Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ramadan edisi #5: Latah, Lalai. Loyo

1 Juli 2015   04:45 Diperbarui: 1 Juli 2015   04:45 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tak selalu latah itu menggelikan bagi yang lain. Kadang justru menjengkelkan.

Akhir-akhir ini banyak informasi nirmutu yang beredar di sosial media: gosip tentang pemerintah yang akan menggalakkan penggunaan materai atas transaksi sehari-hari lengkap dengan rencana kenaikan tarifnya yang sekian kali lipat, jutaan tenaga kerja Cina yang katanya akan masuk ke Tanah Air untuk mengerjakan proyek-proyek bantuan atau kerjasama yang dijajagi Presiden tempo hari, sampai menteri dan politisi partai politik yang beramai-ramai sibuk memberi pernyataan kalau ada menteri lain yang melecehkan kemampuan presiden terpilih saat ini, Joko Widodo, memahami soal ekonomi bangsa.

Lalu penggalan cerita-berita itu tersebar kemana-mana dan banyak yang justru menikmati kelatahannya dengan meneruskan kepada jejaring sosial medianya. Betul-betul langkah yang super konyol dan maaf, memuakkan!

Yang menyedihkan, latah menyebar-luaskan informasi tak berkualitas itu sebagian dilakukan mereka yang katanya kaum terpelajar, berkedudukan lumayan tinggi di tempat kerjanya, dan pantas menjadi acuan pembenaran bagi banyak orang yang mengagumi mereka. Jadi akibat kelatahan mereka maka berita tak jelas yang ikut dihembus2kannya itu justru pelan-pelan jadi terlihat seperti sebuah kebenaran bagi banyak yang tak seberuntung mereka kemampuan penalaran obyektifnya.

Soal materai misalnya. Logika dan dasar peraturan yang mengaturnya saja bukan hanya tak jelas, malah tidak nyata! Bagi mereka yang katanya terpelajar dan diamanahkan posisi strategis di tempat kerjanya, menyebar-luaskan informasi yang saya yakin sesat itu sungguh langkah tak terpuji. Walau latah sekalipun!

Begitu pula soal jutaan tenaga kerja yang masuk dari Cina. Bukan puluhan lho tapi jutaan! Bahkan 10 juta! Entah berapa kapal induk yang dibutuhkan untuk mengangkut seandainya hal tersebut benar. Mendatangkan 3 juta calon jemaah haji ke Mekah setiap tahunnya saja sudah membuat heboh dan pusing 7 keliling pemerintah kerajaan Arab Saudi! Padahal mereka memiliki prasarana dan sarana pendukung yg jauh lebih maju.

Soal menteri yang katanya bilang Presiden tak ngerti apa-apa soal ekonomi. Come on! Apa sudah begitu kehabisan akalkah untuk meyakinkan Jokowi supaya ybs tersingkir?

***

Persoalan kita sendiri memang super ruwet. Banyak sekali yang harus dibongkar, digerakkan, diperbaiki, diganti, dikembangkan, ditambah, dikurangi, diadakan dan dihilangkan untuk mengembalikan ke posisi yang konstruktif dan pas. Salah kelola dan kebiasaan buruk yang dibudayakan penguasa yang runtuh saat Reformasi 1998 lalu begitu parah sehingga kita menjadi bangsa yang malas berproses, tak bisa bahu membahu bekerja sama menyelesaikan masalah maupun membangun atau menggapai sesuatu, serta serba ingin instant tanpa memahami perlunya pengorbanan sukarela.

Salah urus rezim Orde Baru lalu harus dibayar dengan sangat mahal oleh seluruh bangsa ini. Dengan kemampuan serba terbatas yang belum cukup berkembang, di ujung hegemoni pemerintahan korup terdahulu, kita dipaksa tunduk dan menyerah kepada mereka yang gusar akan disingkirkan untuk bisa terus menjarah kekayaan alam dan potensi pasar yang dimiliki negeri ini.

Apakah begitu mudahnya kita melupakan momen bersejarah Soeharto menanda-tangani letter of Intents yang disodor secara congkak oleh Michael Camdessus, sang eksekutif puncak IMF yang memberi janji talangan kebangkrutan kala itu dengan syarat-syarat yang mencerabut kedaulatan kita sebagai bangsa?

Apakah kita alpa bahwa sejak saat itu hampir tak ada kuasa pemeritah negeri ini untuk tak membiarkan asing masuk dan mengeruk apa yang semestinya kita nikmati bagi sebanyak-banyaknya kemakmuran bangsa sendiri?

Apakah tak ingat bahwa mulai saat itu kita tak seutuhnya lagi berdaya memutuskan mana yang perlu mana yang tidak, mana yang boleh mana yang tidak, mana yang harus mana yang tidak?

Apakah kita sulit memahami jika untuk menjalankan keinginannya menguasai titik-titik ekonomi strategis Indonesia, bangsa-bangsa asing itu perlu menggandeng comprador-comprador?

Apakah begitu sulit untuk dimegerti jika kelompok yang siap pakai dan paling potensi diajak kerjasama adalah mereka yang sebelumnya bagian gerombolan Soeharto tapi hingga hari ini - melalui metamorfosa cukup sederhana dan tak terlalu rumit karena mental kebersamaan dan semangat gotong-royong bangsa kita telah terbutakan setelah sebelumnya dikebiri bahkan dilumpuhkan berpuluh tahun oleh Soeharto yang lalim dan hampir menjadi presiden seumur hidup dulu - masih exist bahkan semakin menjadi2?

***

Golkar adalah mesin politik Soeharto untuk mempertahankan kekuasaannya dulu. Walau pasti ada segelintir yang bersih dan masih berfikir lebih jernih, korupsi-kolusi-nepotisme gang Soeharto waktu itu dijalankan melalui simbiosis mutualisme Golkar-militer-keluarganya. Kita memang telah berhasil memisahkan militer dari percaturan politik kekuasaan pemerintahan sehari-hari. Mereka telah dikembalikan ke barak, habitat asalnya. Kitapun memang telah berhasil 'menghukum' jejaring bisnis yg dikuasai secara curang atau dipaksakan oleh keluarga Soeharto dulu. Tapi kita lalai membubarkan Golkar, mesin pemerintah Orde Baru yang hingga kini malah hampir sempurna bercokol di lingkaran kekuasaan indonesia paling kontemporer.

***

Soeharto dulu tak mungkin sendirian melakukan kekejian yang hingga hari ini masih menyengsarakan Indonesia. Dia didukung, dipuja, sekaligus dilindungi oleh lapisan-lapisan massive yang turut serta menikmatinya. Saat gerakan Reformasi 1998 merebak memang hampir mustahil menyingkirkan seluruh gerombolan presiden yang menggelar diri Bapak Pembangunan itu. Penularan penyakit korup dan mementingkan diri sendiri beserta kelompok sudah berlangsung demikian parahnya. Terjadi pada hampir semua golongan dan lapisan masyarakat. Jika gerakan itu memaksakan pembumi-hangusan mereka maka kemungkinan besar akan terjadi perang saudara diantara sesama bangsa kita sendiri. Tapi membiarkan mereka tetap terlibat jelas sebuah masalah seperti apa yang kita saksikan hari ini.

Semestinya, pelibatan mereka dahulu harus diawali dengan catatan yang mengikat kesepakatan untuk menanggalkan budaya lancung yang sebelumnya mereka lakoni serta janji untuk tidak mengulang sifat-tabiat yang hanya menguntungkan pribadi atau kelompok mereka.

Kemewahan ideal itu semua memang tak kita miliki. Kita berada pada situasi yang sangat tidak diuntungkan. Satu sisi sibuk memperbaiki kerusakan dan di sisi lain datang gelombang massive dari luar yang sudah memegang kunci pintu masuk ke sumberdaya negeri ini. Kesibukan kita yang lain ketika itu adalah mengejar pembuktian kesalahan Soeharto yang sudah tak berdaya. Pembuktian yang sesungguhnya tak begitu diperlukan lagi karena memang sudah nyata. Kita malah hampir tak menggubris kesalahan mereka yang ada di lingkaran kekuasaannya dulu.

Mereka memiliki sumberdaya, kemampuan dan pengalaman yang lebih dari cukup untuk mengkonsolidasikan diri kembali kepada keyakinan dan tata cara yang sudah dilakoni sebelumnya. Tak cukup disana, mereka juga memiliki segudang cara, pengaruh, dan pesona untuk menularkannya kepada darah-darah baru yang terlibat dalam proses reformasi itu. Ada segelintir yang tak nyaman dan memisahkan diri untuk kemudian diam bertapa atau bersungut-sungut.

***

Sesungguhnya hanya segelintir dari penduduk Indonesia yang sekitar 230 juta ini yang rusak adatnya. Sayangnya mereka memang berada di lingkaran dalam dan di sekitar pusat kekuasaan sekarang. Mereka terus menerus ingin mengembalikan kenyamanan seperti dulu. Banyak diantara kita tak terlibat. Belum teribat. Bahkan tak mau terlibat. Sebuah pilihan yang salah jika kita memang menginginkan perubahan. Karena perubahan tidak akan terjadi dengan sendirinya tanpa upaya dari kita masing-masing.

Berperan tidak harus berada ditengah kekuasaan karena kekuasaan yang dipegang atau dimimpikan mereka yang culas itu tak berarti apa-apa jika kita yang mengawal, mendorong, menginisiasi, memelihara, dan mengembangkan perubahan tidak mampu mereka kuasai.

***

Bukan kita yang menari dengan irama mereka tapi merekalah yang harus menari dengan irama kita. Mulailah dari diri sendiri, keluarga sendiri, dan lingkungan sendiri. Cepat atau lambat kita akan berakhir dan jangan biarkan generasi berikut lebih menderita dibanding apa yang kita alami hari ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun