Mohon tunggu...
Jessica RahmaValere
Jessica RahmaValere Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

haloooo

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Permasalahan Kesetaraan Gender di Era Gen Z

8 Januari 2025   18:23 Diperbarui: 8 Januari 2025   18:23 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Generasi Z (lahir antara tahun 1997 hingga 2012) telah tumbuh dalam dunia yang semakin terhubung, penuh dengan tantangan baru dan kemajuan teknologi yang pesat. Salah satu isu sosial yang paling menonjol dalam era ini adalah kesetaraan gender. Meskipun kesadaran tentang pentingnya kesetaraan gender semakin meningkat, banyak masalah tetap ada, dan dalam beberapa hal, ketidaksetaraan bahkan semakin kompleks. Dalam artikel ini, kita akan membahas permasalahan kesetaraan gender yang dihadapi oleh Gen Z, serta dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari mereka.

1. Ketimpangan Gender di Dunia Kerja

Meskipun ada kemajuan signifikan dalam kesetaraan gender di dunia kerja, ketimpangan antara pria dan wanita, serta individu dengan identitas gender lain, tetap menjadi masalah besar di kalangan Gen Z. Salah satu masalah utama adalah kesenjangan upah, di mana perempuan sering dibayar lebih rendah daripada pria untuk pekerjaan yang setara. Dalam sebuah laporan dari McKinsey & Company, ditemukan bahwa meskipun banyak perusahaan yang berkomitmen pada keberagaman dan inklusi, perempuan, terutama dari latar belakang minoritas, masih menghadapi hambatan besar dalam mengakses posisi senior dan promosi.

Selain itu, banyak Gen Z yang bekerja di industri dengan dominasi gender tertentu. Sebagai contoh, perempuan lebih banyak terlibat dalam pekerjaan di sektor kesehatan dan pendidikan, sedangkan pria lebih banyak ditemukan dalam bidang teknik atau teknologi. Hal ini menunjukkan masih adanya stereotip gender dalam pemilihan karier, meskipun generasi ini semakin terbuka terhadap keberagaman profesi.

2. Stigma terhadap Identitas Gender Non-Biner

Salah satu perubahan terbesar yang terjadi pada generasi Z adalah pengakuan dan penerimaan terhadap identitas gender yang lebih beragam. Banyak individu Gen Z yang mengidentifikasi diri mereka sebagai non-biner, genderqueer, atau transgender, yang menunjukkan pergeseran besar dari norma gender tradisional. Namun, meskipun ada peningkatan kesadaran, stigma terhadap identitas non-biner tetap menjadi tantangan besar. Banyak individu yang mengidentifikasi diri mereka di luar konsep "pria" dan "wanita" masih menghadapi diskriminasi dan kesulitan untuk diterima dalam masyarakat yang masih sangat terikat pada pemahaman biner mengenai gender.

Di banyak tempat kerja dan institusi pendidikan, kebijakan dan struktur masih didominasi oleh norma gender tradisional. Penggunaan nama dan jenis kelamin dalam dokumen administratif, serta ekspektasi sosial terkait perilaku berdasarkan gender, menjadi tantangan besar bagi mereka yang berada di luar sistem tersebut. Hal ini membuat banyak individu merasa terpinggirkan atau tidak dihargai, meskipun mereka telah menjadi bagian penting dalam gerakan kesetaraan gender.

3. Stereotip Gender yang Masih Kuat

Meskipun Gen Z lebih inklusif dan terbuka dibandingkan generasi sebelumnya, stereotip gender masih sangat kuat dalam banyak aspek kehidupan. Misalnya, meskipun perempuan semakin terlibat dalam STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics), mereka tetap menghadapi hambatan berupa anggapan bahwa mereka kurang cocok dengan bidang tersebut. Hal ini tidak hanya terjadi dalam dunia pendidikan, tetapi juga di dunia kerja, di mana perempuan sering merasa harus bekerja lebih keras untuk membuktikan kemampuan mereka.

Di sisi lain, pria juga terpengaruh oleh stereotip gender. Misalnya, pria sering merasa tertekan untuk memenuhi harapan maskulinitas yang sangat kaku, yang dapat membatasi ekspresi diri mereka. Menurut survei dari Pew Research, banyak pria Gen Z yang merasa kesulitan untuk mengungkapkan emosi atau mengambil pekerjaan yang dianggap "lembut" karena takut dianggap lemah atau tidak maskulin.

4. Akses terhadap Kesehatan Reproduksi dan Seksual yang Adil

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun