Mohon tunggu...
Jihan Astriningtrias
Jihan Astriningtrias Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Jurnalistik

Suka sekali mengembara, meski hanya dalam kepala.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pria-pria dalam "Hallyu": Maskulinitas yang Feminin

20 Juli 2021   17:26 Diperbarui: 20 Juli 2021   17:36 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi untuk "Pria-pria dalam Hallyu" (Oğuz Şerbetci dalam Unsplash.com)

Tidak ada yang dapat secara persis mendefinisikan seperti apa itu maskulinitas. Secara garis besar, diksi tersebut hanya hadir untuk mewakili sebuah konsep sosial terkait upaya untuk menjadi seorang “pria” (Otnes & Zayer, 2012). Kendati demikian, maskulinitas selalu berkait erat dengan hegemoni, identitas, kekuatan, atau bahkan kekerasan (Connell, 2016).

Maskulinitas dalam kultur tradisional begitu cocok dengan apa yang dikatakan Robert Brannon: 

“No Sissy Stuff” (menghindari perilaku dan kecenderungan femininitas atau kebanci-bancian), “The Big Wheel” (status tinggi, sukses, dihormati, dan menghasilkan banyak uang), “The Sturdy Oak” (percaya diri, kuat, dan mandiri), “Give ‘Em Hell” (mengambil risiko fisik dan menjadi kasar jika perlu). 

Dimensi-dimensi inilah yang secara tak langsung membatasi anti-maskulinitas pada perilaku yang berbeda—cenderung berkebalikan. Mereka yang tidak maskulin cenderung menunjukkan perilaku damai dibanding kasar, bersifat mendamaikan dibanding mendominasi, kesulitan untuk menendang bola, tidak tertarik pada penaklukan seksual, dan masih banyak lagi (Connell, 2005). Dengan kata lain, maskulinitas berfokus pada kekuatan, baik kekuatan dalam konteks perbandingan kelas dengan wanita atau justru perbedaan antara dominan dan subordinat pada kelompok-kelompok pria itu sendiri (Murrie, 1998).

Konsep maskulinitas semacam ini masih terus langgeng diterapkan dalam keseharian beberapa negara di dunia. Terkhusus Australia—tempat di mana hard (tough) masculinity mendominasi—sosok pria yang maskulin terus diartikan sebagai seorang pria kulit putih yang heteroseksual, arketipe dan heroik, juga hyper-masculinised (Morris, 2006). Kultur Australia mengonstruksi pria-pria mereka sebagai pria yang praktis dibanding teoritis, menghargai kecakapan fisik dibanding kemampuan intelektual, baik dalam krisis meski sangat santai, biasa dan bersahaja, intoleran dengan kepura-puraan dan tututan budaya, bukan wowser (puritan), gemar minum-minum, bersumpah-serapah dan berjudi, mandiri dan egaliter, serta membenci dan mengutuk otoritas (Murrie, 1998).

Tough masculinity inilah—yang kurang lebihnya dipraktikkan dengan cara serupa oleh lain-lain negara—yang juga membuat kota Glasgow di Skotlandia diasosiasikan dengan kriminalitas, kebengisan, dan perilaku anti-sosial. Konsep tough masculinity telah menjadi normatif dan bergabung ke dalam nilai sosial masyarakat Glasgow. Dalam perspektif mereka, menjadi seorang pria berarti menjadi identik dengan kekuatan, kekerasan, dan kemampuan fisik (Lawson, 2013).

Konsep maskulinitas itu pada akhirnya menguasai banyak aspek dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk aspek hiburan. Dalam catatan perkembangan dunia hiburan Korea Selatan pada tahun 1980-an sampai awal 1990-an, maskulinitas kerap digambarkan dengan menampilkan pria-pria berjas rapi, berjam tangan mewah, atau pria tradisional yang kuat. Ini adalah potret yang umum digambarkan untuk menunjukkan kesan “kuasa”. Pada tahun-tahun tersebut, potret maskulinitas banyak dijejalkan pada sosok atau peran yang kuat atau kasar, seperti gangster, detektif, maupun pemberontak (Jung, 2011).

Kendati demikian, melalui dunia hiburannya pula, Korea Selatan justru mulai sedikit demi sedikit menggeser definisi maskulinitas global awal seiring dengan merambahnya budaya populer mereka di kancah dunia pada akhir 1990-an. Budaya populer itu kemudian dikenal dengan nama Hallyu (한류) yang dalam bahasa Inggris berarti “Korean Wave”. Istilah tersebut merujuk pada popularitas Korea Selatan di suatu regional dalam konteks produk hiburan, yang mana di antaranya adalah film, drama televisi, musik, atau bahkan fashion (Jung, 2011).

Lewat Hallyu, Korea Selatan akhirnya membawa konsep maskulinitas yang lebih baru, yang mana merupakan bagian dari paradigma mugukjeok (무국적)—berarti non-nationality; mirip dengan akulturasi budaya yang dipengaruhi unsur global sekaligus elemen tradisional dari suatu negara (negara asal). 

Maskulinitas versi Korea Selatan yang sering direpresentasikan oleh karakter utama pada drama—yang berbeda dari hard masculinity—berhasil diselundupkan sebagai suatu nilai dan sukses mematahkan belenggu. Menyusul “tipe” maskulinitas non-Korea lain seperti kata kawaii (可愛)—berarti imut—dalam kultur Jepang, cool masculinity, atau bahkan metroseksual (Jung, 2011). Tipe-tipe tadi juga sukses masuk untuk “memberontak” di tengah potret media akan maskulinitas yang serba keras, dan seolah membuka pilihan baru bagi pria untuk menentukan preferensi ragam maskulinitas mereka.

Korea Selatan dalam agenda Hallyu­-nya telah mencampurkan rumus maskulinitas ala tradisional Korea Seonbi, maskulinitas Konghucu Wen China, maskulinitas Bishounen (pretty boy) Jepang, serta maskulinitas global metroseksual, untuk kemudian menyelundupkan hasil amalgamasinya ke dalam budaya populer mereka (Jung, 2011). Dari sinilah muncul istilah soft masculinity. Sebuah terminologi untuk mewakili sifat maskulinitas yang mendominasi Asia Timur dalam cara pandang mereka terhadap pria—yang mana melucuti identifikasi serba kuasa dan kekuatan yang ada pada terminologi maskulinitas versi lama (Tunstall, 2014).

Nilai soft masculinity yang dibawa oleh Seonbi dan Wen bertumpu pada pengasuhan, pemikiran yang kuat, dan keseimbangan raga. Oleh karena itu, definisi maskulinitas versi Asia Timur begitu kontras dengan maskulinitas yang selama ini dipahami oleh masyarakat global, terutama dalam kultur Barat. Soft masculinity memandang bahwa pria teladan adalah pria yang memiliki intelektualitas, teoritis, berwawasan budaya, mampu mengendalikan diri, dan patuh terhadap otoritas (Shiau, 2017).

Pria-pria yang memiliki nilai soft masculinity ini kemudian dikenal dengan istilah Kkonminam (꽃미남)—berarti “Flower Boys”. Mereka berpenampilan cantik, berkulit putih, dan bersikap feminin; pure, innocent, dan lembut  (Kartika & Wirawanda, 2019), namun tak dapat serta-merta terkategori sebagai feminin (BBC, 2018). Representasi soft masculinity dalam konteks drama dapat terlihat dari sosok Joong-Ki Song dalam dramanya “Descendant of the Sun”. Secara penampilan, Joong-Ki amat cocok untuk masuk ke dalam kategori “Flower Boys”, namun di saat yang sama, ia tampil dan berperan sebagai seorang kapten militer yang mana antagonis dengan sisi lembutnya.

Unsur soft masculinity dalam produk Hallyu tidak hanya muncul dalam peran karakter pada film atau drama. Dalam fashion, contohnya, soft masculinity mengizinkan pria bersolek dan tetap diidentifikasi serta mengidentifikasi diri sebagai seorang “pria”. Sementara itu, soft masculinity juga muncul pada produk musik dalam “bundel” Hallyu tadi. Berbeda dari topik musik pada umumnya, musik populer Korea memiliki bahasan yang tak terbatas lirik dan nada. Musik populer Korea—dengan nama bekennya; KPOP—justru lebih identik dengan para penyanyinya, atau yang biasa disebut sebagai “idola”.

Oleh karena itu, perbincangan tentang KPOP (Korean Pop) tak seharusnya berhenti pada musikalitas dan performa panggung. Sebab, lebih jauh dari itu, KPOP juga merupakan budaya populer—sebuah bagian dari apa yang Korea ekspor pada global dalam Hallyu (Korean wave) tadi—yang erat dengan kehidupan bermasyarakat (Kartika & Wirawanda, 2019). Sama seperti budaya populer lainnya, KPOP tak hanya merebak dengan tujuan komersialisasi, namun juga diseminasi budaya (Rastati, 2020). 

Eksistensinya yang mulai melejit dan menjadi tren di Asia pasca suksesi BoA, HOT, TVXQ, Rain, dan Se7en di tahun 2000-an menjadikan KPOP sebagai salah satu amunisi dalam ekspansi efek Hallyu di Asia (Jung, 2011). Dengan ini, konsep soft masculinity tadi juga dapat dengan mudah menelisik masuk untuk kemudian menjadi bagian baru dari budaya dan cara pandang orang banyak (Huat & Iwabuchi, 2008).

Dalam konsep KPOP yang kini identik dengan format grup, idola (performer) menjadi sebuah unsur yang krusial. Penampilan mereka, apa yang mereka pakai, apa yang mereka lakukan, atau bahkan bagaimana sifat serta sikap mereka di depan dan di belakang layar adalah suatu elemen yang banyak menuai atensi publik (Ayuningtyas, 2017). Dengan konsep soft masculinity, idola dapat menunjukkan bahwa nyatanya, seorang pria juga memiliki sikap dan karisma bernuansa lembut (Kartika & Wirawanda, 2019), yang juga menunjukkan bagaimana maskulinitas dan femininitas dapat ditampilkan secara hibrida dalam satu konsep soft masculinity.  

Sebagai contoh, saat ini “Aegyo Contest” tengah marak di kalangan idola. Mereka yang datang ke variety show biasanya diminta untuk bernyanyi, bicara, atau berperilaku dengan cara imut, tidak peduli bagaimana image mereka di muka publik. Lewat aegyo, definisi maskulin pun kembali dinegosiasi. Hal ini dikarenakan ide untuk memamerkan keimutan memang begitu lekat untuk diasosiasikan dengan wanita dan femininitas (Manietta, 2010).

Selain itu, para idola pria KPOP juga membuka pagar yang membatasi antara pria dan produk kecantikan. Hal ini terlihat sangat jelas, sebab “kedekatan” antara anggota boy group KPOP dan make up tak hanya terbatas pada agenda performa panggung, meski pada saat itu make up yang dipakai para idola dapat sangat kentara. Cara masyarakat Korea memandang kecantikan—yang termasuk ke dalam konsep soft masculinity—seolah telah membuat brand kecantikan memercayai idola pria untuk mengiklankan produk kecantikan mereka. Contohnya, produk kecantikan Nature Republic telah tujuh tahun lamanya (2013-2020) menggandeng boy group EXO sebagai brand ambassador. Baru-baru ini juga, sebuah brand asal Korea Selatan Candylab juga menggaet boy group NCT Dream sebagai brand ambassador untuk produk kecantikan mereka.

Representasi dari soft masculinity itu juga muncul pada sikap para idola pria. Beberapa dari mereka pandai memasak—seperti BTS Seok-Jin Kim atau iKON Yun-hyeong Song—dan dapat dengan bangga serta nyaman menunjukkan bahwa mereka adalah koki dalam grup maupun asrama. Padahal, dalam klasifikasi gender roles, memasak sendiri merupakan sebuah kegiatan bercitra feminin yang biasanya dilakukan oleh wanita (Kottak, 2010).

Mereka juga kerap kali menangis di depan kamera, di atas panggung, atau di hadapan publik. Beberapa idola seperti The Boyz Young-Hoon Kim pernah menangis karena terharu atas kemenangan pertama grup mereka di music show Korea, sementara BTS V juga pernah menangis pada saat memenangkan Daesang (salah satu penghargaan paling prestisius dalam permusikan Korea Selatan) dalam acara penghargaan MAMA 2018. Idola pria yang menangis itupun seolah telah mengingkari stereotip masculine sex-role yang menghalangi pria untuk melampiaskan emosi mereka lewat air mata (Stadel, Daniels, Warrens, & Jeronimus, 2019).

Lebih jauh dari itu, soft masculinity juga membuat afeksi terhadap sesama jenis lebih mudah ditemui di jalan-jalan Korea dibandingkan afeksi pada lawan jenis (Foran, 2013) meski homoseksualitas sendiri sebenarnya masih menjadi isu tabu bagi masyarakat Korea (Longres, 2012). Hal inilah yang mungkin menyebabkan para penggemar lebih mudah menemui interaksi intim antar idola sesama jenis, dibanding sekadar interaksi saling sapa antara idola lawan jenis. 

Afeksi antar sesama anggota—yang barangkali dibubuhi bumbu queerbaiting demi agenda marketing—tak jarang menampilkan perilaku yang cenderung lekat dengan romantisme. Transfer afeksi via skinship seperti berpeluk, saling membelai rambut, memberi kecupan, atau berpegangan tangan di kalangan idola pria tak lagi menjadi topik kontroversi. Bahkan, mereka secara intens memamerkan intimasi pada publik tanpa penyangkalan terhadap shipping—menjodoh-jodohkan, dalam konteks sesama jenis sekalipun—ataupun label homoseksual. Itu adalah hal lumrah di Korea (Foran, 2013), dan mungkin, bagian dari taktik marketing dan materialisasi (Danesi, 2012).

Pemberian afeksi secara jelas dan deras tadi telah menggali jurang yang cukup besar antara maskulinitas ala Korea Selatan dengan maskulinitas global. Konsep maskulin ini lebih dari sekadar kritik dari konsep macho kultur Barat terkait "heteroseksualitas" tadi, bahwa kedekatan antara sesama jenis tak melulu perihal suka-sama suka. Relasi brothership atau pertemanan yang erat dan intim pula merupakan hal yang langgeng dalam kultur Korea, tanpa harus mencabut label "maskulin" dari jati diri mereka. Kedekatan itu pula bukan hal tabu untuk dipertontonkan. Maskulinitas ini akhirnya menjadi sebuah antagonis dari konsep tough masculinity yang begitu panjang umur dalam citra kota Glasgow.

Soft masculinity seolah muncul untuk menjawab tantangan Terry Collins (1992) yang telah diangkut oleh Karina J. Butera dalam penelitiannya (2008). Di mana, Collins menantang pria masa kini untuk menjadi kuat tanpa kekerasan, lembut tanpa ketakutan, berkuasa tanpa penindasan, lembut tanpa rasa malu, berilmu tanpa arogansi, mengasihi, dan memimpin dengan nurani serta diri yang bersuka cita.

Eksistensi soft masculinity yang direpresentasikan oleh pria-pria dalam Hallyu setidaknya telah membuktikan pada konsep usang global, bahwa nilai femininitas tak perlu dicampakkan hanya untuk membangun sebuah konsepsi maskulinitas yang ideal. Sebab, pria penari yang lembut dan bersolek sekalipun sangat mungkin untuk menjadi idola banyak orang.***

 

DAFTAR PUSTAKA

Ayuningtyas, P. (2017). Indonesian Fan Girls's Perception Towards Soft Masculinity as Represented by K-POP Male Idols. Lingua Cultura Vol. 11 No. 1, 53-57.

BBC. (2018, September 5). Flowerboys and the Appeal of 'Soft Masculinity' in South Korea. Retrieved from BBC News: Asia: https://www.bbc.com/news/world-asia-42499809

Butera, K. J. (2008). 'Neo-mateship' in the 21st Century. Journal of Sociology Vol. 44 No. 3, 265-281.

Connell, R. (2005). Masculinities. Cambridge: Polity Press.

Connell, R. (2016). Masculinities in Global Perspective: Hegemony, Contestation, and Changing Structures of Power. Theor Soc 45, 303-318.

Danesi, M. (2012). Popular Culture: Introductary Perspective. Lanham: Rowman & Littlefield Publishers.

Foran, R. (2013). South Korea. Minneapolis: ABDO Publishing Company.

Huat, C. B., & Iwabuchi, K. (2008). East Asian Pop Culture Analysing the Korean Wave. Hong Kong: Hong Kong University Press.

Jung, S. (2011). Korean Masculinities and Transcultural Consumption: Yonsama, Rain, Oldboy, K-POP Idols. Hong Kong: Hong Kong University Press.

Kartika, S. H., & Wirawanda, Y. (2019). Maskulinitas dan Perempuan: Persepsi Perempuan terhadap Soft Masculinity dalam Variety Show. CALATHU: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol.1 No.1, 23-41.

Kottak, C. (2010). Anthropology: Appreciating Human Diversity. New York: McGraw-Hill Education.

Lawson, R. (2013). The Construction of ‘Tough’ Masculinity: Negotiation, Alignment and Rejection. Gender and Language, 369-395.

Longres, J. F. (2012). Men of Color: A Context for Service to Homosexually Active Men. New York: Routledge.

Manietta, J. (. (2010). Transnational Masculinities: The Distributive Performativity of Gender in Korean Boy Bands. Ann Arbor: ProQuest LLC.

Murrie, L. (1998). The Australian Legend: Writing Australian Masculinity/Writing Australian Masculine. Journal of Australian Studies Vol. 22 No. 56, 68-77.

Otnes, C. C., & Zayer, L. T. (2012). Gender, Culture, and Consumer Behavior. New York: Routledge.

Rastati, R. (2020, Juni 15). Studi Sosial: Makna Budaya Pop di Masyarakat. Retrieved from Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: https://pmb.lipi.go.id/studi-sosial-makna-budaya-pop-di-masyarakat/

Shiau, H.-C. (2017). Soft, Smooth with Chocolate ABS: Performance of A Korean Masculinity in Taiwanese Man's Fashion. In K. Iwabuchi, E. Tsai, & C. Berry, Routledge Handbook of East Asian Popular Culture (pp. 212-225). New York: Routledge.

Stadel, M., Daniels, J. K., Warrens, M. J., & Jeronimus, B. F. (2019). The Gender‑specifc Impact of Emotional Tears. Motivation and Emotion Vol. 43, 696-704.

Tunstall, E. D. (2014, Januari 23). Un-designing masculinities: K-pop and the new global man? Retrieved from The Conversation: https://theconversation.com/un-designing-masculinities-k-pop-and-the-new-global-man-22335

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun