Mohon tunggu...
Jihan Fathinah Bassam
Jihan Fathinah Bassam Mohon Tunggu... Lainnya - Sharing informasi

Mahasiswi Universitas Padjadjaran

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menyoal Tindakan Korupsi Reformasi Dalam Ekonomi Politik, Sudah Cukup Penanganan Pemerintah?

21 Desember 2021   22:11 Diperbarui: 21 Desember 2021   22:11 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Korupsi didefiniskan Robert Klitgard sebagai tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi jabatan negara karena adanya keuntungan uang atau status yang menyangkut pribadi atau melanggar peraturan-peraturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi. 

Definisi lain dari korupsi dapat dilihat pada UU No. 21 Tahun 1999 Pasal 2 ayat (1) membahas mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan  bahwa orang yang dapat dipidana karena tindak pidana korupsi  adalah "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan  perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara." 

Secara bahasa, korupsi berasal dari kata corruptus yang berarti perubahan tingkah laku baik menjadi buruk  (to change ji-om good to bad  in morals. manners. or actions): rot. spoil (rontok, rusak); dan  lain-lain. Definisi-definisi tersebut menyebutkan hal yang sama, yaitu korupsi yang memiliki aksen buruk.

Sedikit kilas balik sejarah Indonesia mengenai korupsi, pada Rezim Soeharto atau Rezim Orde Baru terjadi banyak penyimpangan yang menyebabkan aksi demonstrasi dari mahasiswa. Salah satu tuntutan yang diberikan mahasiswa saat itu adalah pembasmian praktek KKN atau Korupsi Kolusi dan Nepotisme. 

Kemudian, pada masa Reformasi juga tak luput dari kasus-kasus korupsi mengingat banyaknya menteri yang melakukan praktik tersebut. Segala peraturan yang dikeluarkan oleh presiden tak bisa memberantas korupsi secara tuntas. 

Selain  itu, upaya-upaya pelemahan KPK juga telah dilakukan dari waktu yang lama. Isu pelemahan KPK ini menjadi sorotan masyarakat karena KPK merupakan lembaga yang bergerak dalam bidang menangani korupsi. 

Adanya keberadaan ancaman untuk pelemahan KPK berdampak besar pada kasus-kasus korupsi yang ada di Indonesia. 

Berbagai macam kasus korupsi di Indonesia serta berbagai macam upaya untuk melemahkan KPK sangat berdampak buruk pada masyarakat. 

Kemiskinan yang ada pada masyarakat Indonesia bertumpu berat pada pembangunan infrastruktur atau bantuan sosial. Masyarakat yang seharusnya bisa terbantu dengan berbagai program pemerintah, malah terhambat dan dijadikan kepentingan pribadi semata. 

Hal ini menghambat pertumbuhan ekonomi masyarakat dan berdampak besar pada investasi negara. Kemudian, segala macam upaya melalui pengesahan undang-undang dilakukan untuk menangani praktik korupsi. 

Namun, bukanlah pembasmian korupsi melainkan serangan terhadap KPK-lah yang masyarakat dapatkan. KPK, sebagai lembaga anti korupsi sangat bermakna besar bagi masyarakat. 

Namun, bagaimana bisa masyarakat memperoleh keadilan jika tindakan-tindakan KPK untuk membasmi korupsi seringkali berujung celaka? Untuk itu, kasus-kasus korupsi yang terjadi pada masa Reformasi serta upaya-upaya pemerintah untuk mencabut korupsi  akan dibahas. 

Sudah cukupkah upaya pemerintah? Atau harus melihat rakyatnya menderita terlebih dahulu? Atau malah harus menunggu suatu kasus untuk viral terlebih dahulu baru diusut?

Pada pemerintahan B.J Habibie, upaya yang dilakukan untuk mencegah tindakan korupsi adalah dengan pengeluaran Undang-Undang No.28 Tahun 1999 mengenai penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN. 

Undang-undang ini membuahkan hasil berupa pembentukan lembaga-lembaga anti korupsi, yaitu KPKN, KPPU, dan KOMISI OMBUSDMAN. 

Sebuah catatan penting pada era pemerintahan ini adalah, B.J Habibie memiliki catatan paling banyak dalam pembentukan lembaga anti korupsi. Hal ini dilakukannya melalui Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 mengenai Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN. 

Kemudian, sebuah lembaga anti korupsi dengan nama "Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi" dibentuk pada masa pemerintahan K.J. Abdurrachman Wahid. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. 

Namun, pada akhirnya harus dibubarkan karena keberadaan dan struktur lembaga dinilai tak lazim oleh Mahkamah Agung. 

Pada pemerintahan era Presiden Megawati, lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk melalui UU No.30 Tahun 2002. Setelah KPK dibentuk, tak jarang banyak politisi yang diasili atas korupsi. 

Selanjutnya, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY, Tim Pemberantas Tindak Pidana Korupsi dibentuk berdasarkan Keppres No.61 Tahun 2005. 

Namun, pada tahun 2007, lembaga ini dibubarkan. Kemudian, pada era Pemerintahan Jokowi, Presiden Jokowi mengajukan Surat Presiden perubahan revisi Undang-Undang KPK No. 30 Tahun 2003. Hal ini kemudian mendapat banyak respon dari koalisi dan masyarakat madani yang meminta pembatalan UU No. 19 Tahun 2009 hasil revisi.

Upaya-upaya pembasmian korupsi yang telah dilakukan sebelumnya mempunyai dampak signifikan kepada Indonesia. Seperti halnya KPK yang menyatakan bahwa Mantan Presiden Indonesia, B.J Habibie telah membangun fondasi pemberantasan korupsi di Indonesia. 

Namun, upaya-upaya yang telah dilakukan agaknya masih belum berhasil dalam pembasmian korupsi secara signifikan. Hal ini dilihat pada adanya lembaga yang belum melakukan tugasnya secara efektif, sehingga diakhiri dengan dibubarkan serta masih banyaknya kasus korupsi yang ada saat itu. 

Selain itu, terdapat kritisi yang dilayangkan terhaadap Jokowi. Kritik dari Indonesia Corruption Watch tersebut menyebutkan bagaimana pemberantasan korupsi hancur di tangan pemerintahan Jokowi. Hal ini dijelaskan dengan sejumlah faktor sebagai alasan, yaitu kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi yang melemah. 

Kinerja KPK dinilai menurun dan mempunyai banyak hutang untuk menyelesaikan tindakan-tindaka korupsi. 

Peneliti Indonesia Corruption Watch mengatakan bahwa KPK baru menyelesaikan 13 kasus dari 120 utang kasus. Ia juga mengatakan bahwa hal ini tak lepas dari masalah internal, yaitu alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara melalui Tes Wawasan Kebangsaan. 

Berbagai cara yang telah dilakukan agaknya belum bisa mempunyai dampak yang dalam, sedangkan permasalahan korupsi adalah permasalahan yang harus diselesaikan sampai ke akar-akarnya.

Kasus-kasus korupsi yang terjadi pada masa Reformasi melibatkan nama-nama besar dalam pemerintahan. Kasus Hari Sabarno merupakan salah satu kasus yang terjadi pada saat itu. 

Hari Sabarno merupakan Menteri Dalam Negeri Kabinet Gotong Royong pada saat Megawati menjabat sebagai presiden. 

Hari Sabarno terjerat korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran yang menyebabkan kerugian sebesar Rp 97,2 miliar. 

Hari Sabarno terbukti bersalah melakukan tindakan korupsi dalam PT Istana Saranaraya dan PT Satal Nusantara. Kedua terssebut ditunjuk dalam pengadaan mobil pemadam kebakaran. Sejumlah bukti yang dikumpulkan adalah 208 mobil pemadam kebakaran dan sejumlah uang. 

Ketika Mahkamah Agung menyetujui kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum, hukuman terhadap Hari Sabarno sebelumnya dibatalkan. Setelah putusan kasasi, Hari Sabarno dijatuhi hukuman pidana penjara 5 tahun dengan denda Rp 200 juta serta subsider 6 bulan. 

Kasus korupsi lainnya adalah Achmad Sujudi yang merupakan Menteri Kesehatan Kabinet Persatuan Nasional pada era Presiden Abdurrahman Wahid. Achmad Sujudi dituntut lima tahun penjara atas korupsi pengadaan alat kesehatan di Departemen Kesehatan. 

Selain itu, Achmad Sujudi juga dituntut untuk membayar uang ganti sebesar Rp 700 juta dan membayar denda sebesar Rp 200 juta subsider dengan tiga bulan penjara. 

Achmad Sujudi berperan dalam penunjukan PT Kimia Trade dan Distribution sebagai rekan dalam pengadaan alat-alat kesehatan yang akan dibagikan ke 32 rumah sakit di daerah-daerah Indonesia. 

Ketika kotraj ditanda tangani, kenyataannya PT Kimia Farma Trade And Distribution melakukan subkontrak dengan lima perusaahaan lain. 

Subkontrak ini menyebabkan pembayaran yang diterima PT Kimia Farma Trade and Distribution di bagi kedalam lima perusahaan tersebut. Penuntut umum juga menemukan tindakan pemahalan harga barang yang menyebabkan kerugian negara sebsar Rp 104 miliar.

Kasus korupsi Andi Alfian juga menjadi sorotan masyarakat, dimana Andi Alfian sendiri merupakan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga yang terlibat dalam kasus korupsi pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional di Bukit Hambalang. Andi dinyatakan terbukti melakukan korupsi sebesar Rp 2 miliar dan 550.00 dollar AS.  Pengadilan menyatakan Andi divonis 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Kemudian, ketika Andi mengajukan kasasi, hal tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung. 

Namun, vonis hukuman ini jauh lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut KPK yang pada saat itu mengajukan 10 tahun penjara dan denda sebesar Rp 300 juta dengan subsider 6 bulan penjara. Kemudian kasus korupsi yang lainnya adalah, kasus Setya Novanto. Pada tahun 2017, Setya Novanto dijerat kasus dugaan korupsi atas e-KTP. 

Proses pengadilan dan penetapan tersangka Setya Novanto merupakan proses yang Panjang, karena Setya Novanto berkali-kali dinyatakan tidak sah menjadi tersangka oleh hakim. 

Namun, Setya Novanto dinyatakan bersalah, sehingga dijatuhi hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta dengan subsider tiga bulan penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. 

Total kerugian yang dibuatnya sampai sebesar Rp 2,3 Triliun. Tak hanya itu, Setya Novanto juga divonis dengan pencabutan hal terdakwa untuk menduduki jabatan publik selama 5 tahun terhitung sejak terpidana.

"Penghukuman" atas kasus-kasus korupsi tak jarang malah berujung kemewahan bagi para koruptor. Penjara yang seharusnya hanya diisi dengan kebutuhan sehari-hari, malah diisi dengan barang-barang mewah sedemekian rupa layaknya hotel bintang lima. 

Hal tersebut terungkap dalam program "Mata Najwa" dimana sejumlah uang, alat-alat elektronik ditemukan pada sel penjara. 

Tak hanya itu, ketika penyidakan terhadap sel penjara, terjadi penukaran sel yang dilakukan dua koruptor, yaitu Setya Novanto dan Nazarudin. 

Sel Setya Novanto yang ditunjukkan sangatlah sederhana. Namun, terdapat beberapa kecurigaan didalamnya, yaitu alat-alat pribadi yang tak sesuai dengan profil Setya Novanto. Kemudian, kecurigaan tersebut terkonfirmasi oleh Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly yang menyatakan bahwa kedua sel yang ditempati kedua koruptor tersebut bukanlah sel asli mereka.

Peran dalam penempatan sel penjara juga dikuatkan dengan penangkapan Ketua Lapas Sukamiskin, Wahid Husen sebagai tersangka. Ia tertangkap setelah terjaring dengan Operasi Tangkap Tangan KPK atas penerimaan suap sebagai imbalan fasilitas atau perizinan lainnya. 

Penyilidikan kasus ini berasal dari informasi bahwa terjadi tindakan jual beli sel tahanan dan izin keluar lapas. Jika narapidana yang sudah memakan uang masyarakat mempunyai kemewahan dan izin untuk keluar masuk lapas, lantas apa bedanya dengan masyarakat luar? 

Lapas mempunyai tujuan untuk menghukum para koruptor dan tak berkeliaran bebas. Tujuan tersebut menjadi tak berarti ketika mengetahui fakta bahwa napi dengan uang bisa menukar sel dengan sel mewah dan membeli izin keluar masuk. Lebih parahnya lagi adalah, ketua lapas berpatisipasi dalam tindakan-tindakan ini, seakan-akan harga penderitaan masyarakat bisa ditukar dengan uang.

Sedikit kilas balik, kinerja KPK dalam pencabutan korupsi merupakan sesuatu yang sangat signifikan. KPK sendiri mempunyai dampak yang besa bagi para koruptor. Pada akhir tahun 2006, sejumlah pejabat-pejabat negara yang melakukan tindakan korupsi dibawa ke pengadilan. 

Kinerja KPK ini berhasil menangkap korupsi besar, seperti kasus penyalahgunaan fasilitas preshipment dan placement deposito kepada PT Texmaco Group, kasus penjualan asset kredit PT PPSU oleh BPPN, kasus pengadaan Busway pada Pemda OKI Jakarta, kasus pengadaan buku SD, SLTP yang dibiayai Bank Dunia, kasus di KBRI Malaysia, kasus penyuapan Hakim Agung MA dalam perkara Probosutedjo. 

KPK mempunyai peranan dan dampak yang sangat kuat, hal tersebut diketahui oleh seluruh masyarakat Indonesia, secara spesifik koruptor yang ada di negara Indonesia. 

Penyidik KPK, Novel Baswedan menyatakan bahwa terdapat enam serangan yang ia terima. Ia mencurigai serangan-serangan tersebut berkaitan dengan kasus-kasus korupsi yang akan diselidikinya. Tak hanya itu, tindakan-tindakan pelemahan lembaga KPK sudah terjadi sejak lama.  

Selama tiga periode, pada tahun 2003-2015, KPK mendapatkan banyak masalah-masalah dalam tindakannya memberantas korupsi. Masalah tersebut menyangkut beberapa pimpinan KPK yang terjerat kasus hukum. Penahanan pertama melibatkan Antasari Anhar, kemudian Komisi III DPR menyatakan bahwa KPK tak memiliki legitimasi lagi. Kemudian, dua pimpinan KPK, Chandra Marta Hamzah dan Bibit Samad Rianto mendapatkan tudingan penyalahgunaan wewenang dan penerimaan suap. 

Selanjutnya, Bambang Widjojanto dan Abraham Samad. Bambang Widjajanto menjadi tersangka dalam penyuruhan saksi memberikan keterangkan palsu, sedangkan Abraham Samad ditetapkan menjadi tersangka karena pemalsuan dokumen. Berbagai rintangan menyebabkan adanya pergantian pimpinan sebelum masa jabatannya berakhir. Terjeratnya pimpinan KPK dalam hukum ini menghambat proses-proses penyidikan.

Pelemahan KPK dapat dilihat pada wacana revisi UU No. 30 Tahun 2002 mengenai KPK. Salah satu poin yang dibahas dalam revisi UU tersebut adalah kewenangan penyadapan. 

Draf revisi UU tersebut menyebut KPK tak diperbolehkan menyadap tanpa perizinan peradilan. Hal ini mempersulit kinerja KPK dan terkesan rentan terhadap tindakan-tindakan dibalik layar. Kemudian, draf revisi UU tersebut juga menyebut KPK tak diperbolehkan melakukan penuntutan. 

Wewenang penuntutan dipegang oleh kejaksaan. Hal ini bertentangan pada UU KPK Pasal 6 Ayat C dimana KPK bertugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana. Selanjutnya, pembentukan lembaga pengawas KPK juga menjadi sorotan. 

Hal ini dikarenakan membuat KPK menjadi diawasi oleh lembaga pengawas dan tak bisa bertindak dengan leluasa. Padahal, seharusnya koruptor lah yang perlu diawasi, bukan lembaga anti-korupsi. Penanganan kasus-kasus korupsi yang busuk di Indonesia memerlukan kekuatan leluasa dari KPK. 

Padahal, kasus-kasus korupsi seringkali melibatkan nama-nama besar dengan pengarruh besar. Bukankah berbahaya jika seseorang yang korup diberikan kekuasaan besar? Karena itulah, kasus korupsi harus diberantas sampai ke akar-akarnya, untuk melakukan hal itu, KPK membutuhkan wewenang yang kuat. Namun, bagaimana caranya KPK memperoleh wewenang kuat jika dukungan politik yang diterima KPK belum maksimal?

Sebuah survei yang dilakukan Transparency International menjelaskan upaya Indonesia dalam upaya penanganan korupsi. Pada tahun 2001-2008, Indonesia meraih skor kurang dari 3,0, hal ini berarti upaya pemberantasan Indonesia masih sangat rendah. Penyebab hal ini terjadi tak jauh dari tokoh-tokoh politik negara, yaitu penerapan hukum terhadap pelaku yang belum maksimal. Seperti yang sudah ditulis sebelumnya, napi berduit bisa "membeli" sel mewah dengan ketua lapas. Lantas, dimana efek jera yang diterapkan pada saat penahanan?

Korupsi memiliki banyak definisi, namun satu hal yang dapat dipastikan adalah, korupsi merupakan tindakan buruk. Tindakan korupsi merugikan masyarakat secara luas, memperlambat bantuan-bantuan masyarakat atau pembangunan infrastruktur. 

Lantas, jika melihat peraturan-peraturan yang ditetapkan pada Reformasi, hal tersebut belum cukup untuk memberantas kasus korupsi. Hal ini dikarenakan mengingat masih banyaknya kasus korupsi yang terjadi. 

Tak hanya itu, kasus-kasus tersebut juga melibatkan nama-nama besar. Ketika dilihat pada tindakan penahanan, hal tersebut juga belum maksimal, sehingga sel mewah pun dapat dibeli jika napi mempunyai duit. Hal ini tak luput dari peran ketua lapas yang menerima uang dari napi. 

Kemudian, lembaga KPK sebagai lembaga anti korupsi pun menerima berbagai macam rintangan. Upaya-upaya pelemahan KPK ini berdampak pada kasus-kasus yang ditangani. 

Para koruptor mungkin lupa, bahwa yang memilihnya untuk menjadi orang yang berkuasa adalah masyarakat. Kuasa tersebut harusnya digunakan demi kepentingan masyarakat, bukan untuk kepentingan pribadi atau "membeli" sel mewah layaknya hotel bintang lima.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun