Keadaan lingkungan terasa makin buruk akhir – akhir ini. Pandemi Covid-19 yang belum mereda, ditambah lagi dengan kabar mutasi baru dari jenis virus tersebut. Sungguh kondisi awal tahun yang kurang nyaman bagi kita. Namun apapun yang terjadi, kita tetap harus melanjutkan kehidupan bagaimanapun kondisinya.
Pemerintah dalam situasi ini membuat kebijakan baru yaitu setiap perjalanan warga wajib tes PCR atau Rapid Antigen terlebih dahulu. Selain itu juga pemerintah telah berinisiasi mendatangkan vaksin untuk menghadapi pandemi ini. Yang mana nantinya tiap warga akan diberi vaksin ini. Terlepas dari segala kontroversi yang ada, konspirasi yang beredar, apapun itu segala niat kebaikan pastinya akan berbuah kebaikan kelak.
Polemik dalam merespon ini pun beragam. Jika kita kelompokkan reaksi masyarakat pastinya ada yang pro dan kontra. Yang jelas tiap respon tersebut memiliki dasar argumen yang mereka yakini benar. Dan golongan pro dan kontra ini pun memiliki prespektif ilmiah yang siap mereka debatkan.
Jika kita ulas sejenak saat virus ini masuk ke negara kita, hal yang harus kita akui adalah kita semua (masyarakat dan pemerintah) gagap dalam memitigasi ancaman ini. Kegagapan ini pastinya bersumber dari ketidaktahuan, ringkasnya adalah kurangnya informasi. Sebuah fakta yang nyata, era keterbukaan informasi ini tidak selalu menjadikan sebuah informasi baik tersebar luas dengan tepat!!
Mulai dari penyemprotan desinfektan ke tubuh manusia secara langsung, instruksi penggunaan masker hanya untuk orang yang sakit, penggunaan masker kain, makan putih telur bahkan stigma sosial yang muncul efek korona dan banyak hal lain yang mayoritas masyarakat lakukan di fase awal merebaknya pandemi ini yang mungkin tidak ada efeknya terhadap virus ini. Bisa dibilang merupakan respon gegabah tanpa dasar pengetahuan dan kecukupan infosmasi yang konkrit.
Kita boleh maklum jika kita berada dalam kondisi ketidaktahuan, namun akan sampai kapan? Manusia dianugerahi bakat adaptif yang baik terhadap lingkungan. Secara alamiah bakat adaptif ini tergerak berdasarkan intuisi. Intuisi dalam memilah hal yang dianggap baik atau buruk. Bersyukur saat ini dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, kemampuan adaptasi manusia juga didorong oleh teknologi yang diciptakan dari kemampuan nalar manusia dalam mempelajari ilmu alam. Sehingga rasio ketepatan adaptasi manusia menjadi efektif.
Namun kemampuan intuisi manusia ini sering kali bias oleh kebiasaan – kebiasaan yang sifatnya destruktif. Sering kali kita terbiasa mengambil penilaian terhadap sesuatu secara negatif, yang memicu rasa takut dan pada akhirnya men-generalisasikan keadaan yang ada bahwa semuanya buruk. Dalam peribahasa, gara – gara  nila setitik rusak susu sebelanga.
Mengeneralisasikan keadaan buruk ini salah satu faktor utamanya adalah kecepatan aliran informasi yang tidak terkontrol. Dunia yang makin kesini makin pragmatis membuat segalanya serba cepat, sehingga sering kali mengabaikan esensi – esensi yang ada. Belum selesai masalah dengan informasi pertama, ada lagi masalah terbaru dengan informasi kedua. Begitu lah seterusnya dan tidak tahu kenapa, sifat alamiah kita pun selalu mengingat hal – hal yang negatif di tiap keadaan.
Saat pemberitaan lebih sering tersaji dengan framing dramatis, tak heran jika ada simpangan esensi dari sebuah informasi berita yang tersampaikan kepada publik. Ringkasnya, berita tentang kematian lebih banyak beredar ketimbang berita tentang kesembuhan. Dengan kondisi ini pertanyaannya, apakah memang tidak ada berita tentang hal positif atau memang dari kita selaku pembaca hanya mencari berita tentang hal negatif?
Agak sulit jika menganalogikan sajian informasi ini dengan konsep ekonomi produsen dan konsumen. Dimana produsen idealnya akan membuat barang berdasarkan kebutuhan dari permintaan yang ada. Produsen disini mewakili industri media, dan konsumen mewakili masyarakat. Jadi singkatnya apa memang kita lebih tertarik membaca tentang kabar kematian?