Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Dekolonisasi Penyiaran

5 November 2015   18:57 Diperbarui: 5 November 2015   19:26 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berikut ini adalah Bagian Pertama, Bab 3, draft tulisan yang berjudul "Menakar Peluang Revolusi Pertelevisian Indonesia: Industri Budaya yang Salah Urus". Bab 1 dan Bab 2 telah dipublikasikan sebelumnya dan dapat dilihat pada link-link di bawah ini :

http://www.kompasiana.com/jilal.mardhani/menakar-peluang-revolusi-pertelevisian-indonesia-industri-budaya-yang-salah-urus-1-1_562a527950f9fd0411c2d2d2

http://www.kompasiana.com/jilal.mardhani/menakar-peluang-revolusi-pertelevisian-indonesia-industri-budaya-yang-salah-urus-1-2_562f13cfb37a61160c37f24c

Sebagaimana kedua bab yang terdahulu, tulisan ini disusun pada tahun 2008 dan untuk publikasi ini belum dilakukan penyuntingan maupun pengkinian data. Oleh sebab itu, mohon dapat dimaklumi jika nuansa yang tergambarkan adalah suasana hingga tahun 2008. Meski demikian, esensi dari hal yang ingin disampaikan mudah-mudahan dapat tergambarkan.

Berbeda dengan 2 tulisan terkait sebelumnya, kali ini judul yang digunakan sama dengan judul bab-nya.

__________________________________________

 

MENAKAR PELUANG REVOLUSI PERTELEVISIAN INDONESIA: INDUSTRI BUDAYA YANG SALAH URUS

Bagian I : Kendali yang Terlepas

Bab 3 - Dekolonisasi Penyiaran

Semestinya, pemerintah Orde Baru, dengan pengalaman lebih dari 20 tahun mengendalikan kegiatan pertelevisian, cukup memahami langkah- langkah antisipatif yang perlu dilakukan untuk menghadapi hadirnya lembaga penyiaran yang dikendalikan modal swasta. Departemen Penerangan sebagai organ pemerintah berkuasa yang bertugas dan berwenang, seharusnya sangat paham perlunya sebuah cetak-biru sebelum media pertelevisian berkembang menjadi sebuah kegiatan industri.

Tatanan masyarakat dunia, ilmu pengetahuan, dan teknologi memang terus berkembang sehingga perubahan adalah sebuah keniscayaan. Keterbukaan dan kebebasan berpendapatan merupakan hak dasar masyarakat yang wajib dipenuhi karena merekalah pemilik sesungguhnya negara ini. Campur tangan dan kendali pemerintah - yang notabene menerima mandat dari rakyat untuk mengurus negara - terhadap media massa, termasuk televisi, memang tidak semestinya. Kita sepakat agar sistem politik dan pemerintahan harus berjalan secara demokratis sesuai dengan amanah konstitusi.

Tapi menuju semua itu dibutuhkan sebuah proses, rangkaian tahap-tahap yang disusun berdasarkan kemampuan dan pengalaman yang ada; sesuatu yang menjelaskan sikap dan visi pemimpin yang bercita-cita mengantar bangsanya kepada masa depan yang lebih baik.

Fenomena yang terjadi pada industri pertelevisian Indonesia setelah tahun 1989 layak dianalogikan dengan proses dekolonisasi yang dialami bangsa ini ketika lepas dari penjajah. Kehadiran RCTI seolah sebuah revolusi yang menghantarkan kemerdekaan bagi masyarakat pemirsa dari hegemoni ‘pendudukan’ TVRI. Dengan menggunakan analogi itu - sebagaimana yang dijelaskan Koentjaraningrat tentang makna revolusi (lihat Catatan #1) - kita telah menyaksikan terjadinya proses penjebolan norma-norma dan aturan- aturan lama yang sebelumnya dipatuhi ketat oleh TVRI. Dan sang pahlawan yang berada di garis depan adalah RCTI!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun