Mohon tunggu...
Jiebon Swadjiwa
Jiebon Swadjiwa Mohon Tunggu... Seniman - seniman

Cuma penulis biasa sekaligus penikmat lagu, perasa puisi, dan pecandu kopi sachetan, selalu menulis dengan mendengarkan suara yang bangkit dari dalam dirinya, suara itu adalah suara kematian (dengan semua firasatnya), suara cinta, dan suara seni.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

PUISI: Antrean Panjang Tabung Gas Melon di Bawah Matahari dan Hujan

3 Februari 2025   15:04 Diperbarui: 3 Februari 2025   15:04 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mereka berdiri, barisan rapi tanpa aba-aba,

di bawah matahari yang membakar,

di bawah hujan yang mengguyur harapan.

Tangan-tangan menggenggam tabung kosong,

seperti doa yang tak kunjung dikabulkan.

--
Di ujung sana, sebuah gerbang bercahaya,

tertulis: Subsidi untuk Mereka yang Berhak.

Di depannya, penjaga berseragam memalak KTP,

menimbang nasib dalam lembaran identitas.

"Nama, alamat, usia?"

"Kamu siapa di hadapan negara?"

--

Di desa-desa, jalan berliku mengeluh,

menjadi saksi langkah-langkah yang dipungut pajak.

Mereka tak punya banyak pilihan,

kecuali berjalan jauh demi setabung nyala.

--

Di sudut kota, antrean mengular panjang,

orang-orang menggenggam kartu tanda pengemis.

LPG 3 kg jadi selebriti,

dikerumuni tangan-tangan yang tak semua berhak menyentuh.

--

"Subsidi harus tepat sasaran!" seru mereka

sambil menutup mata pada yang kehabisan.

Tapi di pasar gelap, si perantara tertawa,

menukar keputusasaan dengan kepingan rupiah.

--

Gas melon tersenyum sinis di rak besi,

ia bukan sekadar tabung, ia kasta,

ia gelar kehormatan bagi mereka yang cukup miskin,

tapi tidak terlalu miskin untuk membeli harapan.

--

Para pedagang kecil jadi dongeng semalam,

tokonya sunyi, timbangan berkarat.

Keadilan menjelma angka di layar aplikasi,

di mana sistem mencatat keluhan sebagai statistik,

dan derita hanya baris kecil dalam laporan tahunan.

--

Sementara itu, di gedung yang dingin,

meja-meja panjang mendiskusikan keadilan,

mengukur kemiskinan dengan grafik dan angka,

merundingkan lapar di atas piring-piring penuh.

--

Di luar, antrean semakin panjang,

panjang seperti janji yang tak ditepati,

dan negara, dengan mata berkaca-kaca,

berdiri di kejauhan, sibuk menggulung tikar belas kasihan.

***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun