Mengikuti konstruksi narasi soal pemimpin "yang baik" dan menghubungkannya dengan tokoh tertentu membuat kita jatuh dalam apa yang diistilahkan G.E. Moore (1873-1958) sebagai "kesesatan naturalistik" (naturalistic fallacy). Bagi Moore, mendefinisikan sesuatu sebagai "baik" berdasarkan amatan terhadap bagian-bagiannya yang dianggap sebagai milik alamiah (natural properties) dari yang didefinisikan sama sekali tidak menjelaskan apa/siapa yang didefinisikan (Terence Irwin, 2009: 625-630).
 Baik untuk diingat, bahwa kesesatan jenis ini terutama terjadi ketika kita menguraikan sifat-sifat baik tertentu (pekerja keras, sederhana, jujur, bersih, intelek, penuh gagasan, dan semacamnya) kemudian menyimpulkannya sebagai "sifat yang dimiliki seseorang".Â
Alih-alih menerima atau mengafirmasi konstruksi narasi perihal "orang baik" atau "sosok pemimpin yang baik" dan mempersonifikasikannya, kita seharusya bertanya tentang "baik" (good) dan "yang baik" (the good). Seluruh karakter baik yang kita deskripsikan itu, dalam pemikiran Moore, adalah "yang baik".Â
Demikian pula halnya dengan "kesejahteraan umum", "keadilan sosial", "kebaikan bersama" serta cita-cita bersama lainnya sebagai. Sementara "baik" tetap merupakan sifat yang tidak bisa didefinisikan. Pembedaan semacam ini mencegah kita mempersonifikasi seorang tokoh sebagai "yang baik", apalagi "baik", mengingat hal terakhir tidak pernah bisa diurai atau didefinisikan.
Gagasan filosofis yang sekilas rumit ini sebenarnya membantu kita bersikap realistis terhadap bangun narasi politik mengenai "orang baik" atau "pemimpin yang baik".Â
Pertama, mengatakan bahwa "yang baik" bukan merupakan pendefinisi "baik" akan menyehatkan proses politik kita dari dua aras. Di satu pihak, sikap intelek semacam ini mampu membendung agresivitas konstruksi narasi politik yang bombastis, yang mencari-cari watak baik sebanyak mungkin untuk kemudian diklaim sebagai sifat tokoh tertentu.Â
Di aras yang lain, sifat-sifat baik lainnya yang diproduksi ayat-ayat suci agama untuk ditempelkan pada calon pemimpin tertentu juga tidak lebih dari klaim tak-berdasar.
Kedua, meminjam cara berpikir Moore, meskipun sifat atau watak "yang baik" tidak pernah boleh dipersonifikasi sebagai sifat seseorang, itu tidak berarti bahwa "baik" tidak bisa dijelaskan.Â
Di sini lagi-lagi G.E. Moore membantu menyehatkan wacana politik kita. "Baik" harusnya merupakan identitas seseorang yang sudah jelas dengan sendirinya.
 Jadi, mengatakan bahwa seorang (calon) pemimpin itu "baik" hanya akan menjadi suatu kebenaran jika "baik" telah menjadi jati diri atau identitas orang tersebut.