Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pengusiran Pasangan Inses di Luwu Tidak Dibenarkan Secara Etis

30 Juli 2019   13:54 Diperbarui: 30 Juli 2019   19:35 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perkawinan sedarah. Sumber: kompas.com

0 Advanced issues found▲

 

Sejak dilansir media pada hari Sabtu, 27 Juli 2019, perkawinan inses dua warga Desa Lamunre, Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu bernama AA (38 tahun, laki-laki) dengan adiknya BI (30 tahun) terus menyita perhatian publik. Pasangan "terlarang" yang telah dikaruniai 2 anak dengan kondisi BI yang tengah mengandung anak ketiga mereka itu nyaris menjadi sasaran amuk warga jika saja polisi dari Polres Luwu tidak segera tiba di lokasi.

Dengan mengacu kepada hukum adat, berbagai pihak--termasuk kepolisian--sepakat untuk mengusir pasangan itu dari desa. Sementara AA masih berurusan dengan pihak kepolisian, BI berada bersama sanak-keluarga di Makassar (bersama anak-anak lainnya). 

BI sendiri telah memiliki dua anak hasil perkawinan sebelumnya. Di rumah mereka di Luwu, pasangan inses itu juga masih hidup bersama ibu mereka (ayah sudah meninggal dunia). Dengan begitu, pengusiran terhadap pasangan itu juga berarti pengusiran terhadap 7 orang manusia dan seorang calon manusia (janin).

Rujukan Hukum

Saya berada pada posisi menolak perkawinan sedarah. Pertama-tama karena alasan kemuakan etis (ethical disgusting), semacam perasaan aneh melakukan hubungan seksual dengan orang-orang yang masih terikat hubungan darah.

Perasaan semacam ini bisa jadi bersifat subjektif--mengingat ada suku-suku tertentu di dunia yang tidak mempersoalkan praktik ini. Tetapi tidak tertutup kemungkinan, perasaan ini bersifat objektif --dalam arti sebagian besar masyarakat (untuk tidak menyebut semua) menolaknya.

Saya juga berada pada posisi menolak perkawinan sedarah karena alasan ilmiah. Sebagaimana sudah dibahas di banyak media dan berbagai jurnal ilmiah, perkawinan sedarah tidak hanya berpotensi menghasilkan keturunan yang cacat (karena rendahnya variasi gen pembawa sifat karena menyatunya dua gen resesif menjadi dominan), tetapi juga mengancam keberlangsungan hidup keluarga, suku atau etnis tertentu. Dalam arti itu, alasan ilmiah ini dapat dikatakan sebagai alasan yang paling objektif sebagai rujukan penolakan terhadap perkawinan sedarah.

Perkawinan inses di Luwu dan di beberapa daerah lain sebelumnya ditolak karena melanggar hukum, terutama (1) UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, (2) UU Perdata (KUH Perdata), dan Hukum Islam.

Pasal 8 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1074 menegaskan bahwa suatu perkawinan dilarang di antara dua orang yang:

  1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas; 
  2.  Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; 
  3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri; 
  4. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan; 
  5. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang; dan 
  6. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Pasal 30 KUH Perdata menyatakan bahwa Perkawinan dilarang antara mereka yang satu sama lainnya mempunyai hubungan darah dalam garis ke atas maupun garis ke bawah, baik karena kelahiran yang sah maupun karena kelahiran yang tidak sah, atau karena perkawinan; dalam garis ke samping, antara kakak beradik laki perempuan, sah atau tidak sah.

Sementara itu, Pasal 39 butir (1) dari Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahawa perkawinan sedarah itu dilarang (1) Karena pertalian nasab: [a] dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya; [b] Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu; dam [c] dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.

Ketentuan hukum yang dirujuk ini jelas melarang perkawinan inses. Dengan begitu, praktik perkawinan inses harus ditolak demi hukum, dan sanksi paling berat adalah membatalkan sebuah perkawinan tersebut (jika sudah dilaksanakan secara hukum). Ditambahkan pula bahwa jika ASN mengetahui keadaan yang sebenarnya dan masih bersedia menikahkan pasangan sedarah di KUA, dia akan dikenai sanksi secara administratif. Baik pelaku perkawinan sedarah maupun yang mengesahkan pernikahan itu dikenai sanksi administratif dan BUKAN sanksi pidana.

Lain soal jika perkawinan sedarah itu dilakukan berdasarkan paksaan dan ada unsur penganiayaan atau kekerasan, sejauh penegak hukum dapat membuktikan dalil-dalilnya, pelaku dapat dikenakan sanksi pidana, pertama-tama bukan karena perkawinan sedarah itu sendiri, tetapi karena proses atau dampak yang menyertainya.

Dalam konteks itu, menurut saya, perkawinan inses baik di Luwu maupun di daerah-daerah lain di Indonesia harus ditolak. Keyakinan subjektif (ethical disgusting) dan landasan ilmiah yang kemudian mendapat penegasannya dalam berbagai ketentuan perundang-undangan di Republik ini pantas diapresiasi sebagai yang meluhurkan martabat manusia.

Saya mempersoalkan tindakan warga masyarakat (yang didukung aparat kepolisian dan aparat pemerintah setempat) yang mengusir pasangan sedarah dari kampung halaman mereka sendiri. Pertanyaannya: apakah dibenarkan mengusir mereka dari desa? Apakah tindakan itu juga dapat dibenarkan secara etis?

Hukum Adat Saja Tidak Memadai

Hukum adat telah dirujuk sebagai alasan yang mendasari pengusiran pasangan sedarah di Luwu. Pertanyaannya, hukum adat yang mana? Apa bunyi hukum adat tersebut? Tentu jawabannya adalah hukum adat setempat. Tetapi apakah warga bisa menyebutkan bunyi dari hukum adat itu?

Tampaknya warga akan sulit menyebut secara tepat atau persis apa bunyi hukum adat yang menjadi rujukan tersebut. Mengacu kepada praktik hukum adat dalam memberi sanksi perkawinan sedarah di di Bulukumba, tetua adat mengatakan demikian, "Dulu orang seperti ini dihukum dengan cara diladung (diikat dan ditenggelamkan ke laut)." Jadi, sekarang warga pun berharap agar pasangan sedarah harus diladung (diikatkan dan ditenggelamkan ke laut). 

Di sini, warga Bulukumba mengacu ke praktik tertentu di masa lampau yang mereka wariskan secara lisan. Ketika sanksi adat berupa pengusiran dari desa terhadap pasangan perkawinan sedarah di Luwu, sudah pasti warga setempat juga merujuknya ke suatu praktik yang pernah ada di masa lampau, entah itu pengusiran dari daerah, ditenggelamkan ke laut, atau mungkin juga dirajam sampai mati.

Kita membutuhkan hukum adat. Tetapi bagi saya, hukum adat semacam ini tetap tidak memadai. Alasan legalnya adalah setiap hukum adat seharusnya tidak bertabrakan atau tidak bertentangan dengan hukum tertulis yang berlaku di Indonesia. Mengikuti logika ini, pengusiran pasangan sedarah dari desa, meskipun dibenarkan secara adat, tidak bisa dijustifikasi secara legal-formal.

Alasan lainnya, hukum adat tidak memenuhi kriteria hukum yang menghormati martabat manusia. Benar bahwa perkawinan sedarah berpotensi mengobjekkan salah satu pasangan, dan umumnya perempuan menjadi korbannya. Tetapi itu tidak lantas menjustifikasi tindakan mengusir, membunuh atau menenggelamkan pasangan sedarah. Tindakan demikian hanya akan merusak dan merendahkan kemanusiaan kita.

Mari Menghormati Manusia sebagai Individu yang Bermartabat

Jadi, apa yang harus dilakukan? Seluruh elemen masyarakat harus menyelesaikannya secara baik, misalnya dengan dialog terbuka dan musyawarah. Saya membayangkan bahwa para tetua mengumpulkan para pihak, mendengar pengakuan para pelaku dan kemudian mengambil keputusan yang manusiawi. Pihak kepolisian silakan mengumpulkan data-data untuk melihat apakah ada ketentuan hukum yang dilanggar. Jika telah terjadi penipuan data dan perkawinan sudah terlanjur disahkan, hukuman yang paling tepat diberikan adalah membatalkan perkawinan dengan seluruh konsekuensinya.

Jika para tetua adat menginginkan hukuman adat diterapkan, para pihak yang berunding seharusnya mendalami tuntutan itu. Harus jelas, seperti apakah tuntutan adat itu? Mengapa masyarakat menginginkan hukuman semacam itu? Misalnya, masyarakat menghendaki agar pasangan sedarah itu diusir dari desa, mengapa mereka mengajukan tuntutan demikian?

Tampaknya masyarakat menganggap perbuatan pasangan sedarah itu menodai kesucian dan keutuhan masyarakat desa. Jika ini benar, pengusiran mereka menjadi semacam upaya membersihkan desa dari anasir-anasir yang tidak bermoral yang menurut keyakinan mereka justru dapat membahayakan kebersamaan hidup.

Jika hal terakhir ini benar, sebenarnya keinginan masyarakat itu bersifat mulia. Menurut saya, mewujudan keinginan masyarakat itu tidak mesti lewat pengusiran. Para pelaku dapat diminta secara baik untuk pergi dari desa (langkah ekstrem juga karena setiap orang memiliki hak asasi untuk menentukan di mana dia mau hidup/tinggal) atau berpindah untuk sementara ke daerah lain. 

Suku-suku tertentu bahkan memiliki ritual pemulihan dan pemurnian desa. Pasangan sedarah yang telah melakukan kesalahan itu dapat dikucilkan untuk sementara dari desa, hidup di luar desa beberapa saat, menyatakan pertobatan (termasuk juga misalnya tidak hidup lagi sebagai suami-istri), dan kembali ke desa lewat ritual penyucian tertentu.

Aspek lain yang tidak boleh dilupakan adalah penghormatan terhadap individu-individu lain yang terkait, dan dalam kasus Luwu adalah sang ibu dan empat anak yang masih kecil. Mereka adalah pribadi-pribadi yang tidak hanya belum mengenal apa itu aib dan apa itu perkawinan sedarah, tetapi juga apa itu hukum (dan hukum adat), apa itu norma moral, dan sebagainya. Tindakan pengusiran dari desa tanpa memberikan perlindungan yang memadai pada kelompok rentan seperti anak-anak dan orang lansia justru akan melukai dan merendahkan martabat mereka sebagai manusia.

Saya sendiri menyayangkan polisi sebagai penegak hukum dan aparatur negara yang hadir di lokasi dan tidak mampu (atau tidak mau) mencegah masyarakat dari tindakan pengusiran semacam itu. Sungguh mengenaskan!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun