Mohon tunggu...
Jhosef Nanda
Jhosef Nanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Psikologi Unika Soegijapranata - Pegiat Permakultur di Alam Lejar Bhumi Immaculata - Pendidik di Wisma Remaja Bagimu Negeriku

Menulis itu kemerdekaan!

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Sekolah Nusantara: Menelusuri Fenomena Penyeragaman yang Mengikis Keragaman

5 Juli 2024   12:59 Diperbarui: 5 Juli 2024   23:19 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika sekolah terlalu fokus pada hal-hal kecil seperti ini, mereka mengabaikan hal-hal yang lebih penting seperti pengembangan keterampilan berpikir kritis, kemampuan untuk berkolaborasi, dan penghargaan terhadap keragaman. 

Penyeragaman ini juga mengabaikan kenyataan bahwa setiap siswa adalah individu yang unik dengan potensi dan bakat yang berbeda. Dengan memaksa semua siswa untuk berpenampilan sama, sekolah mengirim pesan bahwa perbedaan tidak dihargai. Ini bertentangan dengan tujuan pendidikan yang seharusnya mendorong setiap individu untuk berkembang sesuai dengan potensi dan minat mereka masing-masing. 

Solusinya Apa? Kita Semua Sama-sama Bingung, Ayo Bangun Dari Tidur!

Kritik terhadap penyeragaman di sekolah sering kali mendapat tekanan dari berbagai pihak. Beberapa mungkin menganggap kritik ini sebagai ulasan yang aneh dan tidak relevan, karena telah terbiasa dengan sistem yang ada dan menganggapnya sebagai norma. 

Para pendukung penyeragaman mungkin berpendapat bahwa aturan-aturan ini membantu menjaga disiplin dan ketertiban di sekolah, memberikan rasa kesatuan, dan menghindari perbedaan yang dapat menimbulkan konflik.

Namun, apakah kita telah mempertanyakan cukup dalam mengenai dampak jangka panjang dari kebijakan-kebijakan tersebut? Sekolah seharusnya menjadi tempat di mana anak-anak dapat bebas berekspresi, tempat di mana mereka merasa dihargai sebagai individu dengan potensi unik yang berbeda-beda. 

Bukankah penekanan berlebihan pada keseragaman justru mengekang kreativitas dan kebebasan berekspresi mereka?

Tulisan ini tidak bermaksud memberikan solusi konkret, melainkan untuk memantik pemikiran kritis dari para guru, orang tua, dan siswa. 

Apakah benar bahwa penyeragaman dalam aspek-aspek atributal dan seremonial ini lebih penting daripada menghargai keragaman dan kebebasan berekspresi? Apakah pendidikan yang kita berikan benar-benar mempersiapkan generasi yang kritis, kreatif, dan mampu berpikir mandiri?

Refleksi ini mengajak kita untuk merenung lebih dalam mengenai tujuan sejati dari pendidikan. Apakah kita ingin menciptakan generasi yang hanya tahu patuh dan mengikuti aturan tanpa mempertanyakan, atau generasi yang mampu berpikir kritis dan menghargai perbedaan? 

Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin tidak mudah dijawab, dan mungkin juga akan menghadapi berbagai resistensi, tetapi penting untuk diangkat agar kita dapat mengevaluasi kembali sistem pendidikan yang ada dan menuju ke arah yang lebih baik.

Penyeragaman dalam aspek atributal dan seremonial di sekolah-sekolah Nusantara mencerminkan warisan dari masa lalu di mana pendidikan digunakan sebagai alat kekuasaan untuk menciptakan generasi yang patuh dan tidak kritis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun