Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

"Wangi Jengkol dari Rimba Terakhir", Judul Pemicu Imajinasi

24 Januari 2019   12:10 Diperbarui: 29 Januari 2019   19:12 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang warga Dayak Tomun dalam sebuah ilustrasi berita yang juga ditulis oleh Reynaldo Dionisius Triwibowo. Sumber: https://kompas.id/baca/utama/2018/08/23/dayak-tomun-kalimantan-rasa-minang/

Bagi saya, judul sebuah berita tidak hanya memicu saya membaca berita tersebut, tetapi juga membangkitkan imajinasi, cara berpikir tertentu, dan sebagainya. Ini juga yang terjadi ketika saya membaca judul sebuah features yang ditulis Dionisius Reynaldo Triwibowo (DRT) yang diberi judul "Wangi Jengkol dari Rimba Terakhir".

Ketika membaca judul ini, pikiran saya tidak tertuju pada dua suku kata pertama, yakni "wangi jengkol". Kedua kata ini tidak cukup kuat membangkitkan imajinasi, mungkin karena makna denotatif yang dikandung keduanya. 

Ya, "jengkol" itu memang wangi, meskipun untuk sebagian orang, dia mengandung bau yang kurang enak (bahkan juga menghasilkan bau ketika orang yang mengkonsumsi jengkol membuang air kecil).

Dua kata terakhirlah yang memicu imajinasi saya: "Rimba Terakhir". Rimba, ya sebuah hutan belantara, kawasan maha luas penuh dengan berbagai jenis pohon, beraneka tanaman lainnya, hewan liar, aliran sungai. 

Juga tanah yang lembab, bebatuan, batang-batang pohon yang selalu basah, lumut yang membuat jalanan menjadi licin, bunyi burung, rintihan atau lolongan binatang buas, dan sebagainya. 

Lalu kenapa "terakhir"? Apakah rimba itu akan segera beralih fungsi? Apakah rimba itu akan segera hancur atau dikonversi? Apakah rimba itu menjadi tempat pertaruhan nyawa terakhir kalinya oleh seseorang atau sekelompok orang? Mungkin rimba itu ada di Kalimantan, Sumatera, Papua, di Sulawesi, atau di pulau-pulau besar lainnya.

Imajinasi

Sebagai catatan pinggir, imajinasi adalah kemampuan menghasilkan atau memroduksi gambar, citra (images), gagasan dan sensasi dalam pikiran. Gambar atau citra ini dihasilkan pikiran tanpa input atau perantaraan penginderaan langsung, terutama melihat atau mendengar. 

Proses ini mungkin saja mampu dibangun subjek dalam pikirannya karena pengalamannya berelasi atau berada dalam sebuah momen, suatu kisah atau kejadian kuat dan berkesan di masa lampau, dan sebagainya. 

Imajinasi juga membangkitkan fantasi tertentu, entah menyenangkan, menakutkan, penuh ketegangan dan horror, dan sebagainya. 

Yang jelas, imajinasi dapat membantu seseorang dalam memecahkan masalah, mencari jalan keluar atas kemelut yang sedang dihadapi, dan sebagainya.

Itulah yang terjadi ketika saya membangun gambaran atau pencitraan mengenai "rimba" ketika membaca judul berita tersebut. Dengan imajinasi semacam inilah saya kemudian menelusuri baris-demi baris berita tersebut di halaman pertama Kompas.id sebelum melanjutkannya mengklik ke halaman 11 (Kompas.id, edisi e-paper, 24 Januari 2019).

Imajinasi ini, bagi saya, tidak boleh berhenti pada imajinasi -- seperti halnya anak-anak mendengar kisah dalam sebuah kegiatan story telling. 

Bermodalkan imajinasi dalam artian kemampuan menciptakan gambaran-gambaran konkret seperti bebatuan, rimbunan pohon, binatang buas, sungai, dan sebagainya, saya menyusuri kalimat-demi kalimat dari berita itu.

Dengan gaya tutur yang cukup prima, DRT cukup berhasil membawa saya bertualang ke Desa Kubung, Kecamatan Delang di kawasan hutan adat Dayak Tomun di Kalimantan Tengah.

Sang Wartawan tidak hanya mengisahkan kegiatan memanen jengkol di hutan adat, perjuangan mereka memanjat setiap pohon, mengisinya di karung, mengangkutnya ke rumah, mengolahnya, dan kemudian menjualnya ke pengemul, tetapi juga menonjolkan nilai-nilai sosial yang dijunjung tinggi. 

Ada rasa kepemilikan bersama atas hutan yang mendorong komitmen untuk ikut mengelola hutan dan menjadikan hutan sebagai sumber rezeki bagi seluruh warga desa.

Potongan berita berjudul "Wangi Jengkol dari Rimba Terakhir"
Potongan berita berjudul "Wangi Jengkol dari Rimba Terakhir"
Rimba Terakhir?

Lalu, apa hubungannya dengan "rimba terakhir"? Jangan terkecoh. Berita ini sebenarnya tidak mengabarkan soal kawasan hutan terakhir yang masih ada sebelum dirusak (menjadi rusak), hilang, atau terkonversikan menjadi kawasan perkebunan kelapa sawit. 

Berita ini justru menegaskan sebuah pesan moral yang kuat, yakni soal komitmen warga untuk mempertahankan kawasan hutan rimba dari agresivitas konglomerasi dalam mengkonversinya menjadi perkebunan kelapa sawit.

Berita ini juga memperlihatkan dampak positif upaya mempertahankan hutan rimba ini ke desa-desa lain dan mendorong mereka untuk juga melakukan hal yang sama.

Lalu, apa masalahnya? Saya keberatan dengan penggunaan kata "terakhir" dalam judul berita ini. Kata "terakhir" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi online diartikan sebagai "paling akhir, paling ujung, paling belakang, berada di belakang sekali". 

Dalam arti itu, penggunaan kata "terakhir" dalam judul berita ini tidaklah tepat. Kawasan hutan di Desa Kubung di Kalimantan Tengah itu bukanlah kawasan rimba terakhir dalam arti seperti itu.

Menurut saya, kata "terakhir" dalam judul itu lebih tepat diganti dengan kata "tersisa", jadi judulnya menjadi "Wangi Jengkol dari Rimba yang Tersisa". Kata "tersisa" tidak menunjukkan urutan seperti halnya kata "terakhir". 

Kata "tersisa" juga menimbulkan pilihan atau "dipertahankan alias tidak dibung" atau "dibuang" ("terbuang"). Tetapi kata tersisa juga menimbulkan sensasi imajinasi yang semakin mendalam. 

Bandingkan penggunaan kata "tersisa" dalam kalimat-kalimat berikut. "Roti Kami yang Tersisa", "Rumah Warga yang Tersisa", "Kehidupan Nelayan yang Tersisa Seusai Dihantam Gelombang", dan sebagainya.

Terlepas dari catatan teramat sederhana ini, saya senang dengan tulisan saudara DRT, seperti halnya saya menyukai tulisan-tulisan reportase wartawan Kompas lainnya semisal Frans Pati Herin untuk imajinasi daerah, pendidikan daerah tertinggal, buruknya infrastruktur, kemiskinan orang kampung, dan sebagainya atau imajinasi gerak tubuh, strategi, kelicikan, persahabatan, dan sebagainya dalam reportase dan kajian olahraga oleh Anton Sanjoyo, dan tulisan-tulisan lainnya.

Harian Kompas memang selalu OK!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun