Mohon tunggu...
Jihad Bagas
Jihad Bagas Mohon Tunggu... Insinyur - inconsistent Writer

Kegiatan baca dan tulis merupakan kegiatan sakral yang nilai spiriualitasnya bergantung pada kandungan apa yang dibaca dan apa yang ditulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lensa Kita dalam Menyikapi Realitas

17 Januari 2021   21:41 Diperbarui: 17 Januari 2021   21:42 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Langit sore Jakarta bagian selatan - 15 Januari 2021

Keadaan lingkungan terasa makin buruk akhir – akhir ini. Pandemi Covid-19 yang belum mereda, ditambah lagi dengan kabar mutasi baru dari jenis virus tersebut. Sungguh kondisi awal tahun yang kurang nyaman bagi kita. Namun apapun yang terjadi, kita tetap harus melanjutkan kehidupan bagaimanapun kondisinya.

Pemerintah dalam situasi ini membuat kebijakan baru yaitu setiap perjalanan warga wajib tes PCR atau Rapid Antigen terlebih dahulu. Selain itu juga pemerintah telah berinisiasi mendatangkan vaksin untuk menghadapi pandemi ini. Yang mana nantinya tiap warga akan diberi vaksin ini. Terlepas dari segala kontroversi yang ada, konspirasi yang beredar, apapun itu segala niat kebaikan pastinya akan berbuah kebaikan kelak.

Polemik dalam merespon ini pun beragam. Jika kita kelompokkan reaksi masyarakat pastinya ada yang pro dan kontra. Yang jelas tiap respon tersebut memiliki dasar argumen yang mereka yakini benar. Dan golongan pro dan kontra ini pun memiliki prespektif ilmiah yang siap mereka debatkan.

Jika kita ulas sejenak saat virus ini masuk ke negara kita, hal yang harus kita akui adalah kita semua (masyarakat dan pemerintah) gagap dalam memitigasi ancaman ini. Kegagapan ini pastinya bersumber dari ketidaktahuan, ringkasnya adalah kurangnya informasi. Sebuah fakta yang nyata, era keterbukaan informasi ini tidak selalu menjadikan sebuah informasi baik tersebar luas dengan tepat!!

Mulai dari penyemprotan desinfektan ke tubuh manusia secara langsung, instruksi penggunaan masker hanya untuk orang yang sakit, penggunaan masker kain, makan putih telur bahkan stigma sosial yang muncul efek korona dan banyak hal lain yang mayoritas masyarakat lakukan di fase awal merebaknya pandemi ini yang mungkin tidak ada efeknya terhadap virus ini. Bisa dibilang merupakan respon gegabah tanpa dasar pengetahuan dan kecukupan infosmasi yang konkrit.

Kita boleh maklum jika kita berada dalam kondisi ketidaktahuan, namun akan sampai kapan? Manusia dianugerahi bakat adaptif yang baik terhadap lingkungan. Secara alamiah bakat adaptif ini tergerak berdasarkan intuisi. Intuisi dalam memilah hal yang dianggap baik atau buruk. Bersyukur saat ini dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, kemampuan adaptasi manusia juga didorong oleh teknologi yang diciptakan dari kemampuan nalar manusia dalam mempelajari ilmu alam. Sehingga rasio ketepatan adaptasi manusia menjadi efektif.

Namun kemampuan intuisi manusia ini sering kali bias oleh kebiasaan – kebiasaan yang sifatnya destruktif. Sering kali kita terbiasa mengambil penilaian terhadap sesuatu secara negatif, yang memicu rasa takut dan pada akhirnya men-generalisasikan keadaan yang ada bahwa semuanya buruk. Dalam peribahasa, gara – gara  nila setitik rusak susu sebelanga.

Mengeneralisasikan keadaan buruk ini salah satu faktor utamanya adalah kecepatan aliran informasi yang tidak terkontrol. Dunia yang makin kesini makin pragmatis membuat segalanya serba cepat, sehingga sering kali mengabaikan esensi – esensi yang ada. Belum selesai masalah dengan informasi pertama, ada lagi masalah terbaru dengan informasi kedua. Begitu lah seterusnya dan tidak tahu kenapa, sifat alamiah kita pun selalu mengingat hal – hal yang negatif di tiap keadaan.

Saat pemberitaan lebih sering tersaji dengan framing dramatis, tak heran jika ada simpangan esensi dari sebuah informasi berita yang tersampaikan kepada publik. Ringkasnya, berita tentang kematian lebih banyak beredar ketimbang berita tentang kesembuhan. Dengan kondisi ini pertanyaannya, apakah memang tidak ada berita tentang hal positif atau memang dari kita selaku pembaca hanya mencari berita tentang hal negatif?

Agak sulit jika menganalogikan sajian informasi ini dengan konsep ekonomi produsen dan konsumen. Dimana produsen idealnya akan membuat barang berdasarkan kebutuhan dari permintaan yang ada. Produsen disini mewakili industri media, dan konsumen mewakili masyarakat. Jadi singkatnya apa memang kita lebih tertarik membaca tentang kabar kematian?

Memang pada dasarnya kita manusia lebih mudah tergerak dengan dorongan ketakutan, kepanikan, keterdesakan. Jika memang landasan ini yang membuat kita bergerak, kejernihan di tiap tindakan yang kita lakukan pun seharusnya dipertanyakan. Tak heran jika kegagapan demi kegagapan dalam bertindak membuat seolah keadaan makin buruk. Tergerak berdasarkan dorongan ini mungkin bagus dalam jangka pendek, tapi tidak dalam kesinambungan jangka panjang.

Jika kita gambarkan sebuah flowchart tindakan, kita bertindak merespon sesuatu sepenuhnya merupakan kehendak kita, dasar dari kehendak ini adalah pengolahan dalam pikiran dari data – data yang dikumpulkan oleh indera kita. Yang nantinya hati memutuskan akan mengambil tindakan seperti apa yang dirasa baik.

Kejernihan dalam mengolah data dari berbagai realitas yang ditangkap oleh indera kita menjadi peran penting dalam tiap tindakan yang akan kita lakukan. Namun kejernihan, ketenangan dalam berpikir ini bukan berpangkal dari kepala. Tapi hati lah yang mengkondisikan situasi ini.

Lensa prespektif yang digunakan, landasan ilmu yang menjadi dasar dalam akal memproses sesuatu pun juga penting. Kedewasaan dalam proses ini akan membawa kita pada level kebijaksanaan dalam menyikapi realitas. Sehingga output dalam bertindak pun menjadi tepat.

Tapi, ada sebuah analogi wadah. Gelas, jika gelasnya kotor, sejernih dan sesuci apapun air yang masuk, tetap saja output dari air yang keluar akan kotor. Jika demikian secanggih apapun pikiran kita berpikir, pada akhirnya output dari sikap kita tetap akan keruh dalam menyikapi keadaan.

Kita kembali ke kondisi sekarang, penyebaran vaksin sudah dilakukan, keseharian dengan protokol Kesehatan sudah terbiasa hampir setahun, stigma dan hoax tentang korona sudah tidak semerbak dulu, ketersedian masker tidak selangka dulu. Maka bisakah mengatakan bahwa kondisi saat ini sudah membaik?

Hal yang patut kita sadari adalah, realitas itu berkembang. Tiap realitas terdapat dinamika – dinamika keadaan yang menjadikan kompleksnya sebuah permasalahan. Jadi pada akhirnya bukan hanya masalah kesehatan saja, masalah ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan pun bergabung membentuk masalah kemanusiaan. Nilai kita sebagai manusia yang memiliki kemampuan nalar berfiksi akan masa depan lebih baik dan kemampuan kolektivitas kognitif terhadap sesama akan diuji dalam melewati masa ini.

Poinnya adalah kondisi suatu keadaan itu bukan hal yang mutlak. Jadi keadaan buruk seperti sekarang ini bukan hal yang mutlak. Ia merupakan realitas yang bergerak, entah itu ke arah yang lebih baik atau lebih buruk. Penilaian terhadap kecenderungan arah dari realitas ini kita lah yang menentukan. Baik itu secara objektif berdasarkan data realita lapangan atau pun secara subjektif berdasarkan hal delusi dari perasaan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun