Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ramadan edisi #7: Mengaji Al Quran, Mengkaji Era Digital

15 Juli 2015   07:06 Diperbarui: 15 Juli 2015   07:06 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Entah bagaimana dengan yang lain. Tapi saya terkejut ketika menyadari betapa progresifnya teknologi - karya peradaban manusia - mempengaruhi kehidupan ini.

***

Ketika kecil, orangtua kami memanggil guru ngaji ke rumah, 2 kali seminggu. Saya dan adik-adik belajar membaca Al Quran. Hanya soal mengenal huruf-huruf Arab beserta pemahaman tanda bacanya. Almarhum ustadz Kamaluddin Lubis - guru ngaji kami waktu itu - kemudian menyampaikan sari ajaran di dalam kitab suci itu dalam bentuk cerita-cerita menarik. Beliau memang tak mengajari kami berbahasa Arab kecuali beberapa perbendaharaan sederhana. Dengan kata lain, kami hanya dididik dan dilatih bagaimana membaca huruf-huruf Arab pada kitab suci Al Quran, bukan bahasanya.

Sejak taman kanak-kanak hingga lulus sekolah menengah lanjutan atas pelajaran agama Islam selalu mengambil bagian kurikulum yang harus dilalui. Guru-guru yang khusus mendalami bidang agama Islam membagikan pengalaman dan pemahamannya berdasarkan ayat-ayat suci Al Quran dan hadist-hadist Rasulullah.

Jadi pemahaman saya tentang Islam bukan langsung dari Al Quran karena saya memang tak menguasai bahasa Arab.

Ketika masuk perguruan tinggi pun masih ada mata kuliah agama. Bedanya - mungkin karena mahasiswa mulai dituntut lebih dewasa menentukan pilihan - saya justru memilih kelas agama Budha. Sejujurnya lebih karena alasan 'kemudahan' mendapat nilai bagus dibanding kelas agama Islam. Tapi bagaimanapun, sedikit banyak, ketika itulah pertama kali saya menggunakan kesempatan untuk memahami agama yang lain.

Saya kemudian tidak hanya mengoleksi Al Quran yang dilengkapi terjemahan bahasa Indonesia dan Inggris tapi juga kitab-kitab suci agama lainnya. Bahkan di perpustakaan pribadi saya terdapat beberapa salinan tentang ajaran Bahai. Seorang rekan kerja yang warga negara Amerika Serikat dulu pernah memberikannya.

***

Sejujurnya memang tak banyak waktu tersisa untuk membaca buku-buku atau kitab-kitab itu secara intensif. Saya pun tak menyangkal jika sering timbul keengganan menuntaskan bacaan tentang agama yang lain karena dalam hati kecil selalu ingin memahami dan mendalami Al Quran terlebih dahulu. Pekerjaan dan kesibukan sehari-hari memang tak pernah memberi ruang yang cukup.

Iqra.

Bacalah.

Demikian pemahaman yang tertanam sejak masa kanak-kanak. Tak berlebihan jika begitu besar keingin-tahuan bagaimana perintah Allah sesungguhnya tertuang di Al Quran. Bagaimana konteks dari setiap petunjuk-petunjuk Nya itu? Apakah berupa makna-makna yang berdiri sendiri-sendiri? Bagaimana benang merah yang menghubungkan ayat suci yang satu dengan yang lain? Jika berupa metafora atau bentuk kiasan, seperti apa dan bagaimana sesungguhnya hal itu digambarkan? Apa yang sesungguhnya tertuang di sana hingga lahir dan berkembang tafsir ataupun pemahaman-pemahaman yang diajarkan atau disyiarkan ustadz, guru, ulama atau pemuka-pemuka agama Islam itu?

Saya tak ingin taklid. Sekedar membebek terhadap apa yang dikatakan atau diajarkan tanpa memahami konteks yang lebih komprehensif. Saya tak ingin berdiri rancu di tengah kelompok-kelompok yang kadang sampai harus bertikai karena memiliki tafsir yang berbeda. Saya tak mampu menerima kenyataan ada yang menyerang keimanan yang lain seolah mereka pernah mendapat mandat dari Tuhan tentang ajaran yang diyakininya. Kadang ada diantara mereka secara brutal memaksakan. Sungguh akal sehat saya tak mampu menjangkau pemahaman hingga muncul kelompok ini dan kelompok itu di tengah komunitas yang sama-sama menyatakan dirinya muslim.

***

Seiring era digitalisasi saat ini, inovasi teknologi aplikasipun berkembang semakin pesat. Beragam kemudahan - dan tentu saja kemewahan - ditawarkan dan menyerbu sendi-sendi kehidupan sehari-hari kita. Sesuatu yg bahkan mungkin tak pernah terbayang oleh mereka yang pertama kali menemukan teknologi itu.

Teknologi informasi dan aplikasi-aplikasinya yang berkembang telah membuat jarak semakin pendek, ruang semakin sempit, dan waktu semakin cepat. Banyak hal dalam kehidupan sehari-hari dapat dilangsungkan lebih efisien dan semakin efektif. Hal-hal yang sebelumnya harus dilakoni satu per satu dan bergiliran kini dimungkinkan terselenggara serempak.

Berbarengan.

Dan kemudian sayapun akhirnya bertemu dengan salah satu dari sekian aplikasi yang berkait dengan kitab suci umat Islam. Aplikasi sejenis yang juga tersedia untuk agama dan kepercayaan lain.

Dengan aplikasi tersebut saya memperoleh kemudahan memenuhi keingin-tahuan terhadap hal yang sebelumnya tertunda-tunda. Fasilitas yg mudah didapat dan diungguh ke komputer, tablet maupun telepon genggam itu memungkinkan saya memilih suara pembaca Al Quran yang ingin saya dengar. Ketika ayat-ayat suci yang saya pilih dibacakannya, sayapun dapat dengan nyaman mengikutinya di dalam hati. Seperti ketika berdendang kecil saat mengikuti nyanyian biduan favorit yg sedang di putar di radio. Tentu saya harus tahu diri untuk mematut bakat, pengetahuan dan pengalaman jika ingin bersaing dengan kemampuan pembaca Quran professional itu mengalunkan bacaan yg begitu indahnya.

Kini, dengan aplikasi canggih itu, sayapun dapat menyimak aksara dan kalimat-kalimat Arab dari ayat-ayat yang sedang dibacakan dengan syahdu melalui layar komputer, tablet, ataupun telpon genggam yang sedang digunakan. Begitu pula terjemahannya yang dapat ditampilkan berdampingan dengan ayat-ayat itu. Saya kini mampu memilih terjemahan sesuai dengan bahasa yang saya sukai dan nyaman dengannya.

Masih ada lagi kemewahan yang lain. Kini akses terhadap tafsir dan penjelasan dari ayat yang sedang disimak bisa saya peroleh seketika. Penjelasan lengkap dari bagian ayat yang sedang disimak dapat seketika tampil di layar. Begitu pula index yang mengkaitkan ayat yang sedang dibaca dengan yang lain.

Lalu ketika saya ingin membandingkan isi Al Quran itu dengan Kitab Injil, misalnya, maka fasilitas yang sama juga tersedia dalam genggaman tangan dan instant!

Multi-tasking yang superb dan mewah!

***

Kemudahan yang ditawarkan era digital ini begitu luar biasa. Waktu yang kudu diluangkan, biaya yang perlu dikeluarkan, jarak yang mesti ditempuh, hingga ruang yang harus diarungi sedemikian rupa telah diringkasnya. Pengorbanan yang perlu kita lakukan pun semakin minim. Tinggal niat dan kesungguhan melakoni saja yang bersisa. Lalu soal kemampuan mengelola fokus tentang apa yang sedang dicari serta hal yang ingin dicapai maupun dipahami.

***

Kemudahan itu hanyalah soal perangkat yang bisa digunakan untuk menyelami dan memahami yang tersurat maupun tersirat pada kitab suci Al Quran. Menyelami dan memahaminya sendiri bukanlah sesuatu yang mudah. Semakin dalam kita memasukinya, semakin sering kita mengulangnya, semakin sering kita merenung perintah dan pesannya maka semakin banyak pula hal yang ternyata belum atau tak kita ketahui. Semakin banyak pula rahasia kebijakan hidup ini yang terungkap. Semakin banyak pula kita menemukan kekayaan dan kemewahan yang tersembunyi di dalamnya, Mungkin itulah sebabnya tadarus - membaca dan mengkaji Al Quran - selalu dianjurkan berulang-ulang.

Lalu, bagaimana mungkin ada yang dengan begitu pongah merasa pasti sudah memahami isinya dan kemudian memaksakan kehendak menyeragamkan tafsir dan pemahamannya kepada yang lain?

Saya khawatir semua itu lahir dan berkembang karena terdorong semangat penyangkalan yang bersangkutan. Apakah menyangkal karena disergap malas dan letih untuk terus mengkaji rahasia keindahan dan kekayaan yang ada dalam kitab suci itu? Apakah menyangkal karena dikuasai nafsu untuk memperoleh pujian, prnghormatan, maupun kekuasaan? Apakah menyangkal karena resah dan khawatir tak mampu - atau tak mau - menangkap pesan sebenarnya? Wallahu alam.

***

Kemudahan yang ditawarkan teknologi digital untuk mengkaji Al Quran hari ini - dan tentunya kitab suci lain - juga menghadirkan tantangan dan pekerjaan rumah lain bagi para orangtua kontemporer. Generasi muda sekarang menggenggam kemewahan yang jauh lebih besar dibanding yang sebelumnya. Ragam pilihan yang kaya menyebabkan mereka lebih kritis dan obyektif dalam menilai, menerima, dan mengamalkan sesuatu. Pertanyaan yang sekaligus menjadi pekerjaan rumah utama : sudahkah kita memperbaiki cara dan pendekatan yang sesuai untuk membangun dan mengembangkan keimanan mereka? Tentunya dengan tetap berpegang teguh pada prinsip bahwa iman pada Sang Pencipta tetap merupakan wilayah privat individual yang tidak boleh dan tidak perlu diganggu gugat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun