Mohon tunggu...
Jha Anin
Jha Anin Mohon Tunggu... Penulis - ...

Sebaik-baiknya... Sehormat-hormatnya...

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Catatan Pemilih (Episode 1): Prabowo dan Mindset Kotak Hitam

20 Mei 2023   22:04 Diperbarui: 20 Mei 2023   22:16 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Tim Media Prabowo Subianto | Diolah Jha Anin

Sebuah Pengantar

Pemungutan suara Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden 2024 dijadwalkan akan berlangsung pada 14 Februari 2024. Ini berarti, rakyat Indonesia memiliki waktu kurang lebih 9 bulan lagi untuk mulai memikirkan sosok yang layak menjadi tuan rumah Istana Negara berikutnya.

Sejauh ini, jika diamati, terdapat 3 nama teratas yang paling berpotensi yaitu Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan. Ketiga sosok ini memiliki riwayat politik serta karakteristik pendukung yang berbeda.

Sementara itu, hasil dari Survei Kepemimpinan Nasional oleh Litbang Kompas pada Januari 2023 lalu menunjukkan bahwa preferensi pemilih ditentukan oleh dua faktor.

Pertama, daya tarik yang melekat pada sosok calon presiden. Daya tarik ini meliputi aspek emosional, psikologis dan sosiologis.

Kedua, faktor daya dorong dari lingkungan terdekatnya. Mulai dari keluarga, rekan kerja, tokoh agama hingga influencer. Hal ini membuktikan jika tidak semua pilihan politik murni muncul dari pertimbangan pribadi melainkan juga dari faktor eksternal pemilih.

Survei Litbang Kompas selengkanya bisa dibaca di sini: Survei Litbang "Kompas": Daya Tarik dan Daya Dorong Pilihan Capres

CATATAN PEMILIH ini akan bertolak dari pemaparan di atas. Berharap akan menjadi referensi tambahan -- yang tentunya tidak memihak dan berdasar fakta-riset -- bagi para pembaca dalam menentukan suaranya di Pilpres 2024 mendatang.

---

EPISODE 1

Prabowo dan Mindset Kotak Hitam

Saya akan memulai jurnal ini dengan membahas Prabowo Subianto. Kenapa Prabowo? Tentu ada alasannya.

 

Jejak-Jejak Masa Lalu Prabowo Subianto dalam Pilpres

Dari ketiga bakal calon presiden 2024, Prabowo menjadi sosok yang paling berpengalaman. Kalau kata orang-orang "udah lama makan garam".

Sejarah mencatat Prabowo telah tiga kali mengikuti ajang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Satu kali sebagai calon wakil presiden dan dua kali sebagai calon presiden. Ini menjadi bukti seberapa berpengalamannya Prabowo dibandingkan 2 sosok lainnya.

Prabowo pertama kali mengajukan diri untuk maju Pilpres pada 2004 atau 19 tahun yang lalu. Kala itu, Prabowo mengajukan diri melalui Partai Golkar. Namun, Prabowo gagal dan harus mengubur impiannya karena kalah bersaing dengan Wiranto. Elektabilitas dan pengaruh Wiranto saat itu memang lebih unggul jika disandingkan dengan dirinya.

Kemudian, setahun sebelum Pilpres 2009 tepatnya pada 6 Februari 2008, Prabowo bersama rekan-rekannya mendirikan Partai Gerakan Indonesia Raya atau Gerindra. Didirikan Partai Gerindra ini tentunya bertujuan sebagai kendaraan politik Prabowo untuk mengantarnya ke Istana Negara.

Langkah kaki Prabowo di ajang kontestasi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden untuk pertama kalinya dimulai saat itu.

Pilpres 2009

Pada saat itu, Prabowo awalnya berkeinginan maju menjadi calon presiden dari Partai Gerindra. Namun, dinamika politik dan posisi Partai Gerindra yang masih seumur jagung, akhirnya menempatkan dirinya dalam proses tawar menawar yang berujung pada kesediaannya maju sebagai wakil presiden dari Megawati.

Hasilnya, Megawati dan Prabowo hanya berhasil mengumpulkan 32.548.105 suara, kalah telak dengan pasangan SBY-Boediono dengan 73.874562 suara.

Pilpres 2014

Gerindra tumbuh besar dan memiliki banyak simpatisan di setiap provinsi. Daya tarik Prabowo yang tegas menjadi salah satu faktor yang ikut melambungkan namanya.

Prabowo dikenal sebagai sosok yang gagah, tegas, berwibawa dan emosional kala itu. Calon Presiden dengan pengalaman militer yang "bukan kaleng-kaleng".

Berbeda dengan Pilpres 2009, di Pilpres kali ini Prabowo tampil lebih bersemangat. Hal ini karena Prabowo tampil sebagai pemeran utama, bukan pemeran poendukung.

Sebagai mantan Danjen Kopassus, Prabowo selalu tampil gagah dan tegas di setiap kampanyenya.

Prabowo sering mengibaratkan dirinya sebagai seorang Ksatria Perang yang akan mensejahterakan dan memperjuangkan hak-hak rakyatnya.

Yang paling ikonik dari Kampanye Prabowo saat itu adalah ketika kampanye nasional di Stadion Gelora Bung Karno.

Saat itu, Prabowo tampil bak komandan kavaleri berkuda yang gagah. Mengenakan sepatu boot kulit tinggi berwarna cokelat dan selendang di pinggangnya, Prabowo menunggangi Kuda berkeliling meninjau pendukung dan simpatisannya.

Selain tampil gagah, Prabowo juga selalu berorasi dengan tegas dan lantang. Tak jarang dia menggunakan istilah fabel politik seperti; Singa, Macan, dan Kambing dalam orasi kampanyenya.

"Tapi kalau Singa dipimpin kambing, nanti singanya bersuara Kambing," ujar Prabowo

Segudang pengalaman militer yang dimilikinya juga menjadi bagian dari materi orasi kampanye. "Kita saat di militer dipimpin dengan keras, komandan kita cerewetnya tidak main-main. Mereka Singa anak buahnya pun menjadi Singa," cerita Prabowo.

Prabowo yang berpasangan dengan ketua umum PAN Hatta Rajasa mengusung slogan "Indonesia Bangkit". Slogan tersebut secara tidak langsung ikut mendongkrak elektabilitas pasangan ini.

Berdasarkan survei Soegeng Sarjadi School of Government (SSSG), Masyarakat lebih menyukai slogan kampanye yang diusung Prabowo-Hatta ketimbang slogan dari pasangan Jokowi-JK.

Slogan "Indonesia Bangkit" Prabowo-Hatta disukai oleh 56 persen responden, sementara  slogan "Indonesia Hebat" milik Jokowi-JK hanya 44 persen.

Walaupun demikian, nyatanya Prabowo kalah dengan pasangan Jokowi-JK. Hasil rekapitulasi Jokowi-JK unggul di 23 provinsi dan luar negeri dengan total suara sebesar 70.997.851 (53,15 persen). Sementara Prabowo-Hatta hanya menang di 10 provinsi dengan raihan suara sebesar 62.576.444 (46,85 persen).

Awalnya, Prabowo-Hatta menolak hasil rekapitulasi dan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Namun, pada akhirnya Prabowo-Hatta -- menerima kekalahannya -- hadir dalam upacara pelantikan Jokowi-JK di Gedung MPR.

 

Pilpres 2019

Pada Pilpres 2019, Prabowo tampak tampil lebih percaya diri dari Pilpres sebelumnya. Hal ini ditunjukkan dirinya dengan tidak mengikuti rekomendasi Ijtima Ulama.

Prabowo lebih memilih menggandeng mantan Wakil Ketua DPP Gerindra Sandiaga Uno saat itu. Meskipun tak menggandeng ulama, Prabowo masih mendapat dukungan besar dari Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF), Front Pembela Islam (FPI) dan juga PA 212.

Selain itu, kembalinya head-to-head antara Prabowo dan Jokowi juga menimbulkan polarisasi politik yang sebelumnya samar-samar terlihat pada pilpres 2014.

Di tahun 2019, polarisasi politik ini semakin jelas dan mengkhawatirkan kala isu agama ikut dikumandangkan. Kedua pasangan kandidat baik Prabowo-Sandi dan Jokowi-Ma'ruf Amin sama-sama menggunakan isu agama.

Selain itu, di kalangan pendukung, berbagai umpatan dilontarkan. Lahir fenomena cebong dan kampret. Masing-masing pendukung saling menyerang di sosial media. Trending di Twitter, hoaks, ujaran kebencian, dan fitnah tak terelakan.

Awalnya polarisasi muncul di sosmed tetapi berjalannya waktu mulai merembet ke ruang-ruang publik. Polarisasi semakin terlihat jelas dan tak malu-malu lagi seperti sebelumnya.

Sementara itu, gaya kampanye Prabowo tak banyak berubah, masih seperti di Pilpres 2014 lalu. Daya tarik yang ditawarkan Prabowo kepada rakyat pun masih sama; gagah, tegas, berwibawa dan emosional.

Ketika berkampanye di hadapan ribuan pendukungnya, Prabowo tak segan-segan menunjuk-nunjuk dan menggebrak meja podium. Suaranya lantang setengah berteriak.

Tak jarang pula Prabowo melontarkan diksi bajingan dan kalimat-kalimat yang terkesan "kasar". Ini berbeda 360 derajat dengan lawannya Jokowi-Ma'ruf Amin yang lebih kalem dan bersahabat.

Hasilnya, Prabowo harus menerima kenyataan kembali kalah dan gagal menghuni Istana Negara.

Suara yang diperoleh Jokowi-Ma'ruf mencapai 85.607.362 suara, sedangkan Prabowo-Sandi hanya berhasil mengumpulkan 68.650.239 suara atau selisih 16.957.123 suara. Ya, Prabowo kalah telak.  

Prabowo dan Mindset Kotak Hitam di Pilpres 2024

Gerindra telah mendeklarasikan Prabowo sebagai calon presiden (Capres) 2024 pada Agustus 2022 lalu. Di hadapan para kader dalam Rapimnas Gerindra, Prabowo menyatakan kesediaannya untuk kembali maju pada Pilpres 2024.

Kembali majunya Prabowo ini sekaligus juga menjadikan dirinya sebagai kandidat yang paling banyak mengikuti ajang Pemilihan Umum Presiden Indonesia.

Pada Pilpres kali ini, Prabowo memperkenalkan dirinya dengan wajah dan daya tarik yang baru, Prabowo saat ini berbeda dengan Prabowo yang dikenal masyarakat pada 4 tahun yang lalu.

Prabowo tak lagi emosional, lebih tenang dan sabar. Selain itu, Prabowo terlihat lebih bersahabat dan ramah, baik itu dalam orasi politik, menjawab pertanyaan wartawan, atau ketika tampil dalam agenda dan kunjungan kerja pemerintah sebagai Menhan.

Kita mungkin tidak akan lagi melihat Prabowo menggebrak meja, menunjuk-nunjuk atau bahkan mendengar komentar-komentar tajam dengan diksi yang kasar darinya.

Dalam penampilannya di ruang-ruang publik, Prabowo tidak lagi menunjukkan kekuasaan 'siapa yang lebih power, siapa yang lebih nasionalis'.

Kisah dan perjuangannya kala di militer juga tidak akan lagi diceritakan di hadapan masyarakat. Dia tidak akan memainkan peran ksatria perang.

Semua wajah dan daya tarik baru ini bagian dari strategi politik yang lahir dari pengalaman dan kekalahan pada Pilpres-Pilpres sebelumnya. Kesalahan dan kekurangan masa lalu membawa Prabowo ke dalam perubahan dan karakter yang berbeda. Inilah yang disebut sebagai "Mindset Kotak Hitam".

Mindset Kotak Hitam atau Black Box Thinking adalah konsep yang diperkenalkan oleh Matthew Syed dalam bukunya yang berjudul "Black Box Thinking: Marginal Gains and the Secrets of High Performance". Dalam bukunya, Syed membahas pentingnya sikap terbuka terhadap kesalahan, pembelajaran, dan perbaikan.

Istilah "kotak hitam" atau "black box" tersebut merujuk pada kotak hitam yang digunakan dalam investigasi kecelakaan pesawat. Namun, dalam penerapannya konsep ini dapat digunakan pula dalam berbagai bidang, misalnya politik.

Mindset Kotak Hitam mengacu pada sikap yang terbuka dan objektif terhadap kesalahan dan kegagalan. Ini melibatkan penilaian yang jujur terhadap kesalahan, menghindari upaya menyembunyikan atau menyalahkan kesalahan, dan berorientasi pada perbaikan.

Konsep ini bertentangan dengan apa yang disebut sebagai Mindset Kotak Putih atau White Box Thinking, yang cenderung menutup-nutupi kegagalan atau menyalahkan orang lain.

Kita dapat melihat pendekatan konsep kotak hitam pada diri Prabowo saat ini.

Mulai dari bagaimana Prabowo harus melepas "harga dirinya" untuk bergabung dalam kabinet Jokowi dan mengakui kualitas kepemimpinan mantan rivalnya itu. Itu bukanlah keputusan yang mudah tetapi tetap dilakukan Prabowo walapun dia akan kehilangan dan ditinggalkan para pendukungnya di Pilpres sebelumnya.

Selain itu, pendekatan ini tercermin dalam branding Prabowo saat ini. Citra diri yang mengantarnya pada kegagalan ditinggalkan dan tampil dalam diri yang berbeda.

Prabowo kini berbeda. Prabowo telah belajar dari kesalahan dan kegagalannya. Akankah Mindset Kotak Hitam ini akan meraup banyak pemilih dan akhirnya mengantar Prabowo ke Istana Negara? Bagaimana menurutmu?

Kota Kupang, 20 Mei 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun