Hal terakhir, memang tidak terlalu jelas, tetapi jika pemikiran Einstein ini dipahami dalam konteks pengakuan bahwa tujuan tertinggi hidup manusia adalah mencapai hidup bermakna, maka mengatakan orang lain sebagai yang memiliki hidup tidak bermaka sama saja dengan mendakwah dia sebagai yang hidupnya tidak cocok dengan proyek besar yang hendak direalisasikan manusia itu.
Meskipun demikian, penegasannya yang sangat terkenal, bahwa "ilmu pengetahuan tanpa agama itu pincang, dan agama tanpa ilmu pengetahuan itu buta" (Essay on Science and Religion, 1954) itu dapat memberi kita gambaran, bahwa kalau pun Einstein bukan seorang beragama, dia memiliki keyakinan pada suatu Realitas Mutlak, pada suatu keabadian, pada suatu kekekalan, pada hal-hal yang tidak sanggup dijelaskan ilmu pengetahuan.
Dua Pesan
Kita berhenti saja dahulu pada pemikiran sederhana Einstein itu, bahwa hidup bermakna memang dapat dipahami dengan dua kondisi. Pertama, elemen religious dibutuhkan untuk memahami dan memberi jawab pada pertanyaan hidup bermakna. Kedua, karena setiap individua da di perjalanan untuk merealisasikan hidupnya yang bermakna, kita seharusnya menahan diri untuk mendakwah orang lain sebagai yang tidak memiliki hidup bermakna.
Kita bisa menarik dua pesan kuat dari pemikiran semacam ini. Pertama, elemen religious tidak harus diartikan sebagai agama dalam arti formal-institusional.Â
Memang tidak dapat ditunjukkan secara jelas apakah Einstein seorang beragama atau tidak. Tetapi beberapa pemikir tampak sepakat, bahwa Einstein percaya pada eksistensi Tuhan secara panteistik. Konon, keyakinan dia mengenai eksistensi Allah secara panteistik itu dipengaruhi oleh Baruch Spinoza, seorang filsuf Yahudi.
Panteisme mengajarkan bahwa Allah eksis atau ada, tetapi keberadaannya bersifat abstrak. Allah menciptakan langit dan bumi beserta isinya kemudian meleburkan dirinya di dalam ciptaan dan ciptaan di dalam Tuhan, konsepsi yang mirip keyakinan kebatinan masyarakat Jawa dalam Manunggaling Kawula Gusti atau dalam keyakinan kebanyakan agama Timur sebagai bersatunya makrokosmos (alam semesta) dalam mikrokosmos (Tuhan).
Penegasan ini menggarisbawahi satu pesan yang sangat jelas. Jika segala sesuatu memancarkan eksistensi Allah, dan bahwa Allah ada dalam seluruh detak peradaban dan kisah manusia, bagaimana mungkin kita berani mengatakan bahwa orang lain tidak percaya pada Tuhan, kafir, akan dilaknat Allah dan semacamnya?Â
Dalam arti itu, keyakinan panteistik mengenai Allah memampukan kita untuk mengagumi eksistensi yang lain -- bahkan juga alam semesta -- sebagai dhat yang memancarkan kehadiran Allah, dan bahwa merusak, menghancurkan, membahayakan, dan melukai yang lain (manusia, hewan, tumbuhan, makhluk non hayati) adalah melukai Allah sendiri.
 Kedua, hidup bermakna itu hanya dapat ditemukan jawabannya jika orang (individu) adalah orang religious. Itu artinya ajaran dan narasi keagamaan mengafirmasi pertanyaan kita soal apa itu hidup bermakna.Â
Tampaknya penemuan makna hidup dalam agama tidak harus dipahami dalam konteks "memiliki agama" (having religion) atau menjadi penganut agama tertentu. Pandangan Einstein tentang Allah yang eksis secara panteistik justru membuka kesadaran dan nurani kita untuk senantiasa menyadari Allah sebagai yang tak henti-hentinya hadir dalam setiap etape hidup manusia.