Mohon tunggu...
Jihan Astriningtrias
Jihan Astriningtrias Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Jurnalistik

Suka sekali mengembara, meski hanya dalam kepala.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pria-pria dalam "Hallyu": Maskulinitas yang Feminin

20 Juli 2021   17:26 Diperbarui: 20 Juli 2021   17:36 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi untuk "Pria-pria dalam Hallyu" (Oğuz Şerbetci dalam Unsplash.com)

Nilai soft masculinity yang dibawa oleh Seonbi dan Wen bertumpu pada pengasuhan, pemikiran yang kuat, dan keseimbangan raga. Oleh karena itu, definisi maskulinitas versi Asia Timur begitu kontras dengan maskulinitas yang selama ini dipahami oleh masyarakat global, terutama dalam kultur Barat. Soft masculinity memandang bahwa pria teladan adalah pria yang memiliki intelektualitas, teoritis, berwawasan budaya, mampu mengendalikan diri, dan patuh terhadap otoritas (Shiau, 2017).

Pria-pria yang memiliki nilai soft masculinity ini kemudian dikenal dengan istilah Kkonminam (꽃미남)—berarti “Flower Boys”. Mereka berpenampilan cantik, berkulit putih, dan bersikap feminin; pure, innocent, dan lembut  (Kartika & Wirawanda, 2019), namun tak dapat serta-merta terkategori sebagai feminin (BBC, 2018). Representasi soft masculinity dalam konteks drama dapat terlihat dari sosok Joong-Ki Song dalam dramanya “Descendant of the Sun”. Secara penampilan, Joong-Ki amat cocok untuk masuk ke dalam kategori “Flower Boys”, namun di saat yang sama, ia tampil dan berperan sebagai seorang kapten militer yang mana antagonis dengan sisi lembutnya.

Unsur soft masculinity dalam produk Hallyu tidak hanya muncul dalam peran karakter pada film atau drama. Dalam fashion, contohnya, soft masculinity mengizinkan pria bersolek dan tetap diidentifikasi serta mengidentifikasi diri sebagai seorang “pria”. Sementara itu, soft masculinity juga muncul pada produk musik dalam “bundel” Hallyu tadi. Berbeda dari topik musik pada umumnya, musik populer Korea memiliki bahasan yang tak terbatas lirik dan nada. Musik populer Korea—dengan nama bekennya; KPOP—justru lebih identik dengan para penyanyinya, atau yang biasa disebut sebagai “idola”.

Oleh karena itu, perbincangan tentang KPOP (Korean Pop) tak seharusnya berhenti pada musikalitas dan performa panggung. Sebab, lebih jauh dari itu, KPOP juga merupakan budaya populer—sebuah bagian dari apa yang Korea ekspor pada global dalam Hallyu (Korean wave) tadi—yang erat dengan kehidupan bermasyarakat (Kartika & Wirawanda, 2019). Sama seperti budaya populer lainnya, KPOP tak hanya merebak dengan tujuan komersialisasi, namun juga diseminasi budaya (Rastati, 2020). 

Eksistensinya yang mulai melejit dan menjadi tren di Asia pasca suksesi BoA, HOT, TVXQ, Rain, dan Se7en di tahun 2000-an menjadikan KPOP sebagai salah satu amunisi dalam ekspansi efek Hallyu di Asia (Jung, 2011). Dengan ini, konsep soft masculinity tadi juga dapat dengan mudah menelisik masuk untuk kemudian menjadi bagian baru dari budaya dan cara pandang orang banyak (Huat & Iwabuchi, 2008).

Dalam konsep KPOP yang kini identik dengan format grup, idola (performer) menjadi sebuah unsur yang krusial. Penampilan mereka, apa yang mereka pakai, apa yang mereka lakukan, atau bahkan bagaimana sifat serta sikap mereka di depan dan di belakang layar adalah suatu elemen yang banyak menuai atensi publik (Ayuningtyas, 2017). Dengan konsep soft masculinity, idola dapat menunjukkan bahwa nyatanya, seorang pria juga memiliki sikap dan karisma bernuansa lembut (Kartika & Wirawanda, 2019), yang juga menunjukkan bagaimana maskulinitas dan femininitas dapat ditampilkan secara hibrida dalam satu konsep soft masculinity.  

Sebagai contoh, saat ini “Aegyo Contest” tengah marak di kalangan idola. Mereka yang datang ke variety show biasanya diminta untuk bernyanyi, bicara, atau berperilaku dengan cara imut, tidak peduli bagaimana image mereka di muka publik. Lewat aegyo, definisi maskulin pun kembali dinegosiasi. Hal ini dikarenakan ide untuk memamerkan keimutan memang begitu lekat untuk diasosiasikan dengan wanita dan femininitas (Manietta, 2010).

Selain itu, para idola pria KPOP juga membuka pagar yang membatasi antara pria dan produk kecantikan. Hal ini terlihat sangat jelas, sebab “kedekatan” antara anggota boy group KPOP dan make up tak hanya terbatas pada agenda performa panggung, meski pada saat itu make up yang dipakai para idola dapat sangat kentara. Cara masyarakat Korea memandang kecantikan—yang termasuk ke dalam konsep soft masculinity—seolah telah membuat brand kecantikan memercayai idola pria untuk mengiklankan produk kecantikan mereka. Contohnya, produk kecantikan Nature Republic telah tujuh tahun lamanya (2013-2020) menggandeng boy group EXO sebagai brand ambassador. Baru-baru ini juga, sebuah brand asal Korea Selatan Candylab juga menggaet boy group NCT Dream sebagai brand ambassador untuk produk kecantikan mereka.

Representasi dari soft masculinity itu juga muncul pada sikap para idola pria. Beberapa dari mereka pandai memasak—seperti BTS Seok-Jin Kim atau iKON Yun-hyeong Song—dan dapat dengan bangga serta nyaman menunjukkan bahwa mereka adalah koki dalam grup maupun asrama. Padahal, dalam klasifikasi gender roles, memasak sendiri merupakan sebuah kegiatan bercitra feminin yang biasanya dilakukan oleh wanita (Kottak, 2010).

Mereka juga kerap kali menangis di depan kamera, di atas panggung, atau di hadapan publik. Beberapa idola seperti The Boyz Young-Hoon Kim pernah menangis karena terharu atas kemenangan pertama grup mereka di music show Korea, sementara BTS V juga pernah menangis pada saat memenangkan Daesang (salah satu penghargaan paling prestisius dalam permusikan Korea Selatan) dalam acara penghargaan MAMA 2018. Idola pria yang menangis itupun seolah telah mengingkari stereotip masculine sex-role yang menghalangi pria untuk melampiaskan emosi mereka lewat air mata (Stadel, Daniels, Warrens, & Jeronimus, 2019).

Lebih jauh dari itu, soft masculinity juga membuat afeksi terhadap sesama jenis lebih mudah ditemui di jalan-jalan Korea dibandingkan afeksi pada lawan jenis (Foran, 2013) meski homoseksualitas sendiri sebenarnya masih menjadi isu tabu bagi masyarakat Korea (Longres, 2012). Hal inilah yang mungkin menyebabkan para penggemar lebih mudah menemui interaksi intim antar idola sesama jenis, dibanding sekadar interaksi saling sapa antara idola lawan jenis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun