Namun, perjuangan mereka tidak mudah. Masih ada kelompok-kelompok yang ingin rahasia itu tetap terkubur. Ancaman dan teror datang silih berganti. Suatu malam, perpustakaan sekolah mereka dibakar. Beruntung, Satrio telah menduga hal ini akan terjadi dan telah memindahkan semua dokumen penting ke tempat rahasia.
"Mas," kata Kinanti suatu malam, setelah mereka selesai mengamankan sisa-sisa dokumen yang selamat dari kebakaran. "Apa tidak sebaiknya kita hentikan saja?"
Satrio menatap langit malam dari beranda sekolah yang hangus.
"Kowe eling ora, Kin, apa sing tau tak omongna? Bahasa kuwi ora mung kanggo ngomong. Bahasa kuwi saksi sejarah."
Kinanti mengangguk. Ia ingat betul kalimat itu. Kata-kata yang membuat ia jatuh cinta pada perjuangan ini, dan pada pria di hadapannya.
***
Â
Setahun kemudian, di sebuah auditorium besar di Jakarta, Satrio berdiri di podium. Di hadapannya, ratusan peneliti bahasa dan budaya dari seluruh Indonesia berkumpul untuk konferensi pertama tentang sistem enkripsi berbasis bahasa daerah.
"Apa yang kita temukan bukan hanya tentang kode dan rahasia," kata Satrio mengawali pidatonya.
"Ini tentang bagaimana leluhur kita memahami bahwa dalam keberagaman bahasa kita, tersimpan kekuatan yang luar biasa."
Di kursi penonton, Kinanti tersenyum bangga. Tangannya menggenggam sebuah amplop berisi hasil tes DNA. Ya, misteri kematian kakek Satrio akhirnya terpecahkan. Profesor Hendra ternyata adalah bagian dari organisasi yang lebih besar, yang selama puluhan tahun berusaha menghapus jejak sejarah gelap mereka dengan menghilangkan bahasa-bahasa daerah.
"Dan hari ini," lanjut Satrio, "saya ingin mengumumkan sesuatu. Tim kami telah berhasil menciptakan sistem keamanan digital berbasis pola bahasa daerah. Sistem yang membuktikan bahwa kearifan lokal bisa menjadi solusi untuk tantangan modern."