Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

"Selfie" dan Logika Narsis Kita

18 Desember 2018   13:10 Diperbarui: 18 Desember 2018   19:14 960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang sahabat karib yang juga adalah seorang pengajar dan praktisi media di sebuah perguruan tinggi swasta di Flores Tengah. Seperti kebanyakan orang yang menyukasi kegiatan swafoto dan aktif berdiskusi di media sosial, Rini Kartini atau yang lebih akrab disapa para sahabat dengan nama kecil Rere ini, memposting sebuah status yang kemudian dikomentari oleh lebih dari seratus orang.

Dalam sebuah status dan pajangan fotonya yang cantik yang diunggah pada Senin, 17 Desember 2018, pagi-pagi sekali (pukul 06:15), Rere dalam balutan kebaya berwarna keemasan dan bawahan batik, berdiri di depan sebuah kursi plastik dengan latar belakang hiasan kembang dan bingkai foto.

Foto kiri: Rini Kartini berswafoto bersama rekan-rekannya (sumber: dokpri, digunakan atas izin RIni). Foto Kanan: Kim Kadarshian ketika berswafoto dengan Hilarry Clonton (Sumber: https://www.dailymail.co.uk)
Foto kiri: Rini Kartini berswafoto bersama rekan-rekannya (sumber: dokpri, digunakan atas izin RIni). Foto Kanan: Kim Kadarshian ketika berswafoto dengan Hilarry Clonton (Sumber: https://www.dailymail.co.uk)
Sebuah kalimat pendek dituliskan Rere: "Give me,  caption.." this pic said... . Ungkapan ini dalam bahasa gaul dirumuskan demikian, "Hey guys, kasi keterangan buat foto gue dong!"

Ungkapan semacam ini bukanlah hal baru dalam dunia media sosial. Bahkan tanpa ungkapan itu pun para pengikut Rere tidak hanya mafum, bahwa itu sebuah foto ekspresi diri, tetapi juga pantas ditanggapi dalam bahasa, ekspresi, atau emosi tertentu. Kegiatan semacam itu lazim dilakukan, tidak hanya oleh Rere, tetapi juga oleh jutaan orang di dunia yang aktif di dunia maya.

Catatan google tahun 2016 menyebutkan bahwa ada lebih dari 24 milyar swafoto yang diunggah di server google sampai bulan Juni 2016). Menariknya, dengan bantuan aplikasi image google, didapatkan bahwa ada lebih dari 200 juta swafoto alias self-portrait yang diunggah setiap bulannya.

Data mencengangkan juga kita bisa baca dari berbagai informasi yang tersedia online. America Online (AOL) menyitir data yang dirilis Rawhide, sebuah organisasi nirlaba, yang menunjukkan bahwa 74 persen dari swafoto yang diupload ke media sosial Snapchat adalah foto diri sendiri.

Juga kenyataan bahwa adalah lebih dari seribu swafoto yang diunggah setiap detik ke Instragram. Bahkan di tahun 2015, di Amerika Serikat, jumlah orang yang meninggal dunia sambil berswafoto ternyata lebih banyak dari mereka yang diserang ikan hiu.

Beragam Reaksi
Ada banyak sekali penelitian mengenai swafoto dengan tilikan dari beragam ilmu pengetahuan dan pendekatan. Ada penelitian yang fokus pada dampak negatif swafoto, pada tipe kepribadian orang yang menyenangi aktivitas swafoto, pada dampak negatif dari perilaku narsis berlebihan, pada potensi bunuh diri, dan sebagainya.

Tetapi juga ada banyak penelitian yang melihat swafoto sebagai suatu kegiatan yang sangat positif dan menyenangkan, kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki gambaran diri yang sangat positif. Karena tulisan ini dipicu oleh reaksi saya terhadap status facebook sahabat saya, Rere, saya melihatnya sebagai suatu kegiatan yang sangat positif.

Di aras inilah saya ingin menjawab pertanyaan ini: apa daya dorong internal yang membuat seseorang mau melakukan aktivitas swafoto? Jika itu sebuah aktivitas yang positif yang berasal dari gambaran diri yang sangat positif, seperti apakah gambaran diri orang-orang yang suka melakukan aktivitas semacam ini? Bagaimana kegiatan ini dapat dimaknakan secara filosofis (dimaknakan secara mendalam untuk menemukan substansi/esensinya)?

Pertanyaan pertama dapat dijawab dengan membaca secara sekilas berbagai penelitian mengenai aktivitas swafoto. Jawaban terhadap pertanyaan kedua harus dikembalikan ke pelaku kegiatan swafoto, dan itu yang saya lakukan dalam perbincangan saya dengan Rere. Sementara kajian filosofis dapat dilakukan dengan merujuknya ke pemikiran dan tradisi filosofis tertentu dan kemudian menafsirkannya secara kreatif.

Rini Kartini dan jutaan orang lainnya di dunia berswafoto dan menguploadnya ke media sosial setiap hari (Sumber: dokpri, digunakan seizin Rini)
Rini Kartini dan jutaan orang lainnya di dunia berswafoto dan menguploadnya ke media sosial setiap hari (Sumber: dokpri, digunakan seizin Rini)
Paradoks
Tampaknya kegiatan berswafoto tidak bisa bebas sama sekali dari label paradoks. Pernyataan ini dapat dirumuskan demikian: di satu pihak, kegiatan berswafoto -- berdasarkan pengakuan para pelakunya -- merupakan kegiatan yang sangat positif.

Ini adalah ekspresi dari pribadi-pribadi yang memiliki gambaran yang positif mengenai dirinya. Tetapi di lain pihak, reaksi nyinyir, negatif, dan merendahkan terhadap aktivitas ini tidak bisa dihindari.

Penelitian yang dilakukan oleh Sarah Diefenbach dan Lara Christoforakos tahun 2017 yang kemudian diterbitkan di Jurnal Frontiers in Psychology (Diefenbach, Sarah, and Lara Christoforakos. "The selfie paradox: Nobody seems to like them yet everyone has reasons to take them. An exploration of psychological functions of selfies in self-presentation." Frontiers in psychology 8 (2017): 7) memperlihatkan paradoks atau apa yang mereka sebut sebagai double-edged phenomenon alias fenomena pisau bermata dua. Total 238 populasi yang diteliti perihal kegiatan mereka dalam berswafoto, didapatkan dua gambaran ini.

Pertama, responden menunjukkan alasan sangat positif mengapa mereka melakukan kegiatan swafoto. Kegiatan itu mereka pahami sebagai upaya mempromosikan atau memperkenalkan diri (mempromosikan kekuatan, ketangkasan, kemampuan, keunggulan fisik, dan sebagainya) dan kegiatan penyingkapan diri (self-disclosure). Dan ini dapat dengan mudah kita jumpai dalam aktivitas berswafoto di media sosial.

Sangat sering kita menemukan aktivitas ini sebagai cara seseorang mengungkapkan ketangkasan, keunggulan, kehebatan, kemampuan, dan sebagainya. Dan itu melingkupi berbagai aktivitas, mulai dari menjadi ramping setelah diet, keberhasilan memenangi kompetisi tertentu, keterampilan dalam memasak, mengajar dan mempresentasikan makalah, sampai kehebatan dalam menaklukkan hati lawan jenis.

Sementara itu, kita juga mendapatkan dengan mudah jutaan aktivitas swafoto yang merupakan ekspresi atau penyingkapan diri, dalam konteks penelitian Sarah Diefenbach dan Lara Christoforakos, adalah aktivitas swafoto yang menunjukkan pelaku sebagai pribadi yang memiliki simpati, mudah tergerak hatinya, orang yang ringan tangan dalam menolong sesame yang menderita, dan sebagainya. Berbagai kegiatan sosial dan keagamaan tampaknya juga bisa dimasukkan ke dalam kategori ini.

Kedua, suka atau tidak, kegiatan swafoto juga menimbulkan reaksi negatif. Penelitian yang sama juga memperlihatkan bahwa ada potensi negatif dari aktivitas berswafoto yang justru dapat mengancam dan merusak gambaran diri (self-esteem) bahkan ilusi yang negatif mengenai dunia dan orang lain.

Menurut Psikologi Perkembangan, orang dengan gambaran diri yang positif akan memiliki self-esteem yang tinggi, dan sebaliknya, orang dengan gambaran diri yang negatif akan memiliki self-esteem yang rendah.

Meskipun demikian, gambaran diri yang positif dapat terancam dan berpotensi menjadi buruk ketika berhadapan dengan gambaran orang lain yang negatif terhadap dirinya. Di situlah terjadi apa yang disebut sebagai diskrepansi gambaran diri, dalam arti ada celah atau jurang antara gambaran diri subjektif dengan gambaran diri menurut orang lain.

Di sinilah pertanyaan kedua dapat dikomentari. Saya cukup intens berdiskusi dan curhatan dengan sahabat saya yang status facebooknya saya sebutkan di atas. Berdasarkan kedekatan inilah saya berani mengatakan bahwa Rere sahabatku itu memiliki gambaran diri yang positif dan bisa jadi juga memiliki self-esteem yang tinggi. 

Bahwa diri memiliki beberapa traits yang menggambarkan orang dengan self-esteem yang tinggi semisal memiliki keyakinan yang teguh pada nilai dan prinsip hidup tertentu, mampu bersikap dan bertindak sesuai dengan nilai dan prinsip yang diyakininya, percaya penuh pada kapasitas diri dalam memecahkan masalah, melihat dirinya sebagai pribadi yang bermartabat, mengerti dengan baik mengapa dirinya menarik dan berharga, dan sebagainya.

Meskipun demikian, diskusi dan perjumpaan lebih lanjut dengan Rere dan orang-orang sejenis yang menyukai kegiatan swafoto akan lebih meyakinkan kita untuk menarik kesimpulan semacam itu.

Lalu, bagaimana dengan refleksi filosofis sebagai jawaban terhadap pertanyaan ketiga yang saya ajukan di atas? Dengan refleksi filosofis, saya tidak memaksudkannya sebagai sebuah kajian sangat metafisikal dan abstrak mengenai aktivitas swafoto.

Hal yang bisa saya lakukan adalah mencoba merujuknya ke tradisi pemikiran tertentu dan kemudian menafsirkannya secara kreatif supaya bisa memberikan sedikit penerangan (sheds lights) bagi tema yang sedang didiskusikan. Kajian filosofis kemudian tidak boleh diukur berdasarkan kebenaran saintifik, tetapi berdasarkan seberapa meyakinkah argumen yang saya gunakan di sini.

Swafoto dalam Bingkai Narsisme

Adalah Bertrand Russell yang pada tahun 1930 menerbitkan sebuah buku berjudul The Conquest of Happiness. Berbeda dari banyak buku Russell yang sangat filosofis (juga matematika dan logika), buku yang satu ini berisi semacam petunjuk untuk menjadi bahagia. Salah satu tema yang didiskusikan dalam buku ini adalah "apa yang membuat orang merasa tidak berbahagia?"

Untuk menjawab pertanyaan ini, Russell membedakan kegiatan yang sifatnya narsistik dari kegiatan yang merupakan ekspresi megalomania. Suatu kegiatan disebut aktivitas yang sifatnya megalomania jika kegiatan itu dilakukan oleh orang dengan kesehatan kejiwaan yang buruk, yang merasa dirinya memiliki kekuasaan tak-terbatas, dan yang mendesak orang lain untuk memiliki keyakinan dan pengakuan atas watak-watak yang dibayangkannya itu.

Sementara bagi Russell, orang yang narsis adalah pribadi yang tidak menuntut pengakuan akan kemahakuasaannya dan pribadi yang ditakuti. Seorang narsis adalah pribadi yang menarik (charming) dan dicintai (loved).

Bertrand Russell kemudian menawarkan 4 cara memahami narsisisme, dan itu dapat kita simak dari keempat maksim yang dia rumuskan berikut. (Sekadar catatan, maksim dalam khasana filsafat dimengerti sebagai kebenaran umum, suatu prinsip fundamental, atau atural tindakan tertentu yang diacu. Jelas di sini adalah cara berpikir deduktif dengan kebenaran koherensi yang sangat dijunjung tinggi).

  • Ingatlah bahwa berbagai motif [tindakan] Anda tidak selamanya bersifat altruistik. Ada hal tertentu yang tampaknya bersifat self-interest.
  • Jangan terlalu menakar berlebihan keunggulan dan harga dirimu.
  • Jangan terlalu mengharapkan orang lain menaruh perhatian pada dirimu dalam porsi yang sama besar seperti yang engkau sendiri berikan kepada dirimu.
  • Jangan membayangkan bahwa kebanyakan orang akan akan memiliki pemahaman yang cukup [baik] mengenai dirimu dan kemudian akan menentukan siapa dirimu.

Apa yang harus dikatakan mengenai perilaku atau foto narsismu? Menurut saya (penafsiran dan pemahaman saya pada pemikiran Russel), harus diakui bahwa tindakan atau perilaku narsis memang bersifat self-interest. Apakah itu salah? Tidak juga, karena by nature, tindakan manusia tidak seluruhnya harus altruistik.

Dalam arti itu, perilaku narsis itu lumrah dilakukan, yang penting -- seperti yang dikatakan Russell -- orang tidak boleh menakar diri terlalu berlebihan. Dengan kata lain, menjadi narsis itu silakan saja, yang penting tidak berlebihan. Siapa yang mengatakan apakah suatu perilaku narsis itu berlebihan atau tidak berlebihan? Saya kira itu kembali ke diri masing-masing.

Bertrand Russell juga tampak menegaskan bahwa perilaku narsis itu adalah bentuk dari penghargaan diri seseorang kepada dirinya, semacam gambaran yang positif mengenai diri menurut para psikolog kepribadian. Asal dua maksim pertama itu diperhatikan -- sebagai semacam rambu-rambu -- maka maksim ketiga dan keempat dapat dengan mudah dipahami. Bahwa pada akhirnya perhatian diri sendiri kepada diri sendiri itu akan jauh lebih besar daripada mengharapkan perhatian orang lain.

Dalam arti itu, mengharapkan orang lain memberi caption pada foto diri tetapi kemudian tidak menemukan caption yang menarik atau pas seharusnya tidak dilihat sebagai hal yang negative atau buruk. Karena -- sekali lagi -- hanya diri sendiri yang bisa memberikan penghargaan yang maksimal kepada diri (bdk maksim 3). Itu juga berarti bahwa hanya diri sendiri yang pada akhirnya akan menentukan siapa dirinya (bdk maksim 4).

Penutup
Tulisan ini adalah upaya sederhana saya dalam memahami gejala swafoto. Pemicunya adalah status facebook sahabat karib saya, Rere. Daripada menganggapnya sebagai sebuah tulisan ilmiah, apa yang saya lakukan di sini adalah "memberi penerangan" (sheds the light) atas fenomena swafoto yang de facto ada di sekitar kita dan bahkan kita sendiri mempraktikkannya.

Juga harus diakui, bahwa tulisan ini juga adalah sebuah pemihakan terhadap motif perilaku swafoto, tertutama keberpihakan pada motif yang positif dan afirmatif. Bagi saya, ini sah-sah saja dalam kegiatan intelektual.

Tulisan ini sekaligus memberikan beban tambahan bagi saya untuk membaca lebih lanjut dan lebih detail karya karya Bertrand Russell yang bukunya kami acu di atas. Penafsiran kreatif saya atas pemikiran Russell mengenai narsisme itu tidak murni berasal dari saya. Beberapa pengarang popular juga menggunakan penafsiran ini. Dalam arti itu, penafsiran saya pun terbuka kepada argument kontra bahkan penolakan dari rekan-rekan filsuf lain.

Kepada RIni Kartini alias Rere, terima kasih karena sudah merangsang saya untuk berpikir dan merefleksikan status facebookmu. Terima kasih atas seluruh obrolan kita. Kahlil Gibran pernah mengatakan, "A friend who is far away is sometimes much nearer than who is at hand". Mungkin Kahlil Gibran betul. Diskusi yang bervariasi kadang membawa kita ke pemikiran yang cukup mendalam, termasuk ketika aku berusaha memaknakan status media sosialmu. Stay close and be blessed!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun