagai institusi politik dan penegak hukum di hadapan kita, bukan?
Di ranah kekuasaan penegakan hukum, Presiden republik ini memang memiliki pilihan yang semakin terbatas untuk membantu dan mendukungnya. Jika mencermati angka penilaian publik terhadap kemampuan Presiden untuk memimpin Polri dan TNI pada Survey Nasional yang diselenggarakan CSIS tadi (masing-masing 63,1 dan 66,6 persen), keraguan masyarakat pada keduanya terlihat cukup significant.
Bagaimanapun, ‘pertikaian’ KPK dan Polri yang sejak drama ‘Cicak-Buaya’ berlangsung hampir tanpa jeda, sangat mungkin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi ketidak-yakinan sepertiga responden terhadap kepemimpinan Presiden di sana.
Begitu juga dengan rangkaian gesekan yang masih cukup kerap terjadi antara organ TNI dan Polri di berbagai daerah. Kasus demi kasus yang masih berulang itu sangat mungkin mempengaruhi keyakinan mereka terhadap kemampuan Presiden memimpin TNI.
Walaupun demikian, dibanding Polri, masyarakat yang meyakini kemampuan Joko Widodo untuk mengendalikan TNI sesungguhnya masih lebih besar.