Praktik katrol nilai sering kali dilakukan secara diam-diam, tetapi dampaknya bisa dilihat secara nyata.Â
Siswa yang sebelumnya memiliki nilai rendah atau kurang dari KKM, tiba-tiba mendapatkan nilai yang cukup atau bahkan bagus di laporan hasil belajar mereka. Perubahan drastis ini tentu saja menimbulkan pertanyaan mengenai kejujuran dan integritas sistem pendidikan kita.Â
Banyak pihak yang akhirnya menutup mata terhadap praktik ini karena menganggapnya sebagai solusi cepat untuk masalah yang kompleks. Sekolah ingin menjaga reputasi mereka dengan menunjukkan angka kelulusan yang tinggi.Â
Orang tua tidak ingin anak mereka merasa tertinggal atau mengalami rasa malu karena tinggal kelas. Dan siswa, meskipun mereka mungkin sadar akan ketidakjujuran ini, merasa lega karena tidak harus menghadapi konsekuensi dari kegagalan akademis mereka.
Ketidakjujuran yang Dinormalisasi
Salah satu masalah terbesar dari praktik katrol nilai adalah normalisasi ketidakjujuran. Ketika nilai siswa ditingkatkan secara tidak wajar, ini mengirimkan pesan bahwa hasil lebih penting daripada proses.Â
Siswa belajar bahwa usaha dan belajar keras tidak sepenting mendapatkan nilai yang baik. Hal ini merusak etika belajar dan menanamkan pola pikir yang salah mengenai kesuksesan.Â
Selain itu, normalisasi katrol nilai juga berdampak negatif pada integritas profesi guru. Guru, yang seharusnya menjadi teladan dalam kejujuran dan integritas, dipaksa atau merasa perlu untuk berkompromi dengan nilai-nilai mereka demi memenuhi tuntutan eksternal.Â
Ini tidak hanya merusak profesionalisme guru, tetapi juga merusak hubungan antara guru dan siswa, yang seharusnya dibangun atas dasar kepercayaan dan penghargaan.Â
Dampak Jangka Panjang pada SiswaÂ
Praktik katrol nilai mungkin memberikan solusi jangka pendek, tetapi dampaknya pada siswa bisa sangat merugikan dalam jangka panjang.Â
Siswa yang nilai-nilainya ditingkatkan secara tidak wajar mungkin tidak benar-benar memahami materi pelajaran yang seharusnya mereka kuasai. Ini akan menjadi masalah besar ketika mereka harus menghadapi ujian yang lebih tinggi atau tantangan akademis lainnya di masa depan.Â
Lebih dari itu, siswa yang terbiasa dengan ketidakjujuran ini mungkin mengembangkan kebiasaan buruk lainnya. Mereka mungkin berpikir bahwa menipu atau mencari jalan pintas adalah cara yang sah untuk mencapai tujuan.Â