Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pengusiran Pasangan Inses di Luwu Tidak Dibenarkan Secara Etis

30 Juli 2019   13:54 Diperbarui: 30 Juli 2019   19:35 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perkawinan sedarah. Sumber: kompas.com

Jadi, apa yang harus dilakukan? Seluruh elemen masyarakat harus menyelesaikannya secara baik, misalnya dengan dialog terbuka dan musyawarah. Saya membayangkan bahwa para tetua mengumpulkan para pihak, mendengar pengakuan para pelaku dan kemudian mengambil keputusan yang manusiawi. Pihak kepolisian silakan mengumpulkan data-data untuk melihat apakah ada ketentuan hukum yang dilanggar. Jika telah terjadi penipuan data dan perkawinan sudah terlanjur disahkan, hukuman yang paling tepat diberikan adalah membatalkan perkawinan dengan seluruh konsekuensinya.

Jika para tetua adat menginginkan hukuman adat diterapkan, para pihak yang berunding seharusnya mendalami tuntutan itu. Harus jelas, seperti apakah tuntutan adat itu? Mengapa masyarakat menginginkan hukuman semacam itu? Misalnya, masyarakat menghendaki agar pasangan sedarah itu diusir dari desa, mengapa mereka mengajukan tuntutan demikian?

Tampaknya masyarakat menganggap perbuatan pasangan sedarah itu menodai kesucian dan keutuhan masyarakat desa. Jika ini benar, pengusiran mereka menjadi semacam upaya membersihkan desa dari anasir-anasir yang tidak bermoral yang menurut keyakinan mereka justru dapat membahayakan kebersamaan hidup.

Jika hal terakhir ini benar, sebenarnya keinginan masyarakat itu bersifat mulia. Menurut saya, mewujudan keinginan masyarakat itu tidak mesti lewat pengusiran. Para pelaku dapat diminta secara baik untuk pergi dari desa (langkah ekstrem juga karena setiap orang memiliki hak asasi untuk menentukan di mana dia mau hidup/tinggal) atau berpindah untuk sementara ke daerah lain. 

Suku-suku tertentu bahkan memiliki ritual pemulihan dan pemurnian desa. Pasangan sedarah yang telah melakukan kesalahan itu dapat dikucilkan untuk sementara dari desa, hidup di luar desa beberapa saat, menyatakan pertobatan (termasuk juga misalnya tidak hidup lagi sebagai suami-istri), dan kembali ke desa lewat ritual penyucian tertentu.

Aspek lain yang tidak boleh dilupakan adalah penghormatan terhadap individu-individu lain yang terkait, dan dalam kasus Luwu adalah sang ibu dan empat anak yang masih kecil. Mereka adalah pribadi-pribadi yang tidak hanya belum mengenal apa itu aib dan apa itu perkawinan sedarah, tetapi juga apa itu hukum (dan hukum adat), apa itu norma moral, dan sebagainya. Tindakan pengusiran dari desa tanpa memberikan perlindungan yang memadai pada kelompok rentan seperti anak-anak dan orang lansia justru akan melukai dan merendahkan martabat mereka sebagai manusia.

Saya sendiri menyayangkan polisi sebagai penegak hukum dan aparatur negara yang hadir di lokasi dan tidak mampu (atau tidak mau) mencegah masyarakat dari tindakan pengusiran semacam itu. Sungguh mengenaskan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun