Dalam konteks yang lebih luas, penyeragaman ini dapat dilihat sebagai upaya untuk menciptakan generasi yang patuh dan tidak kritis.Â
Praktik ini memiliki akar yang dalam pada era Orde Baru di Indonesia, di mana pendidikan digunakan sebagai alat untuk menanamkan nilai-nilai tertentu yang mendukung stabilitas dan kekuasaan.Â
Pendidikan pada masa itu tidak hanya mengajarkan kurikulum standar tetapi juga menanamkan ideologi tertentu yang bertujuan untuk menciptakan generasi yang tunduk dan tidak mempertanyakan otoritas.Â
Pendidikan Sebagai Alat KekuasaanÂ
Pada masa Orde Baru, pendidikan di Indonesia dirancang sedemikian rupa untuk menciptakan keseragaman pandangan dan perilaku. Buku teks disusun dengan narasi tunggal yang mendukung rezim, dan penekanan pada disiplin serta kepatuhan menjadi prioritas utama.Â
Pendidikan tidak lagi menjadi alat untuk membebaskan pikiran, tetapi sebaliknya, menjadi alat untuk mengontrol dan menekan potensi kritis dari generasi muda.Â
Sistem pendidikan yang seperti ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap individu berpikir dan bertindak sesuai dengan norma yang telah ditentukan.Â
Dalam hal ini, penyeragaman dalam hal atributal dan seremonial di sekolah tidak bisa dipandang remeh. Ia adalah refleksi dari kontrol yang lebih besar yang diterapkan dalam masyarakat, di mana kebebasan berpikir dan berkreasi dibatasi oleh aturan-aturan yang kaku.Â
Lalu apa sikap yang pantas diberikan untuk fenomena ini? Sebetulnya diskusi kritis di akar rumput sering sekali dilakukan. Namun ketika harus berhadapan dengan unsur birokratis, maka diskusi kritis acapkali lumpuh begitu saja.
Kritik Terhadap Kebijakan "Remeh Temeh"
Kebijakan-kebijakan yang terkesan remeh temeh seperti aturan rambut dan warna sepatu sebenarnya memiliki dampak yang lebih besar terhadap perkembangan siswa.Â