Kudengar ada tujuh puluh ribu tapi bukan sebuah kepastian. Tersebar di dataran, di langit dan menyelinap di antara manusia. Menengok dan memerhatikan, yang kudengar lagi tujuh puluh kali dalam sehari. Mencatat dan melaporkan. Lalu ada segolongan penjemput saat nafas di ujung tenggorokan. Tidur, tidurlah, bisik mereka. Tidak selalu mengepakkan sayap kadang berjas dan menatap diam. Menatapku dalam keramaian yang menggema sunyi. Apakah benar kamu malaikat? (Ardneh Yzuaf -- Puisi Malaikat).
Suara keras dari dua benda yang bertumbukkan terdengar memekak telinga. Semua orang yang sedang bersiap melakukan aktifitas paginya terkejut. Mereka berlarian mendatangi asal suara tersebut. Apa yang dilihat mereka sesampainya di sana sungguh mengejutkan. Dua buah motor dan tiga orang penumpangnya bergeletakkan di tengah jalan yang masih sepi.
"Dua orang masih hidup! Cepat telpon ambulan!" teriak seorang pria. Seseorang dengan sigap menelepon rumah sakit terdekat. "Anak ini masih hidup tapi tampak lemas sekali!" seru seorang pria lain yang memeriksa satu dari tiga penumpang motor yang ternyata masih anak-anak. "Itu anak saya!" lirih seorang pria salah satu korban yang masih hidup. Pria itu memeluk putrinya yang tersenggal-senggal.
"Mana ambulan?!" teriaknya dengan wajah penuh luka. "Maafkan Bapak, maafkan Bapak Nak," lirihnya dengan linangan air mata. Putrinya hanya diam lalu menatap pada kerumunan orang-orang. Di antara kerumunan itu tampak seorang pria berwajah bersih dan berpakaian rapi berwarna hitam tengah menatapnya. Tatapannya teduh.
"Tidur, tidurlah," ucap pria itu perlahan.
Anak kecil itu menjulurkan tangannya, pria berpakaian itu pun meraihnya.
Suara sirine dari mobil ambulan terdengar. Beberapa petugas medis melompat turun dari mobil dan bekerja cepat untuk memeriksa korban kecelakaan. Mereka menggeleng saat memeriksa kondisi anak kecil itu. Sang bapak pun meraung sedih seraya memeluk putri kecilnya yang telah tiada.
Kini di sebelah pria berpakaian hitam itu telah berdiri sang anak. Mereka berdua menatap semua itu dan tak seorang pun melihat keberadaan mereka. "Semoga Bapak kuat," kata anak kecil itu. Pria berpakaian hitam mengangguk. "Apakah sekarang saatnya aku harus pergi?" tanyanya. Pria berpakaian hitam itu mengangguk lagi. Ia menggandeng jemari sang anak. Mereka berdua lalu pergi meninggalkan tempat kejadian dan berjalan di jalanan panjang yang sepi.
"Apakah kamu Tuhan?" tanya anak itu. Pria berpakaian hitam itu menggeleng. "Kalau gitu, kamu pasti malaikat," terkanya. Pria berpakaian hitam itu tersenyum. "Siapa namamu?" tanyanya lagi. Pria berpakaian hitam itu menatap anak kecil tersebut. "Aku belum memikirkan apa namaku," jawabnya. "Aku panggil Idris ya? Sama seperti nama bapak," kata anak itu. Pria berpakaian hitam itu mengangguk. Mereka lalu terus berjalan menuju cahaya terang di ujung jalan."Namaku sekarang Idris." Kata pria berpakaian hitam yang tengah berbincang dengan seorang pria bermata sipit yang juga memakai pakaian serba hitam. Pria bermata sipit itu tertawa. "Akhirnya kau punya nama," ucapnya, "sebuah nama yang bagus, dibanding namaku, 'Raju', karena seorang ibu yang aku jemput menyukai film India dan memberiku nama tersebut. Padahal wajahku ga ada india-indianya." Idris tersenyum. "Seorang anak memberiku nama bapaknya, sebuah kehormatan memakai nama itu."
"Sebuah hal yang lucu saat mereka memberi kita nama, bukan begitu Dris?" ucap Raju. Idris mengangguk. Di sekitar mereka berdatangan lagi orang-orang berpakaian hitam dengan wajah-wajah bersih. Mereka semua berdiri di atas awan-awan yang berarak. Jumlahnya ribuan. Mereka semua diam saat di batas antara langit dan bumi, cahaya matahari pertama muncul. Mata mereka terpejam. Cahaya matahari menyinari mereka semua dibalut dalam sonata hening yang mengalun.
Untuk beberapa saat terpejam dalam keheningan lalu mereka membuka mata mereka. Raju menatap Idris mengucapkan, "Selamat bertugas." Idris mengangguk. Matahari pun terus muncul menyinari bumi.
"Tuhan yang Maha Tinggi telah menciptakan malaikat dan memberinya akal. Dia menciptakan binatang buas dan memberinya nafsu. Dia menciptakan anak Adam dan memberinya akal dan nafsu," ucap seorang perempuan muda yang tengah membacakan sebuah buku pada seorang wanita lanjut usia yang berbaring di ranjang rumah lansia.
"Menarik sekali buku tentang malaikat ini," ucap wanita lanjut usia, "apakah kamu percaya adanya malaikat Mi?" Perempuan muda bernama Namira yang ditanya itu mengangguk. "Tentu saja Bu, bukankah itu bagian dari keimanan kita?" Wanita lanjut usia itu tertawa. "Syukurlah, saya hanya khawatir, generasi sekarang lupa dengan apa yang harus dipercaya."
Namira menutup bukunya lalu merapikan selimut wanita lanjut usia itu. "Gimana kondisi Ibu sekarang?" tanyanya. "Masih terasa sakit di sini," tunjuk wanita lanjut usia itu di dada kirinya. "Tapi kemarin setelah kontrol di rumah sakit, dokter bilang tidak ada yang harus dikhawatirkan bukan?" senyum Namira. Wanita lanjut usia itu mengangguk.
"Baiklah Bu Sis, sekarang saya harus tinggal Ibu untuk istirahat, saya mau menjenguk yang lain," ucap Namira. Bu Sis, wanita lanjut usia itu menggenggam jemari Namira sebelum pergi. "Mi, terima kasih ya, kamu selalu menyempatkan diri kesini di sela kesibukanmu untuk menemani saya, bahkan di saat anak-anak saya tak datang kesini. Apa yang kamu lakukan kepada kami sangat berarti, hatimu baik sekali Mi."
Namira mengusap lembut jemari Bu Sis. "Tidak masalah Bu, saya senang berada di sini." Namira kemudian mencium tangan wanita lanjut usia itu dan meninggalkannya dalam senyuman. Di balik pintu setelah Namira menutupnya, Idris tampak berdiri di situ. Wanita lanjut usia itu tertegun menatap Idris. Idris menatapnya teduh. "Apakah ini saatnya?" tanya Bu Sis. Idris mengangguk. Namira yang masih berada di depan pintu terkejut mendengar suara Bu Sis itu. Ia mengerutkan keningnya.
Bu Sis ngomong sama siapa? Tanya Namira dalam hati.
Idris mendekat, menatap wajah ibu tua itu dari dekat hingga berjarak beberapa senti saja. "Tapi aku masih ingin bertemu dengan anak-anakku," ucap Bus Sis. Tatapan Idris semakin meneduhkan hati wanita tersebut. Namira membuka perlahan pintu kamar, ia ingin tahu dengan siapa Bu Sis bicara. Tapi di dalam kamar, ia hanya melihat wanita lanjut usia itu berbaring sendiri sambil memegangi dada kirinya.
"Bu Sis, apakah Ibu baik-baik saja?" tanya Namira. Idris menoleh pada Namira yang melangkah masuk ke dalam kamar. Ia memerhatikan perempuan itu. "Dadaku sakit Mi," jawab wanita itu dengan wajah pucat. Namira dengan cepat berteriak meminta bantuan perawat di rumah lansia itu tetapi belum ada yang datang.
Bu Sis semakin tampak kesakitan dan mulai kehilangan kesadaran. Tanpa menunggu lagi Namira memutuskan untuk menolongnya dengan apa yang diketahuinya mengenai pertolongan pertama pada orang yang terkena serangan jantung. Idris semakin memerhatikan perempuan itu dengan seksama. Namira menarik bantal untuk membuat Bu Sis terbaring di ranjang yang datar. Ia lalu melakukan kompresi di dadanya.
"Ayo Bu Sis, bertahan Bu," ucap Namira seraya melakukan tindak kompresi di dada wanita lanjut usia itu dengan cepat. Bu Sis tak merespon, wajahnya semakin memutih. "Tidak Bu, jangan menyerah, ayo Bu, bangun!" teriak Namira bergetar. Idris menatap wajah Namira dari dekat. Namira tampak cemas dan tegang. "Tolong! Bu Sis serangan jantung!" teriaknya tanpa melepas kompresi dengan kedua tangannya itu, ia terus berusaha sekuat tenaga.
Bu Sis menjulurkan tangannya pada Idris, Idris pun meraihnya.
Perawat rumah lansia akhirnya berdatangan membantu. Namira mundur ke pojok kamar dengan tubuh gemetar setelah tugasnya diambil alih. Idris berdiri menatap Namira dengan Bu Sis di sampingnya. "Anak itu akan lebih bersedih dibanding anak-anakku," ucap Bu Sis. Namira bersimpuh di lantai kamar dengan linangan air mata. Idris terpaku melihatnya.
"Apakah kita mau di sini terus melihat dia menangis atau kamu mau mengantar saya ke suatu tempat?" celetuk Bu Sis pada Idris. Idris menoleh pada Bu Sis lalu mengangguk. Mereka berdua pun berjalan di jalanan panjang yang sepi. "Saya tahu kamu malaikat, apakah kamu malaikat yang mencabut nyawa saya?" tanya Bu Sis yang berjalan di samping Idris.
"Saya hanya menjemput," jawab Idris. "Apakah kamu sudah punya nama?" tanya Bu Sis lagi. "Idris,' jawabnya. Bu Sis tersenyum. "Nama yang bagus, saya nyaris mau memberimu nama suami saya tadi, Sunyoto." Idris menggeleng. "Apakah di sana saya bisa bertemu suami saya? Dia sudah meninggal beberapa tahun lalu," tanya Bu Sis bersemangat. "Saya hanya menjemput," jelas Idris. Bu Sis manggut-manggut tak bertanya lagi. Mereka pun terus berjalan menuju ujung jalan yang terang.
 Namira duduk termenung memandangi kamar Bu Sis yang telah kosong. Ia merapikan barang-barang milik Bu Sis dan menyimpannya dalam sebuah tas untuk diserahkan pada anak-anaknya. Buku tentang malaikat yang sering dibacakannya untuk Bu Sis ditatapnya untuk beberapa saat. Ia yakin Bu Sis pergi ke tempat yang indah karena Bu Sis adalah orang baik yang taat beribadah.
Idris muncul di samping Namira yang tengah menatap buku itu. Ia mendengarkan apa yang ada dalam pikiran Namira. Seharusnya aku bisa menyelamatkan Bu Sis! Dia bilang dada kirinya sakit, tapi aku tidak peka! Namira berdecak sesal. Kalau saja aku membawanya ke rumah sakit saat itu, Bu Sis pasti masih hidup. Idris menatap wajah Namira. Wajah perempuan muda itu terlihat sedih dan penuh penyesalan.
Pintu kamar diketuk dan seorang perawat masuk. Namira menyerahkan tas milik Bu Sis juga buku itu. "Sus, titip pesan sama anak-anaknya Bu Sis kalau mereka kesini mengambil barang-barang ibunya, buku ini kesukaannya Bu Sis hampir tiap hari beliau minta dibacakan, jadi suruh mereka jaga baik-baik," kata Namira. Perawat itu mengangguk. Namira kemudian keluar kamar berjalan di sepanjang lorong rumah lansia dengan Idris di sampingnya. Kenapa Bu Sis mati di tanganku? Idris masih mendengarkan apa yang ada di pikiran Namira. Apakah aku kurang melakukan kompresi di dadanya? Ya Tuhan, sepertinya ini salahku! Idris menggeleng.
Namira mengusap-ngusap wajahnya kesal. Ia pun sampai di ruang penerimaan tamu rumah lansia di mana seorang pria tengah menunggunya. "Mi," panggil pria itu. Idris menoleh, melihat pria tersebut. "Ferdi," ucap Namira. "Aku tadi ke kantormu, tapi kata rekan kerjamu kamu sudah pulang duluan dan kesini," kata Ferdi. "Iya, aku membereskan barang-barang milik mendiang Bu Sis untuk dibawa pihak keluarganya Fer," terang Namira.
 Ferdi menarik lengan Namira ke sudut ruangan yang lebih sepi. Idris mengikutinya. "Mi, kenapa kamu yang repot sih?" tanya Ferdi pelan, "di sini sudah ada perawatnya, biar mereka yang bekerja, kamu itu hanya penjenguk, kamu ga punya kewajiban melakukan itu semua."
"Aku tahu Fer, tapi aku ingin membantu, aku merasa ada ikatan batin dengan mendiang," jelas Namira. "Kamu selalu begitu, dulu kamu pun mengatakan hal yang sama ketika Bu Tutik dan Pak Dirman meninggal ... Mi, ini rumah lansia, panti jompo, sudah hal yang biasa itu terjadi, lagi pula kamu bukan anak mereka," tukas Ferdi.
Idris menatap dekat wajah Ferdi lalu geleng-geleng. Seakan mengatakan lekaki ini keterlaluan. "Tapi kenapa mereka semua meninggal setelah aku dekat dengan mereka Fer?" tanya Namira. Ferdi mengangkat kedua bahunya. "Aku ga tahu itu, mungkin itu hanya kebetulan saja." Namira menghela nafas. "Aku tahu sejak ibumu meninggal kamu berusaha mengobati lukamu dengan mengabdikan dirimu di sini tapi--" Ferdi tak melanjutkan kalimatnya karena Namira telah menatapnya tajam.
"Maafkan aku Mi, aku tidak bermaksud ikut campur soal itu itu tapi maksudku sebenarnya adalah, kamu punya kehidupan di luar rumah lansia ini ... kamu harus fokus bekerja, mengejar karirmu dan kalau kamu sibuk di sini, bagaimana dengan hubungan kita?" Ferdi mengalihkan topik pembicaraannya. Idris menatap Namira menunggu apa yang akan dikatakan perempuan itu.
"Fer, apa yang aku lakukan itu urusanku dan tidak akan merubah hubungan kita juga ... hubungan persahabatan kita akan baik-baik saja," tegas Namira. Ferdi menghela nafas. Setelah sekian lama, masih saja aku hanya dianggap sahabatnya. Idris mendengar pikiran Ferdi. "Baiklah kalau begitu, aku antar kamu pulang." Mereka berdua berjalan bersama keluar dari rumah lansia meninggalkan Idris yang menatap mereka dari belakang.
 "Apakah kau pernah lihat yang seperti itu?" tanya Idris pada Raju saat mereka tengah berjalan di antara manusia yang berlalu lalang di taman kota. Tidak hanya Idris dan Raju tetapi mereka yang berpakaian hitam pun menyebar di taman itu. Memerhatikan manusia dan mencatat apa yang sedang dilakukannya, mendengarkan apa yang ada dalam pikiran manusia atau mengusap bahu manusia yang tengah duduk sendiri di dalam taman untuk tak merasa sepi.
"Melihat apa? Melihat manusia dengan kemauan berjuang keras untuk menyelamatkan hidup manusia lainnya seperti Namira yang kau ceritakan tadi itu?" tanya balik Raju. Idris mengangguk. "Pernah, di rumah sakit, hampir semua dokter dan perawat seperti itu," jawab Raju. "Tapi dia begitu terpukul padahal yang aku jemput itu bukan ibunya, dia tidak ada hubungan apa-apa dengan manusia-manusia lanjut usia itu," kata Idris.
"Kalau begitu dia memiliki hati yang baik."
"Aku melihat wajahnya dari dekat saat dia menolong wanita itu, aku belum pernah melihat kesungguhan hati seperti itu."Â Â
Raju menatap Idris. "Sepertinya kau terpukau Dris." Idris menggeleng, "Aku tidak tahu, apa terpukau itu?" Raju tersenyum. "Aku dijelaskan oleh manusia yang aku jemput, kata dia terpukau itu kalau kita menatap seseorang tanpa bisa berkata-kata." Idris tersenyum. "Terpukau," ulangnya pelan. "Bukan tugas kita untuk memerhatikan orang yang bukan kita jemput sedekat itu Dris," kata Raju mengingatkan.
 "Setiap hari, kalau kita ingin, kita bisa mendengarkan apa yang ada dalam pikiran manusia, dan yang kita dengarkan terlalu banyak keluhan, keburukan orang lain, kedengkian dan sumpah serapah tapi dia berbeda, pikirannya tentang menolong orang lain," terang Idris.
"Ya, manusia-manusia ini tidak sadar kalau ribuan dari kita ada di antara mereka Dris. Memerhatikan mereka, mencatat apa yang mereka lakukan. Mendengarkan pikiran mereka. Mereka sebetulnya sudah tahu itu dari buku dan kitab yang diajarkan pada mereka tapi mereka abai dan tetap melakukan keburukan."
Kenapa dia yang naik pangkat? Seharusnya saya! Dia pasti pake pelet untuk membuat si bos jadi tunduk! Raju dan Idris menoleh pada seorang pria kantoran yang tengah duduk di taman. Pikirannya terdengar lantang dan marah. Raju menghampiri pria itu lalu menyentuh bahunya. Sentuhan itu membuat sang pria menarik dan menghela nafasnya. Ya Tuhan aku sudah berburuk sangka, maafkan aku Ya Tuhan. Pria itu terlihat lebih tenang sekarang.
"Apakah kau pernah menampakkan diri di depan manusia?" tanya Idris.
"Untuk apa?"
"Aku tidak tahu, hanya untuk bisa merasakan mungkin?"
"Kalau kau ingin kau bisa menampakkan diri Dris, tapi apa yang aku rasakan sekarang sudah cukup. Kau terlau banyak ingin tahu, itu bukan tugas kita," terang Raju. Idris hanya diam menatap langit.
Namira merapikan pekerjaan kantornya lalu mematikan komputernya. Ia mendapat kabar dari rumah lansia ada seorang pria lanjut usia yang baru masuk dan menanyakan dirinya. Namira selalu bersemangat bila mendapatkan teman baru. Ia pun bergegas keluar dari kantor berjalan menuju lift. Di depan lift Namira melihat seorang pria berpakaian hitam dengan tubuh yang tinggi tengah membelakanginya. Ia melihat pria itu tidak menekan tombol naik atau turun.
"Maaf, Anda mau naik atau turun?" tanya Namira pada pria itu setelah berada di sampingnya. Pria itu menoleh dan tersenyum pada Namira.
Â
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H