Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pengusiran Pasangan Inses di Luwu Tidak Dibenarkan Secara Etis

30 Juli 2019   13:54 Diperbarui: 30 Juli 2019   19:35 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perkawinan sedarah. Sumber: kompas.com

Pasal 30 KUH Perdata menyatakan bahwa Perkawinan dilarang antara mereka yang satu sama lainnya mempunyai hubungan darah dalam garis ke atas maupun garis ke bawah, baik karena kelahiran yang sah maupun karena kelahiran yang tidak sah, atau karena perkawinan; dalam garis ke samping, antara kakak beradik laki perempuan, sah atau tidak sah.

Sementara itu, Pasal 39 butir (1) dari Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahawa perkawinan sedarah itu dilarang (1) Karena pertalian nasab: [a] dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya; [b] Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu; dam [c] dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.

Ketentuan hukum yang dirujuk ini jelas melarang perkawinan inses. Dengan begitu, praktik perkawinan inses harus ditolak demi hukum, dan sanksi paling berat adalah membatalkan sebuah perkawinan tersebut (jika sudah dilaksanakan secara hukum). Ditambahkan pula bahwa jika ASN mengetahui keadaan yang sebenarnya dan masih bersedia menikahkan pasangan sedarah di KUA, dia akan dikenai sanksi secara administratif. Baik pelaku perkawinan sedarah maupun yang mengesahkan pernikahan itu dikenai sanksi administratif dan BUKAN sanksi pidana.

Lain soal jika perkawinan sedarah itu dilakukan berdasarkan paksaan dan ada unsur penganiayaan atau kekerasan, sejauh penegak hukum dapat membuktikan dalil-dalilnya, pelaku dapat dikenakan sanksi pidana, pertama-tama bukan karena perkawinan sedarah itu sendiri, tetapi karena proses atau dampak yang menyertainya.

Dalam konteks itu, menurut saya, perkawinan inses baik di Luwu maupun di daerah-daerah lain di Indonesia harus ditolak. Keyakinan subjektif (ethical disgusting) dan landasan ilmiah yang kemudian mendapat penegasannya dalam berbagai ketentuan perundang-undangan di Republik ini pantas diapresiasi sebagai yang meluhurkan martabat manusia.

Saya mempersoalkan tindakan warga masyarakat (yang didukung aparat kepolisian dan aparat pemerintah setempat) yang mengusir pasangan sedarah dari kampung halaman mereka sendiri. Pertanyaannya: apakah dibenarkan mengusir mereka dari desa? Apakah tindakan itu juga dapat dibenarkan secara etis?

Hukum Adat Saja Tidak Memadai

Hukum adat telah dirujuk sebagai alasan yang mendasari pengusiran pasangan sedarah di Luwu. Pertanyaannya, hukum adat yang mana? Apa bunyi hukum adat tersebut? Tentu jawabannya adalah hukum adat setempat. Tetapi apakah warga bisa menyebutkan bunyi dari hukum adat itu?

Tampaknya warga akan sulit menyebut secara tepat atau persis apa bunyi hukum adat yang menjadi rujukan tersebut. Mengacu kepada praktik hukum adat dalam memberi sanksi perkawinan sedarah di di Bulukumba, tetua adat mengatakan demikian, "Dulu orang seperti ini dihukum dengan cara diladung (diikat dan ditenggelamkan ke laut)." Jadi, sekarang warga pun berharap agar pasangan sedarah harus diladung (diikatkan dan ditenggelamkan ke laut). 

Di sini, warga Bulukumba mengacu ke praktik tertentu di masa lampau yang mereka wariskan secara lisan. Ketika sanksi adat berupa pengusiran dari desa terhadap pasangan perkawinan sedarah di Luwu, sudah pasti warga setempat juga merujuknya ke suatu praktik yang pernah ada di masa lampau, entah itu pengusiran dari daerah, ditenggelamkan ke laut, atau mungkin juga dirajam sampai mati.

Kita membutuhkan hukum adat. Tetapi bagi saya, hukum adat semacam ini tetap tidak memadai. Alasan legalnya adalah setiap hukum adat seharusnya tidak bertabrakan atau tidak bertentangan dengan hukum tertulis yang berlaku di Indonesia. Mengikuti logika ini, pengusiran pasangan sedarah dari desa, meskipun dibenarkan secara adat, tidak bisa dijustifikasi secara legal-formal.

Alasan lainnya, hukum adat tidak memenuhi kriteria hukum yang menghormati martabat manusia. Benar bahwa perkawinan sedarah berpotensi mengobjekkan salah satu pasangan, dan umumnya perempuan menjadi korbannya. Tetapi itu tidak lantas menjustifikasi tindakan mengusir, membunuh atau menenggelamkan pasangan sedarah. Tindakan demikian hanya akan merusak dan merendahkan kemanusiaan kita.

Mari Menghormati Manusia sebagai Individu yang Bermartabat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun