Mohon tunggu...
Jeri Santoso
Jeri Santoso Mohon Tunggu... Nahkoda - Wartawan

Sapiosexual

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

"Laudato Si" dan Pertobatan Ekologis untuk Masa Depan Hutan Indonesia

11 Oktober 2019   07:27 Diperbarui: 11 Oktober 2019   07:56 4367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Karena kita, ribuan spesies tidak akan lagi memuliakan Allah dengan keberadaan mereka, atau menyampaikan pesan mereka kepada kita. Kita tidak punya hak seperti itu." (Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si, bab iii, tentang hilangnya keanekaragaman hayati).

Empat hari sebelum ensiklik Laudato Si dirilis, majalah Italia L'Espresso memposting draft dokumen yang bocor secara online. Dokumen tersebut hampir sama persis dengan dokumen aslinya. Kebocoran tersebut membuat para petinggi Vatikan geram.

The New York Times dan surat kabar Italia La Stampa keduanya mencatat bahwa kebocoran tersebut berasal dari kalangan konservatif di dalam Vatican yang ingin mempermalukan Paus dan menghalangi peluncuran ensiklik.

Namun kemudian surat ensiklik ini secara resmi dirilis pada sebuah acara di Aula Sinode Baru Vatican, pada 18 Juni 2015 dan diterjemahkan serentak dalam delapan bahasa. 

Ensiklik ini merupakan ensiklik kedua Paus Fransiskus setelah Lumen Fidei (Terang Iman). Ensiklik Laudato Si berisi tentang kepedulian memelihara alam ciptaan sebagai rumah umat manusia.

Laudato Si (bahasa Italia) diadopsi dari nyanyian Santo Fransiskus dari Asisi, orang kudus dalam sejarah Gereja Katolik, yang versi panjangnya Laudato Si, mi' Signore; artinya Terpujilah Engkau Tuhanku.

Konon, Santo Fransiskus dari Asisi dikisahkan sebagai salah satu dari deretan orang kudus yang sangat mencintai alam. Kecintaannya pada alam menimbulkan alih-alih "panenteisme" terhadapnya. Karena ia memuja alam sama seperti mengagungkan Pencipta.

Ia menamai semua ciptaan dengan sebutan "saudara". Sebut saja, saudara matahari, saudara ikan, saudara melati, saudara orangutan dan seterusnya. Ia mewariskan semangat ekologis kepada anggota biaranya Ordo Fratrum Minorum atau yang dikenal dengan sebutan Fransiskan.

Spirit ekologis inilah yang kemudian mengilhami Paus Fransiskus (nama asli: George Borgoglio) dalam menerbitkan ensiklik Laudato Si sebagai wujud kepedulian terhadap alam semesta.

Sebuah ensiklik tidak hanya merespons realita sosial, namun juga mengungkapkan basis teologisnya, sehingga aksi-aksi implementatif terhadap ensiklik bukan hanya merupakan gerakan sosial melainkan juga gerakan kegamaan.

Oleh sebab itu, gerakan keagamaan sangat penting menjadi wadah sosial yang kuat dalam masyarakat. Sebab kepedulian terhadap alam juga merupakan urusan religiusitas. Termasuk kepedulian terhadap hutan dan ekosistem di dalamnya.

 "Merawat ekosistem mengandaikan pandangan melampaui yang instan, karena orang yang mencari keuntungan cepat dan mudah, tidak akan tertarik pada pelestarian alam." (Laudato Si, No 36).

Pada bagian-bagian pembuka ensiklik laudato si, Paus Fransiskus langsung menyentil akar persoalan ekologis, bahwa motivasi dan moral yang dangkal menjadi sebab krisis ekologi sekarang ini. 

Ia dengan tegas menentang konsumerisme dan sikap instan umat manusia yang mengabaikan tugas penting dalam menjaga kelestarian ekosistem. Dengan basis-basis teologisnya, ensiklik ini merunut berbagai persoalan alam dalam ajaran iman Katolik.

"Ekosistem hutan tropis memiliki keanekaragaman hayati yang sangat kompleks dan hampir mustahil dinilai sepenuhnya, namun ketika hutan tersebut terbakar atau ditebang untuk tujuan perkebunan, dalam waktu beberapa tahun spesies yang tak terhitung jumlahnya punah dan wilayah itu sering berubah menjadi lahan telantar dan gersang...." (Laudato Si, no 38). 

Beberapa dekade terakhir kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menjadi perhatian internasional sebagai isu lingkungan dan ekonomi, khususnya setelah bencana El Nino (ENSO) 1997-1998 yang menghanguskan lahan hutan seluas 25 juta hektar di seluruh dunia (FAO 2001; Rowell dan Moore).

Selama peristiwa ENSO, Indonesia mengalami kebakaran hutan yang paling hebat di dunia. Citra situasi kota yang diliputi kabut, hutan yang terbakar dan orangutan yang menderita terpampang di linimasa publik, membanjiri berita-berita utama di surat kabar dan televisi nasional maupun internasional.

Kejadian ini dinyatakan sebagai salah satu bencana lingkungan paling buruk sepanjang abad (Glover, 2001), karena dampaknya bagi hutan dan juga jumlah emisi karbon yang dihasilkannya sangat besar.

Jenis hutan alam di Indonesia adalah kategori hutan tropis atau hutan hujan basah, sehingga lantai hutan selalu dalam kondisi basah atau lembab. Hampir 99% kejadian kebakaran hutan di Indonesia disebabkan oleh aktivitas manusia, baik sengaja maupun tidak sengaja. 

Hanya 1% di antaranya yang terjadi secara alamiah (Syaufina, 2008). Pelaku karhutla diidentifikasi adalah pemegang izin atas kawasan hutan atau hak guna usaha yang tidak memiliki izin.

Sebelumnya kebakaran hutan dan lahan dengan kerugian yang sangat parah juga pernah terjadi di Indonesia. Pada tahun 1982/1983 lahan yang terbakar mencapai 3,6 juta hektar dengan kerugian yang ditimbulkan lebih dari 6 triliun rupiah.

Pada tahun 1987, kebakaran menghanguskan 66 ribu hektar hutan dan lahan, pada tahun 1991 menghanguskan 500 ribu hektar, serta lebih dari 5 juta hektar pada tahun 1994/1995.

Di tahun-tahun berikutnya, terjadi pada tahun 2006, 2007, dan 2008 yang mengakibatkan kerusakan di kawasan lahan gambut sekitar 1,2 juta hektar. Sementara kebakaran pada tahun 2012 menyebabkan 2 ribu hektar hutan terbakar.

Selanjutnya, pada tahun 2013/2014 sekitar 60 ribu hektar hutan terbakar, dan 60 ribu jiwa menderita ISPA. Kerugian yang ditaksir lebih dari Rp 50 triliun. 

Sementara, pada tahun 2015 luas lahan yang terbakar 2,61 juta hektar. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan mencapai Rp 221 triliun dan menyebabkan sekitar 600 ribu jiwa mengidap ISPA (World Bank, 2015).

Dari tahun-tahun sebelumnya, kebakaran hutan terus terjadi di Indonesia hingga karhutla 2019 yang sedang ramai dibicarakan. Ini lebih parah dari tahun kemarin. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut luas lahan dan hutan yang terbakar tahun ini lebih parah dari 2018 (CNN Indonesia, 02/10/2019).

Berdasarkan catatan KLHK, karhutla yang terbakar sampai 1 Oktober 2019 naik 80,29 persen dari periode yang sama tahun 2018. Jumlah titik api tahun lalu hingga September tercatat ada 4.079 titik. Sehingga total titik api tahun ini sekitar 7.354 titik api dan terjadi peningkatan sekitar 3.279 titik api.

Pertobatan ekologis yang dimaksudkan Paus Fransiskus dalam ensiklik ini adalah bagaimana kita memulihkan kembali hubungan yang harmonis dengan alam, setelah sekian lama merosot karena gerak maju modernitas. 

Ajakan tersebut tidak bermaksud bahwa kita harus bersikap konservatif untuk menolak kemajuan. Tapi lebih tepat, bagaimana kemajuan ilmu pengetahuan tetap bersinergi dengan kesadaran peduli lingkungan.

"Tanggung jawab terhadap bumi milik Allah ini menyiratkan bahwa manusia yang diberkati dengan akal budi, menghormati hukum alam dan keseimbangan yang lembut di antara makhluk-makhluk di dunia ini." (Laudati Si, nomor 48)

Itulah sebabnya gerakan keagamaan dengan basis-basis ajaran di dalamnya sangat relevan dalam menggerakkan kesadaran peduli lingkungan. Hukum-hukum Alkitab memberi manusia berbagai norma, bukan hanya berkaitan dengan sesama manusia, tetapi juga berkaitan dengan makhluk-makhluk hidup lainnya.

Ini seperti sebuah kilas balik exodus, di mana ketika terjadi penjajahan rohani atas moral manusia sekarang ini, gerakan keagamaan harus mampu menuntun masyarakat ke luar dari perbudakan tersebut.

Iman memungkinkan kita untuk menafsirkan makna dan keindahan misterius dari apa yang terjadi. Manusia bebas menerapkan kecerdasannya bagi perkembangan positif, tetapi juga dapat menjadi sumber penyakit baru.

Inilah yang membuat sejarah manusia menjadi menarik dan dramatis, di mana kebebasan, pertumbuhan, keselamatan dan cinta dapat berkembang, sekaligus juga dapat terjadi pembusukan dan penghancuran satu sama lain.

Itulah sebabnya Gereja tidak hanya berusaha untuk mengingatkan akan tugas perawatan alam, tetapi sekaligus melindungi manusia dari saling menghancurkan. Krisis ekologis merupakan panggilan untuk pertobatan batin yang mendalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun