Saban hari matahari selalu terbit dari kaki langit timur
Saban hari ayam selalu berkokok saat ia bosan terlelap
Saban hari suara sapu lidi terdengar berdesikan di pelataran rumahÂ
Saban hari yang indah itu pula duduk seseorang memegang hand phone dan sedang mengetik "as*, jadi orang belagu amat, dasar pencuri suami orang b*ng*at"Â
Di dunia itu tampaknya memang tidak ada lagi matahari yang terbit dari timur, ayam yang berkokok, burung yang berkicau, ombak berdeburan, tampaknya memang sudah hancur lebur kemanusiaan di kehidupan kedua dunia maya yang berpenduduk Netizen.Â
Saya setiap hari rutin membuka yahoo mail dan Instagram, dan tak pernah ada satupun hari dimana Netizen tidak berulah dengan jurus Free speech nya, hampir semuanya selalu saja dikritik, dicaci maki, dihina, disinggung, dan sebagainya. Post-post instagram pun memberi rangsangan ke leher agar segera menggeleng-gelengkan kepala untuk detoksifikasi racun yang terserap. Topik yang tak pernah tidak disikat oleh Netizen adalah hal-hal yang secara moral tidak mereka setujui seperti tingkah laku artis yang belagu, foto yang tidak senonoh, perceraian artis, fitnah-memfitnah, kritikan tokoh politik, dan sebagainya.Â
Selama ini saya selalu menghela nafas panjaaaaang sekali untuk membantu otak ini berpikir, kenapa Netizen sangat-sangat 'njelei'. Dan hari ini saya memutusken untuk mengeluarkan semua racun di pikiran saya agar tidak mengendap menjadi sinisme.
SJW dan Netizen Indonesia sendiri ternyata sangat-sangat mirip, tetapi hanya di beberapa hal saja sepertiÂ
sama-sama membela yang lemah
sama-sama membenci yang tidak semoral
sama-sama bergerak di dunia maya dan di jalanan
sama-sama memiliki perasaan yang mudah tersinggung
sama-sama berpikiran tertutup dan idealisme teguh
sama-sama berbicara bahasa moralitas
sama-sama tidak pernah membantu yang dibela secara langsung
sama-sama bertingkah tegas, lugas, kritis, tetapi tanpa data valid
sama-sama menunjukkan semua hal di atas dengan bangga di platform yang memang ramai pengunjung
Dan ketika saya melakukan penelitian lebih lanjut ternyata hampir semua generasi milenial di dunia maya sedang terserang Sindrom Self Superiority ini.
Sindrom Self Superiority ini intinya adalah ketika orang-orang berusaha untuk terlihat superior dari orang-orang lain. Inilah yang menjelaskan mengapa aksi-aksi mereka selalu berkutat di zona nyaman mereka sendiri, karena memang mereka tidak pernah berniat mengotori jari-jari lentik mereka untuk beraksi sesungguhnya.Â
Dengan dasar teori Sindrom ini saya dengan mudah bisa melihat dunia ini dengan lebih jelas, contohnya
Kenapa Netizen selalu mengomentari negatif foto-foto artis kontroversial? Karena mereka ingin berada di oposisi agar terlihat superior dalam moralitasnya.
Kenapa Netizen selalu memberi statement-statement pada kasus-kasus fenomenal? Karena mereka ingin menunjukkan superioritas nya dalam intelektual.Â
Kenapa Netizen selalu bersimpati atas tragedi atau orang yang sedang berada dibawah? Karena mereka ingin menunjukkan superioritas dalam hal nurani dan moralitasnya.Â
Kenapa Netizen selalu mengkritik hal-hal yang tidak mereka suka atau menyinggung perasaan? Karena mereka ingin menunjukkan superioritas dalam hal otentisitas idealisme.
Kenapa Netizen selalu begini begitu beginu begana beguni? Karena Netizen atau SJW atau Haters hanya ingin menunjukkan bahwa ia superior dalam hal ini itu inu ana uni.
apakah hal-hal yang selama ini mereka lakukan berguna dan actually helping the victim ? terkadang iya, lebih sering tidak.
Demo 212, apakah mereka betul-betul menyuarakan sebuah urgensi? kalau iya kenapa? atas dasar teori apa? atau jangan-jangan menjadi oposisi sampai mati agar nampak superior dalam hal-hal tertentu seperti moralitas, Iman, kebenaran, dan sebagainya. tersinggung atau tidak menurut saya seharusnya tidak dihitung, karena tersinggung sendiri muncul dari hati yang tidak bisa memaafkan. (atau karena tikus-tikus yang memakan sabun?)
Kenapa orang-orang menceritakan pada teman-temannya opininya tentang sesuatu, pendapatnya tentang kasus, pemikirannya tentang sebuah fenomena, menyatakan kebenciannya pada tokoh kontroversial, bla-bla-bla. Karena mereka ingin terlihat superior dalam hal-hal terntentu. Apakah yang mereka lakukan membantu menyelesaikan masalah apapun? tentu tidak, dan memang mereka dari awal tidak berniat menyelesaikan atau membantu permasalahan apapun.
Mungkin hal ini bisa dikaitkan juga dengan sindrom krisis identitas, tapi karena terlalu panjang dan ngelantur saya pun mengurungkan niat.
Sebuah solusi muncul di benak saya saat sedang mengetik artikel ini untuk para Netizen dan Social Justice Warrior :Â
berkarya !Â
kuatkan hati dan teguhkan iman (dibaca: jangan terlalu sensitif) dunia memang keras.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H