Mohon tunggu...
Jessy Nora Sandy
Jessy Nora Sandy Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya

Jessy Nora Sandy, mahasiswa sastra Indonesia UNESA 2023. Penulis pemula yang gemar berbagi cerita dan pemikiran melalui tulisan. Ikuti blog saya untuk membaca berbagai topik menarik!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nyawa di Ujung Bahasa

16 November 2024   12:25 Diperbarui: 16 November 2024   12:35 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gelap. Hanya cahaya monitor yang menyinari wajah Satrio. Jemarinya menari di atas papan ketik, mengetikkan kode-kode rumit yang hanya ia pahami. Di layar, ribuan kata dalam Bahasa Tegal Kuno bermunculan dan menghilang dalam hitungan detik. Ia telah menghabiskan lima tahun hidupnya untuk proyek rahasia ini, menciptakan algoritma enkripsi berbasis Bahasa Tegal Kuno.

"Nyong kudu nemokna kuncine", gumamnya dalam bahasa Tegal, sembari mengusap peluh yang mengalir di dahinya.

Semua berawal dari wasiat kakeknya, seorang mantan mata-mata di era perang kemerdekaan. Dalam sepucuk surat yang diterimanya lima tahun lalu, tertulis "Rahasia terbesar bangsa ini tersimpan dalam lidah para leluhur. Temukan kuncinya dalam Bahasa Tegal Kuno, sebelum mereka menemukannya."

Awalnya Satrio menganggap itu hanya igauan seorang kakek di penghujung hidupnya. Namun, setelah kematian kakeknya yang misterius, ditemukan tewas di perpustakaan pribadinya dengan kondisi ruangan yang porak-poranda, Satrio mulai menyelidiki. Ia menemukan sesuatu yang mengejutkan. Selama perang kemerdekaan, para pejuang menggunakan Bahasa Tegal Kuno yang telah dimodifikasi sebagai kode rahasia. Sistem enkripsi ini tak pernah bisa dipecahkan oleh para penjajah dan di suatu tempat dalam sistem itu, tersimpan sebuah rahasia yang mampu mengguncang pondasi negara.

"Mas Satrio", sebuah suara mengejutkannya. Kinanti, rekan kerjanya di lab penelitian bahasa, berdiri di ambang pintu. 

"Sudah larut. Ayo pulang."

Satrio menggeleng. "Sedikit lagi, Kin. Ada yang aneh dengan pola kata ini."

Kinanti mendekat, matanya menyipit menatap layar. Sebagai ahli linguistik, ia memang sering membantu Satrio menganalisis struktur Bahasa Tegal Kuno. Namun belakangan, ia merasa ada yang tidak beres dengan obsesi Satrio.

"Mas", kata Kinanti ragu, "sebenarnya apa yang Mas cari?"
 
Belum sempat Satrio menjawab, alarm keamanan gedung berbunyi nyaring. Lampu-lampu darurat menyala, menerangi koridor dengan cahaya merah menyala.

"Cepat, kita harus pergi!" Satrio menyambar memori flash dari komputernya dan menarik tangan Kinanti. Mereka berlari menyusuri koridor gelap. Di belakang mereka, terdengar derap langkah berat dan suara tembakan. Peluru melesat, menghantam dinding di samping kepala Satrio.

"Siapa mereka?" teriak Kinanti panik.
 
"Ora usah takon!" jawab Satrio dalam bahasa Tegal, menarik Kinanti ke dalam lift barang. Di dalam lift yang turun perlahan, Satrio mengeluarkan sebuah buku usang dari tasnya.

"Kinanti, dengarkan baik-baik. Kalau sesuatu terjadi padaku, kamu harus menemukan Mbah Karso di desa Kedungwuni. Dia satu-satunya orang yang masih bisa membaca tulisan ini."

"Mas, aku tidak mengerti..."

"Mereka ingin menghapus bahasa kita, Kin. Bukan hanya bahasa Tegal, tapi semua bahasa daerah. Karena dalam bahasa-bahasa itu tersimpan kode yang bisa membongkar kejahatan mereka."

Lift berhenti di lantai dasar. Satrio mengintip keluar. Kosong. Mereka berlari ke arah parkiran belakang.

"Mas Satrio!" teriak Kinanti tiba-tiba.

Satrio menoleh. Di ujung parkiran, Profesor Hendra, kepala lab mereka berdiri dengan pistol teracung.

"Sudah cukup main-mainnya, Satrio," kata Profesor Hendra dingin. 

"Serahkan datanya."

"Ternyata memang bapak dalangnya," desis Satrio.

"Kau pikir kenapa pemerintah begitu gencar menghapus bahasa daerah dari kurikulum? Kenapa mereka mendorong penggunaan bahasa asing? Karena dalam bahasa lokal tersimpan bukti kejahatan mereka. Dokumen-dokumen rahasia, perjanjian gelap, semuanya dikodekan dalam bahasa daerah yang kini hampir punah."

"Dan bapak dibayar untuk memastikan rahasia itu tetap terkubur?" 

"Berikan memori flash nya, atau gadis ini akan mati." Profesor Hendra mengarahkan pistolnya ke kepala Kinanti.

Satrio mengeluarkan memori flash dari sakunya. Tepat saat itu, Kinanti menendang sebuah tempat sampah ke arah Profesor Hendra. Dalam kekacauan singkat itu, Satrio menerjang sang profesor. Mereka bergulat memperebutkan pistol.

DOR! 

Suara tembakan memecah keheningan malam. Satrio terhuyung, memegangi perutnya yang berdarah. Profesor Hendra tersenyum penuh kemenangan, mengambil memori flash yang terjatuh dari tangan Satrio.

"Bodoh," gumamnya, "kau pikir bisa mengalahkan organisasi sekuat ini?"
 
Namun senyumnya segera pudar ketika membuka isi memori flash itu di laptop- nya. Kosong.

"Data yang asli ada di sini," Kinanti mengangkat sebuah kalung yang dipakainya. Sebuah USB mini tersembunyi dalam bandulnya. 

"Dan aku sudah mengirim salinannya ke seluruh peneliti bahasa di Indonesia."

Profesor Hendra mengangkat pistolnya, tapi sebelum ia bisa menarik pelatuk, sebuah peluru melesat menembus bahunya. Tim keamanan khusus yang dihubungi Kinanti telah tiba.

***

 
Setahun kemudian, di sebuah ruang kelas di pedalaman Kota Tegal, Satrio berdiri di depan sekelompok anak muda. Luka tembaknya telah sembuh, meninggalkan bekas yang mengingatkannya pada perjuangan mempertahankan warisan leluhur.

"Bahasa bukan sekadar alat komunikasi," katanya memulai kelas. 

"Bahasa adalah saksi sejarah, penjaga rahasia, dan pembawa kebenaran. Dan hari ini, kita akan belajar bahasa Tegal bukan hanya untuk berbicara, tapi untuk memahami siapa kita sebenarnya."

Di sudut ruangan, Kinanti tersenyum. Di tangannya tergenggam buku tua peninggalan kakek Satrio, kini menjadi bagian kurikulum wajib di sekolah-sekolah. Skandal yang terbongkar melalui kode bahasa daerah telah memaksa pemerintah mengembalikan pembelajaran bahasa lokal ke sekolah.

Di luar kelas, angin bertiup lembut membawa bunyi kentongan dari kejauhan, seolah mengamini bahwa dalam setiap kata yang terucap dalam bahasa leluhur, tersimpan kekuatan yang tak pernah bisa sepenuhnya dipadamkan. Suara kentongan dari kejauhan membuat Satrio termenung sejenak. Lima belas tahun yang lalu, di tempat yang sama, kakeknya sering mengajaknya duduk di beranda sembari mendengarkan kentongan berbunyi. 

"Kentongan kuwi ora mung kanggo tanda, Tio. Kentongan kuwi nyimpen cerita," kata kakeknya kala itu.

Kini ia paham maksud kalimat itu. Setelah skandal terungkap, investigasi menemukan bahwa sistem kentongan tradisional Tegal ternyata menyimpan pola- pola yang mirip dengan kode enkripsi modern. Para pejuang kemerdekaan tidak hanya menggunakan bahasa Tegal sebagai sandi, tetapi juga mengintegrasikannya dengan sistem komunikasi tradisional.

"Pak Satrio," suara Kinanti membuyarkan lamunannya. "Ada tamu dari Kementerian."

Di ruang kepala sekolah. Ya, Satrio kini menjabat sebagai kepala sekolah khusus yang fokus pada pelestarian bahasa dan budaya, di sana nampak duduk seorang pria berjas rapi. Namanya Wijaya, kepala departemen pelestarian bahasa daerah yang baru dibentuk setelah skandal itu terbongkar.

"Kami ingin mengembangkan program ini ke seluruh Indonesia," kata Wijaya. 

"Tapi ada masalah. Beberapa dokumen kuno yang terkait dengan kode-kode rahasia masih belum bisa dipecahkan. Kami butuh bantuan Anda."

Satrio dan Kinanti bertukar pandang. Mereka tahu ini akan terjadi. Sejak skandal itu terbongkar, banyak arsip rahasia ditemukan di berbagai daerah, tertulis dalam bahasa lokal yang telah dimodifikasi menjadi kode.

"Ada yang aneh dengan semua ini," kata Satrio.

"Kenapa dokumen-dokumen itu muncul sekarang?"

"Karena ada yang sengaja menyimpannya," jawab sebuah suara dari pintu.
 
Mbah Karso, tetua desa yang membantu Satrio memecahkan kode pertama kali, berdiri dengan tongkatnya. Meski usianya sudah 70 tahun, matanya masih tajam menatap.

"Mbah?" Satrio terkejut. "Kenapa Mbah ada di sini?"

"Wong tuwa kuwi ora mung lungguh neng omah, Le," jawab Mbah Karso dalam bahasa Tegal yang kental. 

"Nyong duwe cerita sing kudu tokrungokna."

Malam itu, di rumah tua Mbah Karso, sebuah rahasia besar terungkap. Ternyata, jauh sebelum kemerdekaan, sudah ada kelompok rahasia yang terdiri dari para tetua adat dari berbagai suku. Mereka menciptakan sistem enkripsi berbasis bahasa daerah untuk melindungi rahasia-rahasia besar bangsa.

"Bapaktuwane kuwe salah sijine anggota klompok kuwi," kata Mbah Karso. 

"lan saiki, tugas kuwi diwarisna nang kuwe, Tio."

"Tapi kenapa harus saya, Mbah?"

"Merga kuwe sing wis mbuktekna nek teknologi lan tradisi iso mlaku bareng. Kuwe wis nemokna cara nguri-uri basa Tegal ning jaman modern."

Pertemuan itu membuka babak baru dalam hidup Satrio. Bersama Kinanti dan tim peneliti muda yang ia bentuk, mereka mulai mengumpulkan dan memecahkan kode-kode kuno dari berbagai daerah. Setiap pemecahan kode membuka lapisan baru sejarah yang selama ini tersembunyi.

Namun, perjuangan mereka tidak mudah. Masih ada kelompok-kelompok yang ingin rahasia itu tetap terkubur. Ancaman dan teror datang silih berganti. Suatu malam, perpustakaan sekolah mereka dibakar. Beruntung, Satrio telah menduga hal ini akan terjadi dan telah memindahkan semua dokumen penting ke tempat rahasia.

"Mas," kata Kinanti suatu malam, setelah mereka selesai mengamankan sisa-sisa dokumen yang selamat dari kebakaran. "Apa tidak sebaiknya kita hentikan saja?"

Satrio menatap langit malam dari beranda sekolah yang hangus.

"Kowe eling ora, Kin, apa sing tau tak omongna? Bahasa kuwi ora mung kanggo ngomong. Bahasa kuwi saksi sejarah."

Kinanti mengangguk. Ia ingat betul kalimat itu. Kata-kata yang membuat ia jatuh cinta pada perjuangan ini, dan pada pria di hadapannya.

***

 
Setahun kemudian, di sebuah auditorium besar di Jakarta, Satrio berdiri di podium. Di hadapannya, ratusan peneliti bahasa dan budaya dari seluruh Indonesia berkumpul untuk konferensi pertama tentang sistem enkripsi berbasis bahasa daerah.

"Apa yang kita temukan bukan hanya tentang kode dan rahasia," kata Satrio mengawali pidatonya.

"Ini tentang bagaimana leluhur kita memahami bahwa dalam keberagaman bahasa kita, tersimpan kekuatan yang luar biasa."

Di kursi penonton, Kinanti tersenyum bangga. Tangannya menggenggam sebuah amplop berisi hasil tes DNA. Ya, misteri kematian kakek Satrio akhirnya terpecahkan. Profesor Hendra ternyata adalah bagian dari organisasi yang lebih besar, yang selama puluhan tahun berusaha menghapus jejak sejarah gelap mereka dengan menghilangkan bahasa-bahasa daerah.

"Dan hari ini," lanjut Satrio, "saya ingin mengumumkan sesuatu. Tim kami telah berhasil menciptakan sistem keamanan digital berbasis pola bahasa daerah. Sistem yang membuktikan bahwa kearifan lokal bisa menjadi solusi untuk tantangan modern."

Tepuk tangan memenuhi ruangan. Di sudut matanya, Satrio melihat Mbah Karso mengangguk puas. Perjuangan mereka belum selesai, tapi setidaknya langkah pertama telah diambil.

Malam itu, di beranda rumahnya yang baru, sebuah rumah sederhana di pinggiran kota Tegal, Satrio dan Kinanti duduk bersama, mendengarkan suara kentongan dari kejauhan. Kinanti menyandarkan kepalanya di bahu Satrio.

"Mas," bisiknya, "aku hamil." Satrio menoleh, terkejut dan bahagia. "Tenane, Kin?"

Kinanti mengangguk. "Dan aku ingin anak kita nanti belajar bahasa Tegal sebagai bahasa pertamanya."

"Mesthi, Kin. Lan mengko bocah kuwi bakal ngerti nek ning saben tembung sing disinaoni, ana sejarah sing nyimpen kekuatan."

Di kejauhan, kentongan masih berbunyi, membawa pesan-pesan kuno yang kini memiliki makna baru. 

Satrio mengeluarkan buku catatan kakeknya dan mulai menulis "Kanggo anakku sing durung lair. Rungokna critane bapakmu iki. Crita ngenani basa sing mbenahi sandi, ngenani perjuangan sing belih tau mati..."

***
 

Delapan bulan kemudian, di rumah sakit kecil di Kota Tegal, tangisan bayi memecah keheningan malam. Putri pertama Satrio dan Kinanti lahir tepat saat kentongan berbunyi dua belas kali, waktu yang dianggap keramat dalam tradisi Tegal.

"Jenenge sapa, Mas?" tanya Kinanti lemah tapi bahagia.

"Kusuma Wicara," jawab Satrio, menggendong putrinya yang mungil. 

"Artinya 'Bunga Bahasa'. Semoga dia tumbuh menjadi penjaga warisan leluhur kita."

Di luar rumah sakit, hujan rintik-rintik turun membawa kesejukan. Di kantornya yang gelap, Satrio telah menyiapkan sebuah program komputer khusus, perpaduan teknologi modern dengan kearifan lokal yang akan ia wariskan pada putrinya kelak. Program yang akan memastikan bahwa rahasia dan kekuatan bahasa leluhur tidak akan pernah mati.

Sementara itu, di berbagai pelosok negeri, gerakan pelestarian bahasa daerah mulai bangkit. Anak-anak muda tidak lagi malu berbahasa daerah. Mereka bangga, karena kini mereka tahu bahwa dalam setiap kata yang mereka ucapkan, mengalir darah pejuang yang telah mempertahankan identitas bangsa melalui cara yang tak terduga.

Di sudut ruangan bayi, Satrio berbisik pada putrinya dalam bahasa Tegal yang lembut, 

"Turu sing apik, anakku. Mengko nek wis gedhe, bapak arep crita kepriwe basa iso nyelametna bangsa iki."

Di luar, kentongan berbunyi sekali lagi, seolah memberi restu pada generasi baru penjaga rahasia dalam lidah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun