Mohon tunggu...
Jihad Bagas
Jihad Bagas Mohon Tunggu... Insinyur - inconsistent Writer

Kegiatan baca dan tulis merupakan kegiatan sakral yang nilai spiriualitasnya bergantung pada kandungan apa yang dibaca dan apa yang ditulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lensa Kita dalam Menyikapi Realitas

17 Januari 2021   21:41 Diperbarui: 17 Januari 2021   21:42 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang pada dasarnya kita manusia lebih mudah tergerak dengan dorongan ketakutan, kepanikan, keterdesakan. Jika memang landasan ini yang membuat kita bergerak, kejernihan di tiap tindakan yang kita lakukan pun seharusnya dipertanyakan. Tak heran jika kegagapan demi kegagapan dalam bertindak membuat seolah keadaan makin buruk. Tergerak berdasarkan dorongan ini mungkin bagus dalam jangka pendek, tapi tidak dalam kesinambungan jangka panjang.

Jika kita gambarkan sebuah flowchart tindakan, kita bertindak merespon sesuatu sepenuhnya merupakan kehendak kita, dasar dari kehendak ini adalah pengolahan dalam pikiran dari data – data yang dikumpulkan oleh indera kita. Yang nantinya hati memutuskan akan mengambil tindakan seperti apa yang dirasa baik.

Kejernihan dalam mengolah data dari berbagai realitas yang ditangkap oleh indera kita menjadi peran penting dalam tiap tindakan yang akan kita lakukan. Namun kejernihan, ketenangan dalam berpikir ini bukan berpangkal dari kepala. Tapi hati lah yang mengkondisikan situasi ini.

Lensa prespektif yang digunakan, landasan ilmu yang menjadi dasar dalam akal memproses sesuatu pun juga penting. Kedewasaan dalam proses ini akan membawa kita pada level kebijaksanaan dalam menyikapi realitas. Sehingga output dalam bertindak pun menjadi tepat.

Tapi, ada sebuah analogi wadah. Gelas, jika gelasnya kotor, sejernih dan sesuci apapun air yang masuk, tetap saja output dari air yang keluar akan kotor. Jika demikian secanggih apapun pikiran kita berpikir, pada akhirnya output dari sikap kita tetap akan keruh dalam menyikapi keadaan.

Kita kembali ke kondisi sekarang, penyebaran vaksin sudah dilakukan, keseharian dengan protokol Kesehatan sudah terbiasa hampir setahun, stigma dan hoax tentang korona sudah tidak semerbak dulu, ketersedian masker tidak selangka dulu. Maka bisakah mengatakan bahwa kondisi saat ini sudah membaik?

Hal yang patut kita sadari adalah, realitas itu berkembang. Tiap realitas terdapat dinamika – dinamika keadaan yang menjadikan kompleksnya sebuah permasalahan. Jadi pada akhirnya bukan hanya masalah kesehatan saja, masalah ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan pun bergabung membentuk masalah kemanusiaan. Nilai kita sebagai manusia yang memiliki kemampuan nalar berfiksi akan masa depan lebih baik dan kemampuan kolektivitas kognitif terhadap sesama akan diuji dalam melewati masa ini.

Poinnya adalah kondisi suatu keadaan itu bukan hal yang mutlak. Jadi keadaan buruk seperti sekarang ini bukan hal yang mutlak. Ia merupakan realitas yang bergerak, entah itu ke arah yang lebih baik atau lebih buruk. Penilaian terhadap kecenderungan arah dari realitas ini kita lah yang menentukan. Baik itu secara objektif berdasarkan data realita lapangan atau pun secara subjektif berdasarkan hal delusi dari perasaan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun