Mereka berdiri, barisan rapi tanpa aba-aba,
di bawah matahari yang membakar,
di bawah hujan yang mengguyur harapan.
Tangan-tangan menggenggam tabung kosong,
seperti doa yang tak kunjung dikabulkan.
--
Di ujung sana, sebuah gerbang bercahaya,
tertulis: Subsidi untuk Mereka yang Berhak.
Di depannya, penjaga berseragam memalak KTP,
menimbang nasib dalam lembaran identitas.
"Nama, alamat, usia?"
"Kamu siapa di hadapan negara?"
--
Di desa-desa, jalan berliku mengeluh,
menjadi saksi langkah-langkah yang dipungut pajak.
Mereka tak punya banyak pilihan,
kecuali berjalan jauh demi setabung nyala.
--
Di sudut kota, antrean mengular panjang,
orang-orang menggenggam kartu tanda pengemis.
dikerumuni tangan-tangan yang tak semua berhak menyentuh.
--
"Subsidi harus tepat sasaran!" seru mereka
sambil menutup mata pada yang kehabisan.
Tapi di pasar gelap, si perantara tertawa,
menukar keputusasaan dengan kepingan rupiah.
--
Gas melon tersenyum sinis di rak besi,
ia bukan sekadar tabung, ia kasta,
ia gelar kehormatan bagi mereka yang cukup miskin,
tapi tidak terlalu miskin untuk membeli harapan.
--
Para pedagang kecil jadi dongeng semalam,
tokonya sunyi, timbangan berkarat.
Keadilan menjelma angka di layar aplikasi,
di mana sistem mencatat keluhan sebagai statistik,
dan derita hanya baris kecil dalam laporan tahunan.
--
Sementara itu, di gedung yang dingin,
meja-meja panjang mendiskusikan keadilan,
mengukur kemiskinan dengan grafik dan angka,
merundingkan lapar di atas piring-piring penuh.
--
Di luar, antrean semakin panjang,
panjang seperti janji yang tak ditepati,
dan negara, dengan mata berkaca-kaca,
berdiri di kejauhan, sibuk menggulung tikar belas kasihan.
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI