Meskipun banyak kemajuan dalam hal hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi, ketidaksetaraan dalam akses terhadap layanan kesehatan yang adil tetap menjadi masalah besar. Di banyak negara, perempuan Gen Z masih menghadapi hambatan dalam mengakses layanan kontrasepsi yang terjangkau, perawatan kehamilan yang aman, dan pengobatan yang berkaitan dengan menstruasi atau menopause. Selain itu, diskriminasi dalam layanan kesehatan terhadap orang-orang transgender dan non-biner masih sangat umum, meskipun ada peningkatan kesadaran di kalangan penyedia layanan medis.
Isu kesehatan reproduksi bukan hanya terbatas pada perempuan, tetapi juga berdampak pada pria dan individu dengan identitas gender lainnya. Misalnya, pria yang terlibat dalam pengasuhan anak sering kali tidak mendapatkan dukungan atau perawatan yang sama dalam hal kesehatan reproduksi atau kesejahteraan anak, yang sering kali lebih difokuskan pada perempuan.
5. Pengaruh Media Sosial dalam Pembentukan Norma Gender
Di era digital ini, media sosial memainkan peran besar dalam membentuk persepsi tentang gender. Bagi Gen Z, media sosial tidak hanya menjadi alat komunikasi tetapi juga tempat untuk memperjuangkan kesetaraan gender. Platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter sering digunakan untuk menyebarkan pesan tentang pentingnya inklusivitas dan kesetaraan gender. Namun, di sisi lain, media sosial juga memperkuat standar kecantikan dan ekspektasi gender yang terkadang tidak realistis.
Fenomena "toxic masculinity" dan "toxic femininity" sering kali tersebar luas melalui media sosial, yang mengajarkan generasi muda bahwa mereka harus mematuhi peran tertentu berdasarkan jenis kelamin mereka. Hal ini bisa menambah tekanan sosial, terutama bagi mereka yang berusaha untuk mengekspresikan diri mereka di luar norma yang telah ditetapkan.
Namun, media sosial juga menawarkan ruang untuk perubahan positif. Kampanye seperti #MeToo dan #HeForShe telah menarik perhatian global dan memberikan platform bagi individu untuk berbicara tentang pengalaman mereka dengan seksisme, pelecehan seksual, dan diskriminasi gender lainnya. Ini menunjukkan bahwa media sosial memiliki potensi besar untuk mendukung perjuangan kesetaraan gender, meskipun tetap ada tantangan besar dalam menanggulangi sisi negatifnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H