Di tahun-tahun berikutnya, terjadi pada tahun 2006, 2007, dan 2008 yang mengakibatkan kerusakan di kawasan lahan gambut sekitar 1,2 juta hektar. Sementara kebakaran pada tahun 2012 menyebabkan 2 ribu hektar hutan terbakar.
Selanjutnya, pada tahun 2013/2014 sekitar 60 ribu hektar hutan terbakar, dan 60 ribu jiwa menderita ISPA. Kerugian yang ditaksir lebih dari Rp 50 triliun.Â
Sementara, pada tahun 2015 luas lahan yang terbakar 2,61 juta hektar. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan mencapai Rp 221 triliun dan menyebabkan sekitar 600 ribu jiwa mengidap ISPA (World Bank, 2015).
Dari tahun-tahun sebelumnya, kebakaran hutan terus terjadi di Indonesia hingga karhutla 2019 yang sedang ramai dibicarakan. Ini lebih parah dari tahun kemarin. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut luas lahan dan hutan yang terbakar tahun ini lebih parah dari 2018 (CNN Indonesia, 02/10/2019).
Berdasarkan catatan KLHK, karhutla yang terbakar sampai 1 Oktober 2019 naik 80,29 persen dari periode yang sama tahun 2018. Jumlah titik api tahun lalu hingga September tercatat ada 4.079 titik. Sehingga total titik api tahun ini sekitar 7.354 titik api dan terjadi peningkatan sekitar 3.279 titik api.
Pertobatan ekologis yang dimaksudkan Paus Fransiskus dalam ensiklik ini adalah bagaimana kita memulihkan kembali hubungan yang harmonis dengan alam, setelah sekian lama merosot karena gerak maju modernitas.Â
Ajakan tersebut tidak bermaksud bahwa kita harus bersikap konservatif untuk menolak kemajuan. Tapi lebih tepat, bagaimana kemajuan ilmu pengetahuan tetap bersinergi dengan kesadaran peduli lingkungan.
"Tanggung jawab terhadap bumi milik Allah ini menyiratkan bahwa manusia yang diberkati dengan akal budi, menghormati hukum alam dan keseimbangan yang lembut di antara makhluk-makhluk di dunia ini." (Laudati Si, nomor 48)
Itulah sebabnya gerakan keagamaan dengan basis-basis ajaran di dalamnya sangat relevan dalam menggerakkan kesadaran peduli lingkungan. Hukum-hukum Alkitab memberi manusia berbagai norma, bukan hanya berkaitan dengan sesama manusia, tetapi juga berkaitan dengan makhluk-makhluk hidup lainnya.
Ini seperti sebuah kilas balik exodus, di mana ketika terjadi penjajahan rohani atas moral manusia sekarang ini, gerakan keagamaan harus mampu menuntun masyarakat ke luar dari perbudakan tersebut.
Iman memungkinkan kita untuk menafsirkan makna dan keindahan misterius dari apa yang terjadi. Manusia bebas menerapkan kecerdasannya bagi perkembangan positif, tetapi juga dapat menjadi sumber penyakit baru.