Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Dekolonisasi Penyiaran

5 November 2015   18:57 Diperbarui: 5 November 2015   19:26 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perintis stasiun televisi swasta di Indonesia itu serta-merta hadir. Soeharto dan Orde Baru yang membidani kelahiran mereka seolah menjanjikan sebuah norma-norma pengganti yang baru. Namun sesungguhnya, fungsi semula ‘anjuran’ meninggalkan norma-norma lama justru menjadi kabur. Pada akhirnya, penjebolan norma-norma lama-lama itu sendirilah yang malah menjadi tujuan utama. Sementara, norma-norma dan peraturan- peraturan yang baru sesungguhnya tak pernah dibina dan disusun.

Swasta adalah Swasta

Walaupun sebagian besar saham PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) dimiliki PT Bimantara Citra; walaupun PT Bimantara Citra dimiliki dan dikuasai oleh Bambang Trihatmodjo; walaupun Bambang Trihatmodjo adalah anak kandung Soeharto yang sedang menjadi presiden dan berkuasa ketika itu; sejatinya RCTI tetaplah sebuah lembaga swasta. Layaknya badan usaha komersial manapun di dunia ini, amat-sangat wajar jika institusi itu berupaya untuk berkembang sepesat-pesatnya dan meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.

Moral utama perusahaan swasta adalah peningkatan nilai saham dan keuntungan pemegang saham. Para eksekutif dan profesional yang mengelolanya, dengan segala cara akan berupaya mati-matian untuk mencapai tujuan itu, selama tetap didalam koridor hukum dan ketentuan-ketentuan formal yang berlaku. Pertanggung-jawaban sebuah perusahaan hanya tertuang dalam rapor yang disebut neraca keuangan, laporan laba-rugi, dan proyeksi perusahaan.

Disana tak lazim - bahkan tak akan pernah - ditemukan soal pengentasan kemiskinan, penyerapan tenaga kerja, peningkatan kecerdasan masyarakat, pemerataan kesempatan usaha, dan indikator-indikator capaian sosial-politik-budaya lainnya. Dalam hal ini saya tidak sependapat dengan pernyataan yang ditulis Suryopratomo (wartawan Kompas) tentang sosok pengusaha ketika mengulas gonjang-ganjing upaya interpelasi yang digalang anggota DPR terkait skandal KLBI/BLBI yang hingga kini memang tak kunjung usai. Tulisnya (lihat Catatan #2) :

Imbas yang terus terasakan dari terus bergulirnya isu ini (skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan Kredit Likuiditas Bank Indonesia - red) adalah pencitraan buruk terhadap profesi pengusaha. Seakan-akan pengusaha itu adalah pihak yang hanya mencari untung. Padahal seperti disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla ketika menutup Munas Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), kalau sekedar motifnya mencari untung, pengusaha akan memilih bermain di pasar modal daripada harus bersusah payah berinvestasi di sektor riil yang penuh resiko.

RCTI - sebagaimana juga lembaga penyiaran dan media massa swasta lain - adalah usaha sektor riil yang akan mencari dan menggali setiap peluang yang menguntungkan. Terlalu naif jika keberadaan mereka semata untuk sekedar bertahan hidup. Setiap institusi swasta memang dan harus bercita-cita menambah kekayaan dan mencetak laba yang lebih tinggi setiap akhir tahunnya.

Hanya dengan itu mereka dapat terus berkembang dan memperkokoh posisinya dalam persaingan industri masing-masing. Hanya dengan cara itu pula ia dapat mempertahankan nilai saham perusahaan induknya di bursa pasar modal tetap menarik untuk diburu dan diperdagangkan. Dan tentu tidak ada sama sekali yang salah dengan hal itu! (lihat Catatan #3).

Untung RCTI!

Dalam bisnis penyiaran televisi, setidaknya ada 3 sumber pendapatan utama yang bisa digali. Pertama adalah pemasukan yang diperoleh dari biaya berlangganan yang harus dibayar masyarakat agar dapat menyaksikan tayangan yang disuguhkan. Pendapatan ini lazimnya menjadi pemasukan utama bagi pengelola siaran berlangganan televisi multi-kanal seperti Indovision, Astro, dan Telkomvision. Di beberapa negara lain ada yang menetapkan iuran wajib bagi warganya untuk membiayai kegiatan televisi publik, misalnya British Broadcasting Corporation (BBC) yang telah melayani masyarakat Inggris sejak 1927.

Sumber kedua tentunya dari komersialisasi waktu siar (airtime) yang dapat dilakukan dengan aneka cara. Metode paling sederhana dengan menyediakan segmen-segmen komersial pendek (commercial break) di tengah tayangan. Jika program semakin populer - diukur dari jumlah dan kualitas pemirsa yang menyaksikan - maka semakin mahal pula harga jual waktu iklannya. Cara lain dengan mengasosiasikan popularitas program terhadap citra produk ataupun layanan tertentu (sponsorship). Bisa juga dilakukan melalui pendekatan kerjasama produksi sehingga pesan dan kesan dapat tersampaikan secara halus dan tak kentara (build-in).

Sedangkan sumber pemasukan yang ketiga adalah dari pemanfaatan inventaris hak intelektual dari tayangan-tayangan yang dimiliki. Sebagian tayangan asing yang diputar di televisi-televisi Indonesia selama ini merupakan program-program yang diproduksi oleh stasiun televisi negara asalnya dan pernah populer disana. Disamping dalam bentuk program jadi, hak cipta milik sebuah stasiun televisi juga dapat diperjual-belikan dalam bentuk format kreatifnya saja, misalnya untuk program kuis atau variety show.

Ketika pertama kali mengudara, sesungguhnya RCTI hanya diizinkan melakukan siaran secara terbatas. Masyarakat yang boleh dijangkau hanya mereka yang tinggal di wilayah Jakarta dan sekitarnya saja. Jika ada yang berminat maka mereka terlebih dahulu harus merogoh kocek untuk membeli alat penyelaras khusus (decoder) yang kemudian disambungkan ke pesawat televisi di rumah masing-masing. Setelah itu baru siaran swasta pertama itu dapat diterima dan disaksikan. Teorinya alat penyelaras akan bekerja jika setiap bulan mereka membayar biaya berlangganan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun