"Baik" sebagai identitas memang tidak bisa didefinisikan, diuraikan, atau dibagi-bagi ke dalam bagiannya. Tetapi "baik" dapat dialami secara intuitif. Sebagai pengalaman intuitif, baik dialami sebagai sifat atau watak seseorang bukan berdasarkan gambaran diri atau klaim orang lain, tetapi berdasarkan perjumpaan dan momen kebersamaan dengan orang baik itu (Franz Magnis-Suseno, 2000: 19-23).
"Slogan tentang orang baik yang harus turun tangan atau yang harus berkuasa dan semacamnya membuat publik mengidealkan sosok pemimpin yang baik."
Ketiga, konsekuensinya, ketika berhadapan dengan konstruksi narasi pemimpin yang baik atau pentingnya memilih orang baik, kita sebenarnya dihadapkan pada dua pilihan yang saling meniadakan.Â
Di satu pihak, ada kemungkinan kita berhadapan dengan para pembual yang ingin meyakinkan kita, bahwa calon pemimpin yang mereka usung itu baik, padahal sebaliknya. Di lain pihak, kita berhadapan dengan kelompok orang atau tokoh individual yang sedang mengisahkan dirinya sebagai "baik", sebuah konstruksi narasi yang berangkat dari ekspresi jati diri yang jujur.
Di tengah gegap-gempita konstruksi narasi "orang baik" inilah kita berhadapan dengan situasi sulit dan membingungkan. Sebagian masyarakat menerima konstruksi narasi politik para pembual sebagai suatu kebenaran karena ketidakmampuan membedakan "baik" sebagai sekadar narasi dan "baik" sebagai ekspresi jati diri.Â
Sebagiannya lagi, kalau pun yakin akan hadirnya sosok tertentu sebagai orang baik, sering ekspresi kejujuran sebagai jati diri hilang tak-berbekas dalam puting-beliung kampanye media sosial yang tidak membedakan antara manakah realitas khayalan dan manakah jati diri sesungguhnya.
 Pada aras inilah kualitas demokrasi dan kesehatan berpolitik kita sedang dipertaruhkan.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H