Kata orang, jangan mau menjalin hubungan dengan penulis sebab kamu akan terpenjara dalam tulisannya. Tetapi bagi nenek berbeda, ia dengan senang hati menjadi tawanan tulisan kakek seumur hidupnya.
***
Tubuh nenekku sudah ringkih namun ia tetap kuat untuk berjalan dari kamarnya menuju ruang tamu, tempat vas bunga perak berada. Dalam balutan sweater rajut berwarna merah maroon, daster coklat selutut serta sendal rumah hitam, nenekku berjalan perlahan. Aku yang sedang menyesap coklat panas di dapur, langsung bergegas membantu nenek untuk berjalan.
Secepat kilat aku memegang tubuhnya yang lembut. Nenek tersenyum melihatku. Matanya memancarkan kehangatan. Tanpa banyak kata, aku memapah nenek berjalan menuju vas bunga perak. Ia duduk tepat di sampingnya.
Tanpa harus diperintahkan, aku pergi ke dapur untuk mengambil kain lap serta botol semprot berisi cairan pembersih. Nenek menungguku membawakan kedua alat itu sembari menatap vas bunga perak kesayangannya.
Dalam hitungan detik, aku kembali dan menaruh alat-alat yang aku bawa di pangkuan nenek. Tanpa berkata, ia mulai menyemprot perlahan vas itu dan mengelapnya hingga menjadi sangat bersih. Lama ia menatap vas bunga itu dengan tatapan sendu. Siapa saja yang melihat tatapan nenek pasti akan setuju, ada kerinduan mendalam dari tatapannya. Matanya pun memancarkan kesedihan serta kehangatan yang berpadu harmoni.
"Yuk..." Nenek memanggilku.
Ayuk, yang berarti kakak perempuan dalam bahasa Palembang. Keluargaku merupakan keluarga asli Palembang yang bermigrasi ke Jakarta. Sementara aku adalah anak pertama di keluargaku sehingga wajar bila "Ayuk" menjadi panggilanku. Selayaknya "Mbak" di budaya Jawa, "Teteh" di budaya Sunda, dan "Uni" di budaya Minang.
"Iya?" Aku membalas panggilan nenek dengan perlahan.
"Kau suka menulis?"
"Suka..." jawabku dengan tersenyum pada nenek yang wajahnya masih saja cantik.