Mohon tunggu...
Jeremy Randolph
Jeremy Randolph Mohon Tunggu... Buruh - opini-opini

aku ingin tinggal di Meikarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Netizen dan Sindrom Self Superiority

1 April 2017   15:54 Diperbarui: 25 Maret 2018   13:10 10132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar 2 : 4.bp.blogspot.com diakses pukul 2.00 am , 31-3-2017

Saban hari matahari selalu terbit dari kaki langit timur

Saban hari ayam selalu berkokok saat ia bosan terlelap

Saban hari suara sapu lidi terdengar berdesikan di pelataran rumah 

Saban hari yang indah itu pula duduk seseorang memegang hand phone dan sedang mengetik "as*, jadi orang belagu amat, dasar pencuri suami orang b*ng*at" 

Di dunia itu tampaknya memang tidak ada lagi matahari yang terbit dari timur, ayam yang berkokok, burung yang berkicau, ombak berdeburan, tampaknya memang sudah hancur lebur kemanusiaan di kehidupan kedua dunia maya yang berpenduduk Netizen. 

Saya setiap hari rutin membuka yahoo mail dan Instagram, dan tak pernah ada satupun hari dimana Netizen tidak berulah dengan jurus Free speech nya, hampir semuanya selalu saja dikritik, dicaci maki, dihina, disinggung, dan sebagainya. Post-post instagram pun memberi rangsangan ke leher agar segera menggeleng-gelengkan kepala untuk detoksifikasi racun yang terserap. Topik yang tak pernah tidak disikat oleh Netizen adalah hal-hal yang secara moral tidak mereka setujui seperti tingkah laku artis yang belagu, foto yang tidak senonoh, perceraian artis, fitnah-memfitnah, kritikan tokoh politik, dan sebagainya. 

Selama ini saya selalu menghela nafas panjaaaaang sekali untuk membantu otak ini berpikir, kenapa Netizen sangat-sangat 'njelei'. Dan hari ini saya memutusken untuk mengeluarkan semua racun di pikiran saya agar tidak mengendap menjadi sinisme.

gambar 2 : 4.bp.blogspot.com diakses pukul 2.00 am , 31-3-2017
gambar 2 : 4.bp.blogspot.com diakses pukul 2.00 am , 31-3-2017
Netizen 'njelei' di luar negeri dinamakan SJW atau Social Justice Warrior, kalau belum tahu itu apa Social Justice sendiri adalah bahasa inggris dari keadilan sosial. Mereka ini adalah orang-orang yang menjunjung tinggi keadilan sosial bagi seluruh umat manusia, biasanya mereka selalu memihak orang-orang yang notabene berada di bawah, tertekan, menjadi korban, dan perlu dikasihani. Lantas membenci orang-orang yang berada diatas, tidak bermoral, berkedudukan, dsb. contoh gerakan-gerakan SJW adalah hesteg dan demo, dan kutukan sumpah serapah di dunia maya, karena setahu saya cuma itu yang bisa mereka lakukan. (Black Lives Matter, Feminism (radical one), anti white supremacist, haters, penginjil dadakan, psikolog dadakan, politikus dadakan, dsb)

SJW dan Netizen Indonesia sendiri ternyata sangat-sangat mirip, tetapi hanya di beberapa hal saja seperti 

sama-sama membela yang lemah

sama-sama membenci yang tidak semoral

sama-sama bergerak di dunia maya dan di jalanan

sama-sama memiliki perasaan yang mudah tersinggung

sama-sama berpikiran tertutup dan idealisme teguh

sama-sama berbicara bahasa moralitas

sama-sama tidak pernah membantu yang dibela secara langsung

sama-sama bertingkah tegas, lugas, kritis, tetapi tanpa data valid

sama-sama menunjukkan semua hal di atas dengan bangga di platform yang memang ramai pengunjung

gambar 3 : i.ytimg.com diakses pukul 2.00 am , 31-3-2017
gambar 3 : i.ytimg.com diakses pukul 2.00 am , 31-3-2017
Dan Saya baru-baru ini mendapat sebuah wangsit tentang  sindrom baru yang sungguh sangat-sangat berbahaya bila tidak segera diobati dari dini, yaitu Sindrom Self Superiority.

Dan ketika saya melakukan penelitian lebih lanjut ternyata hampir semua generasi milenial di dunia maya sedang terserang Sindrom Self Superiority ini.

Sindrom Self Superiority ini intinya adalah ketika orang-orang berusaha untuk terlihat superior dari orang-orang lain. Inilah yang menjelaskan mengapa aksi-aksi mereka selalu berkutat di zona nyaman mereka sendiri, karena memang mereka tidak pernah berniat mengotori jari-jari lentik mereka untuk beraksi sesungguhnya. 

Dengan dasar teori Sindrom ini saya dengan mudah bisa melihat dunia ini dengan lebih jelas, contohnya

Kenapa Netizen selalu mengomentari negatif foto-foto artis kontroversial? Karena mereka ingin berada di oposisi agar terlihat superior dalam moralitasnya.

Kenapa Netizen selalu memberi statement-statement pada kasus-kasus fenomenal? Karena mereka ingin menunjukkan superioritas nya dalam intelektual. 

Kenapa Netizen selalu bersimpati atas tragedi atau orang yang sedang berada dibawah? Karena mereka ingin menunjukkan superioritas dalam hal nurani dan moralitasnya. 

Kenapa Netizen selalu mengkritik hal-hal yang tidak mereka suka atau menyinggung perasaan? Karena mereka ingin menunjukkan superioritas dalam hal otentisitas idealisme.

Kenapa Netizen selalu begini begitu beginu begana beguni? Karena Netizen atau SJW atau Haters hanya ingin menunjukkan bahwa ia superior dalam hal ini itu inu ana uni.

apakah hal-hal yang selama ini mereka lakukan berguna dan actually helping the victim ? terkadang iya, lebih sering tidak.

Demo 212, apakah mereka betul-betul menyuarakan sebuah urgensi? kalau iya kenapa? atas dasar teori apa? atau jangan-jangan menjadi oposisi sampai mati agar nampak superior dalam hal-hal tertentu seperti moralitas, Iman, kebenaran, dan sebagainya. tersinggung atau tidak menurut saya seharusnya tidak dihitung, karena tersinggung sendiri muncul dari hati yang tidak bisa memaafkan. (atau karena tikus-tikus yang memakan sabun?)

Kenapa orang-orang menceritakan pada teman-temannya opininya tentang sesuatu, pendapatnya tentang kasus, pemikirannya tentang sebuah fenomena, menyatakan kebenciannya pada tokoh kontroversial, bla-bla-bla. Karena mereka ingin terlihat superior dalam hal-hal terntentu. Apakah yang mereka lakukan membantu menyelesaikan masalah apapun? tentu tidak, dan memang mereka dari awal tidak berniat menyelesaikan atau membantu permasalahan apapun.

gambar 4 : huffpost.com diakses pukul 2.00 am , 31-3-2017
gambar 4 : huffpost.com diakses pukul 2.00 am , 31-3-2017
Dan yang disalah kirakan generasi milenial adalah bahwa terlihat kritis dan idealis adalah ciri-ciri orang yang pantas dipuja, dihormati, disembah. Lalu dari pemikiran itu tercipatalah Netizen ganas yang aktif setiap hari mencari batu loncatan, terciptalah post-post instagram dengan caption nan bijak, terciptalah status line berisi opini-opini nya akan suatu masalah, terciptalah berita di Yahoo tentang "Netizen mengamuk setelah melihat foto artis x memperlihatkan belahan dada", terciptalah reaksi-reaksi Netizen atas apapunyang terjadi di dunia maya. Sebetulnya semua hal di atas itu tidak masalah dan tidak dipermasalahkan, tetapi ketika sudah mengganggu, merugikan, menyebalkan, dan kontraproduktif....

Mungkin hal ini bisa dikaitkan juga dengan sindrom krisis identitas, tapi karena terlalu panjang dan ngelantur saya pun mengurungkan niat.

Sebuah solusi muncul di benak saya saat sedang mengetik artikel ini untuk para Netizen dan Social Justice Warrior : 

berkarya ! 

kuatkan hati dan teguhkan iman (dibaca: jangan terlalu sensitif) dunia memang keras.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun