Mohon tunggu...
Jhosef Nanda
Jhosef Nanda Mohon Tunggu... Mahasiswa Psikologi Unika Soegijapranata - Pegiat Permakultur di Alam Lejar Bhumi Immaculata - Pendidik di Wisma Remaja Bagimu Negeriku

Menulis itu kemerdekaan!

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Sekolah Nusantara: Menelusuri Fenomena Penyeragaman yang Mengikis Keragaman

5 Juli 2024   12:59 Diperbarui: 5 Juli 2024   23:19 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto : Pexels.com || Ilustrasi Siswa Sekolah Mengenakan Seragam

Sekolah sebagai institusi pendidikan seharusnya menjadi tempat di mana peserta didik dapat berkembang secara holistik, baik dalam aspek intelektual, emosional, sosial, dan budaya. Namun, fenomena yang kita lihat di banyak sekolah di Nusantara justru menunjukkan adanya penekanan berlebihan pada aspek-aspek yang sifatnya atributal, seremonial, dan fisik. 

Namun, fenomena yang kita lihat di banyak sekolah di Nusantara justru menunjukkan adanya penekanan berlebihan pada aspek-aspek yang sifatnya atributal, seremonial, dan fisik

Aturan mengenai panjang rambut, warna sepatu, dan berbagai kebijakan penyeragaman lainnya sering kali menjadi fokus utama, sementara aspek pengembangan kritis, kreativitas, dan penghargaan terhadap keragaman cenderung terabaikan. 

Fenomena ini bukan hanya mengganggu esensi pendidikan itu sendiri, tetapi juga mencerminkan warisan dari masa lalu di mana pendidikan digunakan sebagai alat kekuasaan. Apa maksudnya? berikut ulasan dari penulis.

Atributal dan Seremonial: Mengapa Begitu Penting? 

Tidak dapat dipungkiri bahwa sekolah sering kali terlihat lebih sibuk mengurusi hal-hal yang sifatnya superfisial. Peraturan tentang model rambut misalnya, di mana siswa laki-laki harus memotong rambut dengan model 1-2-1, tidak boleh gondrong dan sebagainya telah menjadi salah satu peraturan yang paling sering diperdebatkan. 

Sering kali alasan yang diberikan adalah agar siswa terlihat rapi dan disiplin. Namun, apakah benar bahwa panjang rambut atau model bros memiliki korelasi langsung dengan prestasi akademis atau perilaku siswa serta berkaitan dengan pengembangan karakter? 

Penyeragaman ini tidak hanya terbatas pada rambut dan aksesori. Aturan seragam sekolah yang ketat, termasuk warna sepatu dan tas, menunjukkan betapa sekolah lebih mementingkan penampilan seragam daripada menghargai individualitas dan keragaman siswa. 

Ini mengirim pesan yang kuat bahwa konformitas lebih dihargai daripada ekspresi diri, yang pada akhirnya dapat membunuh kreativitas dan individualitas siswa. 

Sebagai ilustrasi, penulis memiliki pengalaman ketika kecil saat diberi tugas menggambar manusia. Penulis ingat bahwa saat itu ada teman yang mewarnai objek gambarnya tersebut menggunakan beragam warna. Alih-laih mendapat apresiasi, justru anak malang tersebut mendapat "kritik halus" dari gurunya: "manusia itu harusnya diwarnai dengan warna cokelat, rambutnya hitam.".

Ilustrasi sederhana bahwa seringkali, pembunuhan kreativitas sudah terjadi sejak dini secara tragis di institusi pendidikan.

Mengapa Harus Ada Penyeragaman? 

Dalam konteks yang lebih luas, penyeragaman ini dapat dilihat sebagai upaya untuk menciptakan generasi yang patuh dan tidak kritis. 

Praktik ini memiliki akar yang dalam pada era Orde Baru di Indonesia, di mana pendidikan digunakan sebagai alat untuk menanamkan nilai-nilai tertentu yang mendukung stabilitas dan kekuasaan. 

Pendidikan pada masa itu tidak hanya mengajarkan kurikulum standar tetapi juga menanamkan ideologi tertentu yang bertujuan untuk menciptakan generasi yang tunduk dan tidak mempertanyakan otoritas. 

Sumber Foto : Pexels.com || Ilustrasi Keberagaman
Sumber Foto : Pexels.com || Ilustrasi Keberagaman

Pendidikan Sebagai Alat Kekuasaan 

Pada masa Orde Baru, pendidikan di Indonesia dirancang sedemikian rupa untuk menciptakan keseragaman pandangan dan perilaku. Buku teks disusun dengan narasi tunggal yang mendukung rezim, dan penekanan pada disiplin serta kepatuhan menjadi prioritas utama. 

Pendidikan tidak lagi menjadi alat untuk membebaskan pikiran, tetapi sebaliknya, menjadi alat untuk mengontrol dan menekan potensi kritis dari generasi muda. 

Sumber Foto : Pexels.com || Pendidikan Sebagai Alat Kemerdekaan atau Alat Pembungkaman?
Sumber Foto : Pexels.com || Pendidikan Sebagai Alat Kemerdekaan atau Alat Pembungkaman?

Sistem pendidikan yang seperti ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap individu berpikir dan bertindak sesuai dengan norma yang telah ditentukan. 

Dalam hal ini, penyeragaman dalam hal atributal dan seremonial di sekolah tidak bisa dipandang remeh. Ia adalah refleksi dari kontrol yang lebih besar yang diterapkan dalam masyarakat, di mana kebebasan berpikir dan berkreasi dibatasi oleh aturan-aturan yang kaku. 

Lalu apa sikap yang pantas diberikan untuk fenomena ini? Sebetulnya diskusi kritis di akar rumput sering sekali dilakukan. Namun ketika harus berhadapan dengan unsur birokratis, maka diskusi kritis acapkali lumpuh begitu saja.

Kritik Terhadap Kebijakan "Remeh Temeh"

Kebijakan-kebijakan yang terkesan remeh temeh seperti aturan rambut dan warna sepatu sebenarnya memiliki dampak yang lebih besar terhadap perkembangan siswa. 

Ketika sekolah terlalu fokus pada hal-hal kecil seperti ini, mereka mengabaikan hal-hal yang lebih penting seperti pengembangan keterampilan berpikir kritis, kemampuan untuk berkolaborasi, dan penghargaan terhadap keragaman. 

Penyeragaman ini juga mengabaikan kenyataan bahwa setiap siswa adalah individu yang unik dengan potensi dan bakat yang berbeda. Dengan memaksa semua siswa untuk berpenampilan sama, sekolah mengirim pesan bahwa perbedaan tidak dihargai. Ini bertentangan dengan tujuan pendidikan yang seharusnya mendorong setiap individu untuk berkembang sesuai dengan potensi dan minat mereka masing-masing. 

Solusinya Apa? Kita Semua Sama-sama Bingung, Ayo Bangun Dari Tidur!

Kritik terhadap penyeragaman di sekolah sering kali mendapat tekanan dari berbagai pihak. Beberapa mungkin menganggap kritik ini sebagai ulasan yang aneh dan tidak relevan, karena telah terbiasa dengan sistem yang ada dan menganggapnya sebagai norma. 

Para pendukung penyeragaman mungkin berpendapat bahwa aturan-aturan ini membantu menjaga disiplin dan ketertiban di sekolah, memberikan rasa kesatuan, dan menghindari perbedaan yang dapat menimbulkan konflik.

Namun, apakah kita telah mempertanyakan cukup dalam mengenai dampak jangka panjang dari kebijakan-kebijakan tersebut? Sekolah seharusnya menjadi tempat di mana anak-anak dapat bebas berekspresi, tempat di mana mereka merasa dihargai sebagai individu dengan potensi unik yang berbeda-beda. 

Bukankah penekanan berlebihan pada keseragaman justru mengekang kreativitas dan kebebasan berekspresi mereka?

Tulisan ini tidak bermaksud memberikan solusi konkret, melainkan untuk memantik pemikiran kritis dari para guru, orang tua, dan siswa. 

Apakah benar bahwa penyeragaman dalam aspek-aspek atributal dan seremonial ini lebih penting daripada menghargai keragaman dan kebebasan berekspresi? Apakah pendidikan yang kita berikan benar-benar mempersiapkan generasi yang kritis, kreatif, dan mampu berpikir mandiri?

Refleksi ini mengajak kita untuk merenung lebih dalam mengenai tujuan sejati dari pendidikan. Apakah kita ingin menciptakan generasi yang hanya tahu patuh dan mengikuti aturan tanpa mempertanyakan, atau generasi yang mampu berpikir kritis dan menghargai perbedaan? 

Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin tidak mudah dijawab, dan mungkin juga akan menghadapi berbagai resistensi, tetapi penting untuk diangkat agar kita dapat mengevaluasi kembali sistem pendidikan yang ada dan menuju ke arah yang lebih baik.

Penyeragaman dalam aspek atributal dan seremonial di sekolah-sekolah Nusantara mencerminkan warisan dari masa lalu di mana pendidikan digunakan sebagai alat kekuasaan untuk menciptakan generasi yang patuh dan tidak kritis. 

Untuk membangun sistem pendidikan yang benar-benar mendidik, kita perlu menghargai keragaman dan fokus pada pengembangan potensi individu. Kebijakan yang lebih fleksibel, kurikulum yang mendorong keterampilan kritis dan kreatif, serta penghargaan terhadap keragaman adalah langkah-langkah penting yang perlu diambil untuk menciptakan generasi yang bebas berpikir, inovatif, dan siap menghadapi tantangan masa depan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun