Mohon tunggu...
Jhosef Nanda
Jhosef Nanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Psikologi Unika Soegijapranata - Pegiat Permakultur di Alam Lejar Bhumi Immaculata - Pendidik di Wisma Remaja Bagimu Negeriku

Menulis itu kemerdekaan!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Katrol Nilai: Ketidakjujuran yang Dinormalisasi dalam Sistem Pendidikan Kita

23 Juni 2024   23:18 Diperbarui: 25 Juni 2024   13:03 820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bhumi Immaculate! - Cita-cita akan bumi yang bersih, rapi, tanpa noda

Ditulis Oleh : Jhosef Nanda Putra - Alam Lejar Bhumi Immaculata || instagram.com/jhosefnanda

Fenomena "katrol nilai" di sekolah bukanlah hal baru, tetapi belakangan ini menjadi semakin mencolok dan mengkhawatirkan. 

"Katrol nilai" mengacu pada praktik mengubah atau meningkatkan nilai siswa secara tidak wajar agar mereka memenuhi syarat untuk naik kelas atau lulus. 

Di balik praktik ini terdapat tekanan yang besar, baik dari pihak sekolah, orang tua, maupun kebijakan pendidikan yang menuntut agar semua siswa naik kelas. 

Namun, praktik ini menimbulkan berbagai masalah serius yang dapat merusak integritas pendidikan, kejujuran akademis, dan masa depan siswa itu sendiri. 

Tekanan untuk Naik Kelas: Di Mana Letak Masalahnya?

Dalam sistem pendidikan kita, ada tuntutan yang sangat kuat agar semua siswa naik kelas setiap tahun. Ini terlihat dari kebijakan pemerintah dan harapan orang tua yang menuntut keberhasilan akademis dalam bentuk kenaikan kelas. 

Tekanan ini sering kali membuat guru dan pihak sekolah melakukan berbagai cara untuk memastikan bahwa tidak ada siswa yang tinggal kelas, termasuk dengan cara "mengatrol" nilai siswa yang tidak memenuhi kriteria ketuntasan minimal (KKM) atau yang sekarang akrab disebut Kriteria Ketercapaian Tujuan Pembelajaran (KKTP). Apapun istilahnya, esensinya sama.

Proses belajar di sekolah tidak selalu berjalan mulus. Banyak faktor yang mempengaruhi prestasi akademis siswa, mulai dari masalah pribadi, lingkungan keluarga, metode pengajaran yang kurang efektif, hingga keterbatasan sarana dan prasarana di sekolah.

Akibatnya, ada siswa yang kesulitan mencapai KKM di akhir semester atau kenaikan kelas. 

Namun, alih-alih memberikan solusi yang tepat, sering kali jalan pintas diambil dengan menaikkan nilai mereka agar terlihat memenuhi syarat.

Namun, alih-alih memberikan solusi yang bijak, sering kali jalan pintas diambil dengan menaikkan nilai mereka agar terlihat memenuhi syarat.

Bim Salabim: Nilai Siswa Tiba-Tiba Bagus 

Praktik katrol nilai sering kali dilakukan secara diam-diam, tetapi dampaknya bisa dilihat secara nyata. 

Siswa yang sebelumnya memiliki nilai rendah atau kurang dari KKM, tiba-tiba mendapatkan nilai yang cukup atau bahkan bagus di laporan hasil belajar mereka. Perubahan drastis ini tentu saja menimbulkan pertanyaan mengenai kejujuran dan integritas sistem pendidikan kita. 

Banyak pihak yang akhirnya menutup mata terhadap praktik ini karena menganggapnya sebagai solusi cepat untuk masalah yang kompleks. Sekolah ingin menjaga reputasi mereka dengan menunjukkan angka kelulusan yang tinggi. 

Orang tua tidak ingin anak mereka merasa tertinggal atau mengalami rasa malu karena tinggal kelas. Dan siswa, meskipun mereka mungkin sadar akan ketidakjujuran ini, merasa lega karena tidak harus menghadapi konsekuensi dari kegagalan akademis mereka.

Ketidakjujuran yang Dinormalisasi

Salah satu masalah terbesar dari praktik katrol nilai adalah normalisasi ketidakjujuran. Ketika nilai siswa ditingkatkan secara tidak wajar, ini mengirimkan pesan bahwa hasil lebih penting daripada proses. 

Siswa belajar bahwa usaha dan belajar keras tidak sepenting mendapatkan nilai yang baik. Hal ini merusak etika belajar dan menanamkan pola pikir yang salah mengenai kesuksesan. 

Selain itu, normalisasi katrol nilai juga berdampak negatif pada integritas profesi guru. Guru, yang seharusnya menjadi teladan dalam kejujuran dan integritas, dipaksa atau merasa perlu untuk berkompromi dengan nilai-nilai mereka demi memenuhi tuntutan eksternal. 

Ini tidak hanya merusak profesionalisme guru, tetapi juga merusak hubungan antara guru dan siswa, yang seharusnya dibangun atas dasar kepercayaan dan penghargaan. 

Dampak Jangka Panjang pada Siswa 

Praktik katrol nilai mungkin memberikan solusi jangka pendek, tetapi dampaknya pada siswa bisa sangat merugikan dalam jangka panjang. 

Siswa yang nilai-nilainya ditingkatkan secara tidak wajar mungkin tidak benar-benar memahami materi pelajaran yang seharusnya mereka kuasai. Ini akan menjadi masalah besar ketika mereka harus menghadapi ujian yang lebih tinggi atau tantangan akademis lainnya di masa depan. 

Lebih dari itu, siswa yang terbiasa dengan ketidakjujuran ini mungkin mengembangkan kebiasaan buruk lainnya. Mereka mungkin berpikir bahwa menipu atau mencari jalan pintas adalah cara yang sah untuk mencapai tujuan. 

Ini bisa berdampak pada perilaku mereka di luar sekolah, termasuk dalam kehidupan pribadi dan profesional mereka di masa depan. 

(Mungkin Bisa) Menjadi Solusi untuk Masalah yang Kompleks

Mengatasi masalah katrol nilai bukanlah tugas yang mudah. Dibutuhkan perubahan sistemik dan pendekatan yang komprehensif untuk menangani akar permasalahannya. Dalam keterbatasan, penulis memiliki gagasan yang mungkin bisa menjadi inspirasi untuk menyikapi fenomena katrol nilai ini. 

1. Revolusi Kejujuran

Langkah pertama yang sangat fundamental adalah membangun budaya kejujuran di semua tingkatan pendidikan. Ini bukan hanya soal nilai-nilai yang diajarkan, tetapi juga harus tercermin dalam setiap aspek operasional sekolah.

Sekolah harus mengimplementasikan sistem penilaian yang sepenuhnya transparan. Setiap nilai yang diberikan harus didukung dengan bukti nyata, seperti hasil ujian, proyek, atau partisipasi kelas. Sekolah harus membuka akses bagi orang tua dan siswa untuk melihat bagaimana nilai dihitung dan diberikan.

Selain itu perlu ada kebijakan tegas terhadap praktik kecurangan, baik dari siswa, guru, maupun administrasi sekolah. Sanksi yang jelas dan konsisten harus diterapkan untuk setiap pelanggaran. Misalnya, bagi guru atau staf yang terbukti mengatrol nilai, ada konsekuensi yang serius seperti penurunan jabatan atau pemecatan.

2. Gebrakan Sistem Evaluasi dan Kurikulum

Sistem evaluasi dan kurikulum yang ada perlu dirombak secara radikal untuk memastikan bahwa penilaian benar-benar mencerminkan kemampuan dan usaha siswa.

Gantikan sistem penilaian tradisional dengan evaluasi berbasis kompetensi. Dalam model ini, siswa dinilai berdasarkan keterampilan dan kompetensi yang mereka kuasai, bukan hanya pada hasil ujian semata. Ini bisa mencakup proyek-proyek, portofolio, dan penilaian kinerja.

Kemudian, meski ini sangat kontroversial namun mungkin bisa dilakukan peninjauan kembali terkait kebijakan yang mewajibkan semua siswa naik kelas setiap tahun.

Sebagai gantinya, terapkan sistem di mana kenaikan kelas didasarkan pada pencapaian kompetensi tertentu. Siswa yang belum mencapai kompetensi yang diharapkan diberi waktu tambahan dan bantuan untuk mencapainya.

Dari sisi kurikulum juga perlu dikembangkan kurikulum yang fleksibel dan bisa disesuaikan dengan kebutuhan individu siswa. Kurikulum ini harus memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan mereka sendiri dan fokus pada area di mana mereka membutuhkan perbaikan. 

Refleksi

Fenomena katrol nilai di sekolah mencerminkan masalah serius dalam sistem pendidikan kita. Praktik ini tidak hanya merusak integritas akademis dan etika belajar, tetapi juga berdampak negatif pada masa depan siswa dan profesionalisme guru. Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat.

Bhumi Immaculate ! - Bumi yang bersih, rapi, tanpa noda 

Ditulis Oleh: Jhosef Nanda Putra - Alam Lejar Bhumi Immaculata || instagram.com/jhosefnanda

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun