Mohon tunggu...
Jhon Sitorus
Jhon Sitorus Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pengamat Politik, Sepakbola, Kesehatan dan Ekonomi

Indonesia Maju

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menanti Sanksi FIFA, Persepsi Negatif Dunia hingga Bayang-bayang Krisis Ekonomi

1 April 2023   13:57 Diperbarui: 1 April 2023   14:11 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demonstrasi besar-besaran tahun 1965 akibat krisis ekonomi. Sumber: Kompas.com

Dibatalkannya Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 tahun 2023 mengundang sejumlah polemik yang sangat dilematis. Publik banyak yang memperdebatkan alasan FIFA mencabut kepercayaannya kepada Indonesia setelah 4 tahun berjuang. FIFA menunjuk Indonesia tahun 2019 menyisihkan Brasil dan Peru yang juga ikut menawarkan diri.

Brazil sebenarnya lebih berpeluang besar mengingat mereka baru sukses menyelenggarakan Piala Dunia pada 2014 serta Copa Amerika 2019 dan 2021 yang lalu. Tetapi, selain karena usaha dan keseriusan serta keterlibatan pemerintah dalam proses bidding, FIFA juga menginginkan negara-negara kelas menengah kebawah untuk ikut ambil bagian dalam event akbar sekelas piala dunia U-20.

Kepercayaan ini sekaligus bagian dari komitmen FIFA membantu mengimprove sepakbola negara-negara menengah kebawah agar lebih berkembang dan mendapat atensi negara-negara yang sepakbolanya sudah lebih maju. Kepercayaan yang diberikan oleh FIFA tentu sudah dianalisa baik dari faktor keamanan, geopolitik, kultur masyarakat, ekonomi dan minat masyarakat Indonesia yang sangat besar terhadap sepakbola

Sejak penunjukan hingga awal tahun 2023, hampir tidak ada polemik berarti yang bisa menggoyahkan kepercayaan FIFA kepada Indonesia. Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 138 orang saat pertandingan Arema vs Persebaya bahkan tidak diberi sanksi oleh FIFA, padahal tragedi itu adalah tragedi terbesar kedua sepanjang sejarah sepakbola setelah Tragedi Stadion Nacional (Peru) tahun 1964.

FIFA hanya menekankan untuk membantu transformasi sepakbola Indonesia seperti perubahan jam tanding, standarisasi stadion, aksesibilitas stadion hingga sistem keamanan yang melibatkan penegak hukum. Respon FIFA ini sekaligus menyelamatkan Indonesia dari mimpi buruk yang sangat ditakutkan yaitu Indonesia dibatalkan sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20. Satu sisi beruntung tidak disanksi, satu sisi Indonesia menangisi duka yang sangat mendalam.

Awal 2023 khususnya bulan Maret, gelombang penolakan terhadap Timnas Israel mulai memanas. Padahal, timnas Israel sejak pertengahan 2022 sudah lolos dari babak kualifikasi, tetapi tidak ada gelombang protes sama sekali. Penolakan ini datang dari berbagai kalangan seperti Ormas PA 212, ormas islam lainnya, tokoh-tokoh agama, partai politik seperti PDI-Perjuangan, PKS dan PAN juga tokoh-tokoh politik seperti Gubernur Bali, I Wayan Koster, Ganjar Pranowo, anggota komisi III M Nasir, Sekjend PDI-Perjuangan Hasto Kristianto dan lain-lain.

Semua pihak yang menolak berdalih bahwa kehadiran Timnas Israel adalah upaya menegakkan konstitusi Republik Indonesia dan UUD 1945 serta upaya penghianatan terhadap perlawanan Soekarno terhadap penjajahan Israel ditanah Palestina. Khusus ormas Islam, mereka berpendapat bahwa kehadiran Israel sama saja dengan menghianati perjuangan rakyat Palestina yang dianggap mayoritas beragama Islam.

Padahal Duta Besar Palestina Zuhair Al Sun sudah menyatakan bahwa kehadiran timnas Israel tidak akan menurunkan hubungan baik Indonesia dengan Palestina. Bagi Al Sun, sepakbola hanyalah sepakbola sesuai aturan FIFA, tidak memiliki hubungan dengan politik apalagi konflik yang tidak memiliki akhir di tanah Palestina.

Antara Gengsi, Harga diri atau sebuah ego berdalih komitmen, pernyataan Dubes Palestina tersebut tak mampu menurunkan gejolak dalam negeri yang harus menolak kehadiran Timnas Israel. Sedangkan pihak yang tidak mempermasalahkan kehadiran timnas Israel adalah kelompok yang murni sebagai penikmat sepakbola tanpa embel-embel politik serta official dan pemain timnas Indonesia itu sendiri.

Satu kelompok melawan berbagai kelompok yang terdiri dari latar belakang agama, pandangan politik, partai politik dan suku ini membuat pertarungan opini tak seimbang sehingga suasana yang terjadi di Indonesia makin memanas. Apalagi jika sampai memperdebatkan soal ideologi agama, sulit rasanya memenangkan perdebatan publik jika kedua sudut pandang ini bersatu. Padahal, dalam sejarah bangsa, ideologi sebuah negara dengan pandangan agama itu selalu berseberangan, tetapi kali ini agak diluar kebiasaan.

Bagi FIFA, berbagai upaya penolakan (Diskriminasi) ini bukan sekadar opini basa basi tetapi ada hal penting yang lebih dipertimbangkan oleh FIFA yaitu tentang keamanan dan rasa nyaman bagi peserta turnamen. FIFA tidak mungkin mencabut status kepesertaan Timnas Israel dari Piala Dunia U-20 karena Israel telah lolos melewati babak kualifikasi.

Media Release FIFA terkait pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20. Sumber: Twitter/Jhonsitorus
Media Release FIFA terkait pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20. Sumber: Twitter/Jhonsitorus

Mencabut status kepesertaan Israel sama saja dengan memperpanjang urusan karena Israel bisa menuntut FIFA lewat jalur hukum. Sedangkan Indonesia status kepesertaannya diperoleh karena Indonesia ditunjuk sebagai tuan rumah, maka hal yang paling logis adalah membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah sekaligus sebagai peserta Piala Dunia U-20. FIFA akan memberi 1 slot jatah kepersertaan kepada tuan rumah yang akan ditunjuk sesegera mungkin sesuai release yang telah dikeluarkan oleh FIFA saat pengumuman pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah.

Indonesia juga tidak bisa menuntut FIFA ke ranah hukum karena pada faktanya Indonesia terbukti melakukan diskriminasi kepada Israel. Menuntut FIFA ke ranah hukum sama saja semakin membuktikan bahwa Indonesia benar-benar tidak siap menjadi tuan rumah yang baik.

Berbagai Sanksi Menanti

Pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 tidak berhenti sampai  disana karena berdasarkan pengumuman FIFA, sanksi sedang dipertimbangkan dan menyusul akan diumumkan segera tanpa mengurangi janji FIFA untuk membantu Indonesia mentransformasi sepakbolanya menjadi lebih baik.

Sanksi inilah yang jadi kekhawatiran para pecinta sepakbola Indonesia dan PSSI saat ini. Semua berharap agar sanksi itu tidak menjatuhkan moral sepakbola Indonesia, apalagi sampai mengucilkan Indonesia dari persepakbolaan internasional. Beberapa sanksi yang sangat mungkin dijatuhkan oleh FIFA adalah Pembekuan Federasi sepakbola Indonesia (PSSI), Indonesia tidak bisa mengikuti kompetisi dibawah naungan FIFA hingga Indonesia kemungkinan dilarang menjadi tuan rumah cabang olahraga yang bernaung dibawah FIFA dalam periode waktu tertentu.

Sanksi tersebut efeknya sangat buruk dari semua bidang baik dalam sudut pandang olahraga, ekonomi dan persepsi dunia internasional kepada Indonesia. Bila PSSI sampai dibekukan oleh FIFA, maka Indonesia tidak memiliki wadah yang sah dalam dunia persepakbolaan untuk menyelenggarakan turnamen apapun.

Meski liga domestik tetap berjalan, tetapi liga tersebut tidak akan diakui oleh FIFA dan peserta liga tidak akan berhak untuk berkompetisi di Liga Champions Asia dan kompetisi internasional lainnya. Pemain-pemain negara asing akan enggan untuk bertanding ke Indonesia karena aturan-aturan persepakbolaan dan hak-haknya sebagai pemain sepakbola tidak dicover oleh FIFA.

Bila Indonesia dilarang mengikuti kompetisi dibawah naungan FIFA, maka apa yang telah dikembangkan oleh Indonesia selama ini (Pembinaan Usia Dini, Blue Print sepakbola Indonesia dan target masa depan sepakbola) menjadi sia-sia. Para generasi penerus sepakbola Indonesia tidak memiliki harapan dan masa depan lagi, termasuk juga pemain senior tidak akan bisa membawa garuda terbang tinggi lagi. Padahal, impian tertinggi pesepakbola adalah mengenakan jersey tim nasional negaranya sendiri.

Kemungkinan sanksi lainnya, Indonesia akan dilarang sebagai tuan rumah atas kompetisi yang bernaung dibawah FIFA ini akan melahirkan efek domino. Larangan ini akan melahirkan krisis kepercayaan diri dari dunia internasional kepada Indonesia karena FIFA akan memberi warning kepada semua negara tentang Indonesia. Dampaknya luar biasa, mustahil Indonesia bisa terpilih sebagai tuan rumah Olimpiade seperti apa yang sudah diimpikan oleh Presiden Jokowi dan rakyat Indonesia kebanyakan, padahal kita dianggap sukses menyelenggarakan Asian Games 2018.

Bayang-bayang Krisis Ekonomi

Dilarang jadi tuan rumah event internasional dan krisis kepercayaan dunia internasional mengakibatkan efek domino bagi Indonesia terutama soal ekonomi dan pariwisata. Apalagi Indonesia sedang gencar-gencarnya menarik investor luar negeri agar mau berinvestasi ke Indonesia untuk membangun berbagai industri infrastruktur didalam negeri demi mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dan mengurangi ketertinggalan dari negara lain.

Demonstrasi besar-besaran tahun 1965 akibat krisis ekonomi. Sumber: Kompas.com
Demonstrasi besar-besaran tahun 1965 akibat krisis ekonomi. Sumber: Kompas.com

Bagi negara maju, masalah trust issue selalu menjadi indikator utama dalam menentukan sebuah keputusan untuk menjalin hubungan kerjasama ekonomi dengan negara lain. Faktor trust Issue juga menjadi pertimbangan utama para wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke Indonesia. Pengalaman kita membuktikan, berbagai teror bom dan aksi terorisme di Indonesia berpengaruh negative secara signifikan terhadap tingkap kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia.

Diskriminasi terhadap timnas Israel dan dugaan masalah keamanan yang menjadi alasan Gubernur Bali menolak Timnas Israel sedikit banyak berpengaruh bagi dunia internasional memandang Indonesia.

Sejarah membuktikan bahwa dunia pernah mengucilkan Indonesia saat Soekarno menolak Israel dan Taiwan pada 1962 dari event Asian Games. Perhelatan Asian Games pun berlangsung tanpa kehadiran Israel dan Taiwan. Dunia memandang Indonesia telah mencampuradukkan politik dengan olahraga dan menganggap ini adalah preseden buruk bagi dunia olahraga.

Tahun 1963, IOC melarang Indonesia tampil di ajang Olimpiade. Terbukti, tahun 1964 Indonesia dilarang tampil di OIimpiade Tokyo. Meski Soekarno sempat membuat Games of The New Emerging Force ( Ganefo) sebagai tandingan Olimpiade, tetapi tidak eksis hingga sekarang karena didasari oleh dendam politik, bukan kerena semangat fair play olahraga.

Setelah penyelenggaraan Asian Games 1962 tanpa kehadiran Israel dan Taiwan, Indonesia dilanda hyperinflasi hingga 600% sehingga mengakibatkan krisis ekonomi yang luar biasa. Mata uang Rupiah bahkan di redenominasi dari Rp 1.000 jadi Rp 1. Sejak isu penolakan Israel dan Taiwan berkembang sejak 1961, barang-barang ekspor mengalami penurunan harga, khususnya karet dan tambang. Padahal, saat itu karet dan tambang adalah pemasukan terbesar Indonesia dibidang ekspor. Krisis 1962-1965 menjadi salah satu krisis ekonomi terparah sepanjang sejarah Indonesia hingga saat ini.

Tahun 2023 diprediksi akan menjadi tahun yang sulit bagi ekonomi dunia sebagaimana prediksi pengamat dan ekonom, dunia akan mengalami resesi yang sangat berdampak bagi semua negara. Sebagai contoh, 3 Bank raksasa di Amerika telah collaps seperti Silicon Valley Bank, Silvergate Bank dan Signature Bank semuanya bangkrut karena gagal mendapatkan suntikan modal dan penarikan besar-besaran dari nasabah dan investor. Meski World Bank menetapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan menyentuh level 4,9%, tetapi fluktuasi global sangat susah untuk diprediksi. Kemungkinan terburuk akan selalu ada apalagi dipengaruhi oleh trust issue, hal yang berpengaruh besar terhadap psikologi pasar.

Proses politik sangat berpengaruh terhadap perkembangan sebuah negara. Kehidupan antara negara saling memiliki ketergantugan dengan negara lain terutama kehidupan negara berkembang terhadap negara-negara maju. Beruntung, Presiden Jokowi dalam statementnya menyuarakan jika urusan politik harus dibedakan dengan urusan sepakbola sesaat sebelum FIFA mengeluarkan pengumuman Pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20.

Sedikit banyak statemen Presiden Jokowi tidak seperti Bung Karno yang tidak kenal padam dendam dan amarahnya selalu membara terhadap Israel dan negara-negara Barat, walau pada saat itu kita tidak murni ada di poros tengah karena cenderung lebih dekat kepada negara Komunis seperti Cina dan Uni Soviet. Presiden Jokowi sedikit banyak sukses memadamkan amarah-amarah negara-negara barat dengan pernyataannya yang objektif, juga tidak memantik emosi dan amarah politisi didalam negeri.

Meski demikian, pandangan dunia terhadap Indonesia tetap akan berubah "lebih negatif" meski sanksi yang diberikan oleh FIFA kecil. Maka kita mesti bersiap menghadapi segala bentuk kemungkinan agar kejadian Pasca 1962 tidak terulang kembali. Krisis kepercayaan boleh terjadi, jangan sampai terjadi krisis ekonomi. Semoga jadi pelajaran bagi kita kedepannya, jadilah tuan rumah yang baik. Bila tidak siap jadi tuan rumah, maka jangan mencoba mempermainkan dunia. Tegakkan Kepala, mari Introspeksi. Sepakbola Indonesia pasti bisa pulih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun