Tampaknya kegiatan berswafoto tidak bisa bebas sama sekali dari label paradoks. Pernyataan ini dapat dirumuskan demikian: di satu pihak, kegiatan berswafoto -- berdasarkan pengakuan para pelakunya -- merupakan kegiatan yang sangat positif.
Ini adalah ekspresi dari pribadi-pribadi yang memiliki gambaran yang positif mengenai dirinya. Tetapi di lain pihak, reaksi nyinyir, negatif, dan merendahkan terhadap aktivitas ini tidak bisa dihindari.
Penelitian yang dilakukan oleh Sarah Diefenbach dan Lara Christoforakos tahun 2017 yang kemudian diterbitkan di Jurnal Frontiers in Psychology (Diefenbach, Sarah, and Lara Christoforakos. "The selfie paradox: Nobody seems to like them yet everyone has reasons to take them. An exploration of psychological functions of selfies in self-presentation." Frontiers in psychology 8 (2017): 7) memperlihatkan paradoks atau apa yang mereka sebut sebagai double-edged phenomenon alias fenomena pisau bermata dua. Total 238 populasi yang diteliti perihal kegiatan mereka dalam berswafoto, didapatkan dua gambaran ini.
Pertama, responden menunjukkan alasan sangat positif mengapa mereka melakukan kegiatan swafoto. Kegiatan itu mereka pahami sebagai upaya mempromosikan atau memperkenalkan diri (mempromosikan kekuatan, ketangkasan, kemampuan, keunggulan fisik, dan sebagainya) dan kegiatan penyingkapan diri (self-disclosure). Dan ini dapat dengan mudah kita jumpai dalam aktivitas berswafoto di media sosial.
Sangat sering kita menemukan aktivitas ini sebagai cara seseorang mengungkapkan ketangkasan, keunggulan, kehebatan, kemampuan, dan sebagainya. Dan itu melingkupi berbagai aktivitas, mulai dari menjadi ramping setelah diet, keberhasilan memenangi kompetisi tertentu, keterampilan dalam memasak, mengajar dan mempresentasikan makalah, sampai kehebatan dalam menaklukkan hati lawan jenis.
Sementara itu, kita juga mendapatkan dengan mudah jutaan aktivitas swafoto yang merupakan ekspresi atau penyingkapan diri, dalam konteks penelitian Sarah Diefenbach dan Lara Christoforakos, adalah aktivitas swafoto yang menunjukkan pelaku sebagai pribadi yang memiliki simpati, mudah tergerak hatinya, orang yang ringan tangan dalam menolong sesame yang menderita, dan sebagainya. Berbagai kegiatan sosial dan keagamaan tampaknya juga bisa dimasukkan ke dalam kategori ini.
Kedua, suka atau tidak, kegiatan swafoto juga menimbulkan reaksi negatif. Penelitian yang sama juga memperlihatkan bahwa ada potensi negatif dari aktivitas berswafoto yang justru dapat mengancam dan merusak gambaran diri (self-esteem) bahkan ilusi yang negatif mengenai dunia dan orang lain.
Menurut Psikologi Perkembangan, orang dengan gambaran diri yang positif akan memiliki self-esteem yang tinggi, dan sebaliknya, orang dengan gambaran diri yang negatif akan memiliki self-esteem yang rendah.
Meskipun demikian, gambaran diri yang positif dapat terancam dan berpotensi menjadi buruk ketika berhadapan dengan gambaran orang lain yang negatif terhadap dirinya. Di situlah terjadi apa yang disebut sebagai diskrepansi gambaran diri, dalam arti ada celah atau jurang antara gambaran diri subjektif dengan gambaran diri menurut orang lain.
Di sinilah pertanyaan kedua dapat dikomentari. Saya cukup intens berdiskusi dan curhatan dengan sahabat saya yang status facebooknya saya sebutkan di atas. Berdasarkan kedekatan inilah saya berani mengatakan bahwa Rere sahabatku itu memiliki gambaran diri yang positif dan bisa jadi juga memiliki self-esteem yang tinggi.Â
Bahwa diri memiliki beberapa traits yang menggambarkan orang dengan self-esteem yang tinggi semisal memiliki keyakinan yang teguh pada nilai dan prinsip hidup tertentu, mampu bersikap dan bertindak sesuai dengan nilai dan prinsip yang diyakininya, percaya penuh pada kapasitas diri dalam memecahkan masalah, melihat dirinya sebagai pribadi yang bermartabat, mengerti dengan baik mengapa dirinya menarik dan berharga, dan sebagainya.