Mohon tunggu...
Jihan Fathinah Bassam
Jihan Fathinah Bassam Mohon Tunggu... Lainnya - Sharing informasi

Mahasiswi Universitas Padjadjaran

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menyoal Tindakan Korupsi Reformasi Dalam Ekonomi Politik, Sudah Cukup Penanganan Pemerintah?

21 Desember 2021   22:11 Diperbarui: 21 Desember 2021   22:11 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pelemahan KPK dapat dilihat pada wacana revisi UU No. 30 Tahun 2002 mengenai KPK. Salah satu poin yang dibahas dalam revisi UU tersebut adalah kewenangan penyadapan. 

Draf revisi UU tersebut menyebut KPK tak diperbolehkan menyadap tanpa perizinan peradilan. Hal ini mempersulit kinerja KPK dan terkesan rentan terhadap tindakan-tindakan dibalik layar. Kemudian, draf revisi UU tersebut juga menyebut KPK tak diperbolehkan melakukan penuntutan. 

Wewenang penuntutan dipegang oleh kejaksaan. Hal ini bertentangan pada UU KPK Pasal 6 Ayat C dimana KPK bertugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana. Selanjutnya, pembentukan lembaga pengawas KPK juga menjadi sorotan. 

Hal ini dikarenakan membuat KPK menjadi diawasi oleh lembaga pengawas dan tak bisa bertindak dengan leluasa. Padahal, seharusnya koruptor lah yang perlu diawasi, bukan lembaga anti-korupsi. Penanganan kasus-kasus korupsi yang busuk di Indonesia memerlukan kekuatan leluasa dari KPK. 

Padahal, kasus-kasus korupsi seringkali melibatkan nama-nama besar dengan pengarruh besar. Bukankah berbahaya jika seseorang yang korup diberikan kekuasaan besar? Karena itulah, kasus korupsi harus diberantas sampai ke akar-akarnya, untuk melakukan hal itu, KPK membutuhkan wewenang yang kuat. Namun, bagaimana caranya KPK memperoleh wewenang kuat jika dukungan politik yang diterima KPK belum maksimal?

Sebuah survei yang dilakukan Transparency International menjelaskan upaya Indonesia dalam upaya penanganan korupsi. Pada tahun 2001-2008, Indonesia meraih skor kurang dari 3,0, hal ini berarti upaya pemberantasan Indonesia masih sangat rendah. Penyebab hal ini terjadi tak jauh dari tokoh-tokoh politik negara, yaitu penerapan hukum terhadap pelaku yang belum maksimal. Seperti yang sudah ditulis sebelumnya, napi berduit bisa "membeli" sel mewah dengan ketua lapas. Lantas, dimana efek jera yang diterapkan pada saat penahanan?

Korupsi memiliki banyak definisi, namun satu hal yang dapat dipastikan adalah, korupsi merupakan tindakan buruk. Tindakan korupsi merugikan masyarakat secara luas, memperlambat bantuan-bantuan masyarakat atau pembangunan infrastruktur. 

Lantas, jika melihat peraturan-peraturan yang ditetapkan pada Reformasi, hal tersebut belum cukup untuk memberantas kasus korupsi. Hal ini dikarenakan mengingat masih banyaknya kasus korupsi yang terjadi. 

Tak hanya itu, kasus-kasus tersebut juga melibatkan nama-nama besar. Ketika dilihat pada tindakan penahanan, hal tersebut juga belum maksimal, sehingga sel mewah pun dapat dibeli jika napi mempunyai duit. Hal ini tak luput dari peran ketua lapas yang menerima uang dari napi. 

Kemudian, lembaga KPK sebagai lembaga anti korupsi pun menerima berbagai macam rintangan. Upaya-upaya pelemahan KPK ini berdampak pada kasus-kasus yang ditangani. 

Para koruptor mungkin lupa, bahwa yang memilihnya untuk menjadi orang yang berkuasa adalah masyarakat. Kuasa tersebut harusnya digunakan demi kepentingan masyarakat, bukan untuk kepentingan pribadi atau "membeli" sel mewah layaknya hotel bintang lima.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun