Kemarin sore saya mendapat telepon dari keluarga saya yang bekerja di Buru Selatan. Mereka menanyakan bagaimana kabar saya dan meminta saran dari saya agar supaya nantinya mereka tidak terperangkap dalam pilihan-pilihan politik semu; pilihan yang imbas kebaikan dan kesenangannya hanya sekejap mata alias sesaat saja, dan agar supaya mereka mampu membedakan mana janji pemimpin dan mana impian pemimpin.
Membedakan mana janji, mana impian, dalam politik sangatlah penting. Karena janji itu, menurut saya, bisa dinegosiasikan. Tetapi impian seseorang tidak bisa dinegosiasikan atau ditukar dengan barang apa pun. Impian bisa dijanjikan, tetapi janji tidak bisa dibuat menjadi impian. Yang nekat melakukannya akan menjadi budak sebuah janji, juga bisa tertipu janji.
Barangkali keluarga saya sadar bahwa salah memilih dalam politik, semisal di pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Buru Selatan pada tahun 2020 mendatang, bisa menimbulkan konsekuensi yang tidaklah mudah untuk dipikul. Maka dalam politik diperlukan kelapangan jiwa, juga pikiran.
Keadaan mereka mengingatkan saya pada Bertolt Brecht, penyair asal Jerman. Bertolt pernah bilang bahwa buta terburuk adalah buta politik. Orang yang paling rugi di dunia ini adalah orang yang tidak melibatkan diri dalam urusan politik. Bertolt juga bilang orang yang tidak berjuang, hatinya tidak akan tenteram menjalani hidup. Tanpa perjuangan, akan selalu ada perbudakan diri yang dilakukan pada dirinya sendiri secara diam-diam.
Saya menduga, sepertinya mereka membaca tulisan saya yang berjudul Menolak Jadi Bupati Buru Selatan, hingga mereka menelepon saya secara tiba-tiba, tanpa terlebih dahulu mengirimkan pesan kepada saya, misalnya mengirim sms bertulis "Jho, apa kabar?" baru kemudian menelepon.
Barangkali juga akibat jantung mereka sedang berdebar kencang karena tidak lama lagi mereka akan memutuskan apa pilihan mereka di arena terpenting dalam demokrasi, yaitu memilih pemimpin daerah untuk lima tahun ke depan.
Tidak mengherankan. Suasana pergantian kepemimpinan memang selalu mendebarkan hati semua orang, terutama para pekerja honorer. Jadi wajar saja mereka meminta banyak saran agar supaya mereka tidak jatuh terpuruk oleh pilihan-pilihan yang dibuat sendiri yang belum tentu benar dan baik untuk masa depan.
Mereka tahu pilihan yang baik selalu membutuhkan saran yang baik pula. Karena dalam politik, jebakan-jebakan setan ada di mana-mana. Salah setitik saja, bisa membinasakan masa depan ribuan kehidupan umat manusia.
Pada tulisan yang berjudul Menolak Jadi Bupati Buru Selatan, saya katakan bahwa Kabupaten Buru Selatan itu kaya dan tidak kekurangan apa pun, kecuali: Pemimpin yang bersih, rendah hati, dan memiliki pikiran yang melambung tinggi ke angkasa; pemimpin yang bebas dari niat busuk, kesombongan, kebaikan yang pamrih, dan sekedar mementingkan tempat makanan keluarganya sendiri.
Di tulisan itu juga saya ceritakan ada seorang laki-laki yang menolak jabatan Bupati. Namanya Said. Entah siapa dia itu. Nama lengkapnya saya belum tahu. Padahal di sisi lain semua orang menginginkan jabatan itu. Jadi saya kaget, ternyata ada orang seperti itu: Orang yang lebih memilih memantaskan diri, dan mendahulukan orang lain (Barangkali orang itu tidak terbiasa bermain dengan janji-janji palsu).
Tapi dalam tulisan itu saya juga bilang, tindakan mendahulukan orang lain tak selamanya benar: Rendah hati boleh, rendah diri jangan.
Seorang petarung sejati tahu kapan harus mengalah dan kapan harus mengencangkan ikat pinggangnya untuk bertarung melawan kebatilan.
"Di sini, orang-orang yang berencana maju di pemilihan bupati tahun depan, banyak yang sudah mendaftarkan diri ke beberapa partai politik supaya diusung oleh partai politik tersebut. Banyak di antara orang-orang itu punya posisi penting di pemerintahan. Katong yang cuma pekerja honor jadi bingung nanti mau pilih yang mana. Menurut Ose katong musti bagaimana?", begitulah keluarga saya di Buru Selatan bertanya yang, saya kira, bercampur dengan nada sedikit cemas.
Saya belum punya banyak bahan yang bisa saya olah untuk menghasilkan saran-saran yang pas menyentuh sasaran, sesuai dengan apa yang saudara-saudara saya butuhkan untuk mempermudah mereka melihat kesulitan dan kecemasan yang mungkin saja bisa terjadi di kemudian hari. Saya memberikan saran-saran normatif saja dulu. Kalau sudah ada banyak data, barulah saya berikan jawaban terbaik.
Buru Selatan cukup kompleks dan agak tidak mudah untuk dianalisis apa-apa saja yang menjadi akar, penyebab awal, munculnya masalah-masalah penghambat lajunya pembangunan di sana. Entah itu pembangunan di darat, maupun pembangunan di laut. Di sana, masyarakat dan Infrastruktur langit juga belum signifikan dibangun dan diberdayakan.
Meski begitu, dari nada keluarga saya bicara dalam telepon, saya seperti sudah menangkap bayang-bayang minimnya lapangan kerja di Buru Selatan. Apalagi yang dikhawatirkan setiap Pegawai Negeri Sipil (PNS), terutama oleh pegawai honorer, kalau bukan dipulangkan ke rumah (diistirahat sampai dipanggil kembali) dan mungkin saja dipecat oleh atasan mereka, selain dari gaji yang tak lancar?
Keluarga saya seperti takut kehilangan pekerjaan. Air mata saya tiba-tiba jatuh menetes memikirkan nasib keluarga saya yang terombang-ambing, di lempar ke sana, lempar ke sini, hanya karena pilihan politik.
Mungkin bagi sebagian orang, Buru Selatan adalah rumah, tempat raga dilahirkan, dibesarkan, dan tinggal bersama keluarga. Tapi bagi honorer, orang-orang yang belum mendapat pekerjaan, terutama rakyat kecil, Buru Selatan bukan sekedar rumah yang memberikan kehangatan tubuh di saat alam mendingin, dan mendinginkan tubuh di saat alam kepanasan oleh terik matahari.
Bagi mereka yang nasibnya terombang-ambing dalam ketidakpastian politik, Buru Selatan lebih dari itu: Buru Selatan itu ibarat otak kecil di dalam tubuh manusia; darinya kehidupan bermula dan segala gerak dimulai. Sedikit saja otak itu tak bergerak, kehidupan pun seketika berakhir selamanya.
"Seng usah cemas. Untuk menjadi seorang pemimpin, orang tersebut harus selesai bertarung dengan dirinya sendiri. Percayalah: Pemimpin yang baik selalu lahir tepat di saat semua rakyat merasa diri mereka lemah, merasa batin mereka tersiksa, dan merasa tak punya apa-apa di dalam hidup yang bisa dipertaruhkan untuk bisa makan, selain nyawa. Pada saat itu pemimpin yang berasal dari nurani akan lahir.", bilang saya kepada mereka.
Sayangnya mereka masih tetap merasa was-was, belum tenang. Mungkin karena mereka merasa termasuk dalam daftar yang terombang-ambing akibat ketidakpastian alur politik.
"Ose pung bicara su macam tokoh agama saja ee.", jawab mereka yang seperti masih bingung nantinya harus berbuat apa saat hari pemilihan tiba. "Ya ampun Beta mesti bilang apa lai ini?", gumam saya di dalam hati.
Tiba-tiba rasa sesal muncul dalam diri saya. Saya menyayangkan sikap partai politik, khususnya di Buru Selatan, yang hanya bisa membuka tangan, tidak mengulurkan tangan untuk menabur pupuk berkualitas demi menumbuhkan bibit-bobot sumber daya manusia Buru Selatan yang unggul dan siap menyambut dunia baru yang serba digitalisasi ini.
Partai politik, apa pun namanya partai itu, khususnya di Buru Selatan, harus menjadi laboratorium ide-ide besar tentang kemajuan masyarakat. Maksudnya, partai politik jangan cuma menunggu dengan membuka pendaftaran calon kandidat. Petugas partai politik harus mencari, bila perlu menggali sedalam-dalamnya untuk menemukan manusia terbaik dari dalam bumi Buru Selatan.
Pengurus partai politik harus berani meninggalkan tradisi tukar-tambah yang sudah menjadi kebiasaan buruk dalam politik Indonesia pada umumnya. Kondisi Buru Selatan, diam-diam menyakiti batin, itu harus diperbaiki.
Saya yakin betul bukan cuma keluarga saya  saja yang cemas memikirkan bagaimana masa depan pekerjaan mereka. Ada banyak orang di luar sana yang juga was-was setelah pemilihan usai bingung akan makan apa. Adakah pekerjaan yang tersedia untuk mereka? Pertanyaannya bukan cuma itu.
Pertanyaan terbesar yang ada di kepala setiap orang adalah apakah memilih berdasarkan tuntutan nurani tidak akan disingkirkan seandainya kandidat yang dipilih kalah dalam Pilkada? Hanya waktu dan kebaikan hati si pemenang lah yang bisa menjawab pertanyaan ini.
Saya semakin mencemaskan masa depan keluarga saya di Buru Selatan. Sebab, tak ada satu pun orang, terutama bakal calon Bupati dan Wakil Bupati, yang menjaminkan dirinya akan memberikan keadilan seadil adilnya bagi setiap orang. Sayangnya, tidak bisa dinafikan, semua orang yang maju di Pilkada menginginkan kemenangan. Tak ada satu orang pun yang berniat maju supaya kalah. Artinya, ancaman dan tipuan, terutama kekecewaan, mungkin saja akan selalu diadakan dalam Pilkada.
"Astaga, saking asyiknya bercerita, saya hampir lupa memberikan solusi/saran kepada keluarga saya agar tak salah memilih.", bicara saya dalam hati. Halo, halo, halo kakak...
Daripada menimbang panjang-lebar, mengingat belum ada data yang mumpuni, saya bilang saja dulu ke mereka bahwa pertama-tama yang harus diperhatikan dan dijadikan pertimbangan adalah: "Pemimpin yang tidak menimbulkan kecemasan dalam diri rakyatnya memikirkan besok mau kerja apa supaya bisa makan. Carilah pemimpin yang Ikhlas maju mencalonkan diri. Bukan cuma ikhlas, ia juga harus mampu lahir batin".
Syukurlah, mendengar saya bilang begitu kecemasan keluarga saya sedikit berkurang. Meski saya sadar jawaban itu tidak memberikan jawaban apa pun, kecuali omong kosong belaka.
Di ujung pembicaraan lewat telepon, mereka tiba-tiba kembali bertanya; "Menurut Ose para calon itu harus bagaimana supaya menang?". Waduh, pertanyaan ini kok mirip pertanyaan team sukses ya? Saya jadi bertanya-tanya dalam hati apakah keluarga saya sedang bekerja untuk seorang bakal calon? Haruskah pertanyaan itu saya jawab? Ah, jawab saja lah. Toh untuk keluarga sendiri.
Saya bilang: "Untuk menang, pertama-tama, si calon harus tahu kelemahannya sendiri. Kedua, harus tahu kelemahan lawannya. Tapi sebelum itu, si calon harus menentukan dan memutuskan siapa yang akan menjadi lawan politik-nya dalam pemilihan kepala daerah nanti. Tanpa menentukan lawan politik, saya pastikan, kekuatan yang dihimpun adalah kekuatan yang dihitung secara serampangan, alias hitung galabor".
Mendengar itu keluarga saya pun melepaskan tertawa membahana. Mungkin saja mereka paham apa yang saya maksudkan. Bahwa politik memang tidak bisa dijalani secara serampangan; harus paham arena pertempuran dan disiplin memainkan strategi.
Saya berharap, Pilkada kali ini, berjalan sesuai nurani dan dimenangkan oleh keikhlasan. Karena bagi saya, Buru Selatan adalah hati yang harus dijaga dengan hati-hati, dan perjuangan dengan hati pula.Â
Saya percaya, mereka yang berkampanye dengan hati akan sampai ke hati dan diterima oleh hati pemilih. Yang tidak dengan hati bersiaplah menjadi debu; terhempas dan berlalu. Yang berkampanye dengan lagu, biasanya cuma ingin dikenal, bukan untuk membangun pikiran rakyat menjadi lebih matang menyongsong tantangan di hari esok.
Sekali lagi: Pilkada Buru Selatan yang akan datang harus dimenangkan oleh hati, bukan muslihat seolah-olah berempati pada penderitaan rakyat. Rakyat tak butuh empati, rakyat butuh cinta sepenuh hati. Cinta yang tak mencemaskan, apalagi mendesak untuk dicintai.
"Oiya. Tolong kamong cari tahu nama Said itu siapa, orang mana, yang pernah tolak tawaran jadi Bupati? Kalau sudah, kabari beta.", suruhan saya pada mereka di akhir pembicaraan kami di telepon.
Saya sungguh penasaran dengan sosok di balik nama itu. Said, Said, Said, siapa dia? Hati kecil saya berkata dia bukan orang sembarangan, dirinya memang diam-diam sedang diperhatikan oleh banyak orang dan diperhitungkan. Tapi saya perlu mengenalnya lebih dekat dari urat nadinya. Lebih dekat yang saya maksud adalah dekat secara gagasan dan pendirian.
Akhir kata, pemimpin yang berwatak kerakyatan akan datang menghampiri rakyat dengan gagasan-gagasan kerakyatan, bukan dengan sekedar gaya berpakaian seperti rakyat. Ingat Soekarno, gayanya kebarat-baratan, tetapi pikirannya membumi karena idenya itu ia gali dari dalam tradisi dan hati nurani rakyat.
Pemimpin terbaik, yang perbuatannya hari ini ia persembahkan untuk seribu tahun ke depan, harus diperjuangkan untuk menang meski darah harus bercucuran. Siapa pun dia.
Ingat, "Hidup yang tak diperjuangkan adalah hidup yang tak layak di jalani", kata Sutan Sjahrir. Sekian. Salam perjuangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H