Tiba-tiba Prima Sekar Veda Uno, seorang mahasiswi di floor meminta waktu untuk memberi tanggapan, dan segera saya berikan. Rupanya dia ingin menanggapi pertanyaan saya yang kedua. Katanya, "Identitas itu yang membuat kita mengenal Tuhan dengan nama tertentu. Tetapi saya tidak yakin, apakah identitas yang menempel pada Tuhan yang aku yakini memosisikan Tuhanku sebagai yang lebih unggul dari Tuhan orang lain."
Saya pikir kelas ini mulai "gila". Provokasi saya lumayan berhasil. Mahasiswaku sudah mulai berpikir, dan saya yakinkan sepertiga dari mereka mulai serius berpikir. Sekarang giliran saya menyampaikan refleksi saya lebih lanjut. Dan inilah posisi refleksi saya. Pertama, mari kita mengasumsikan bahwa Tuhan ada, dan titik berangkat kita adalah Tuhan ada. Mari kita juga sepakat bahwa Tuhan itu sebuah identitas yang kita berikan kepada suatu realitas transenden, realitas yang melampaui ruang dan waktu kita, dan bahwa realitas itu benar adanya.
Ketika berbicara mengenai yang transenden, Karl Jaspers tampak menegaskan dua hal sekaligus. Di satu pihak, kebenaran itu hanya dapat diinterpretasikan sebagai sebuah elemen dari suatu alteritas radikal dalam nalar. Di lain pihak, kebenaran (baca: realitas transenden) itu tidak lebih dari pengalaman nalar sendiri akan keterbatasan-keterbatasannya.Â
Pertanyaannya, apakah realitas transenden itu ada atau eksis hanya karena nalar menyadari keterbatasannya dalam memahami dirinya? Atau, memang realitas transenden itu benar-benar eksis?
Kedua, jika kita mengasumsikan bahwa Tuhan tidak ada, apakah realitas transenden itu dengan sendirinya ada atau juga tidak ada (non-existent)? Mahasiswa menjawab bahwa realitas transenden itu tetap ada. Menurut Jaspers, jika realitas transenden itu memang benar-benar ada (eksis), nalar yang berhadapan dengannya harus mengalami semacam penyingkapan diri ada (disclouser) terhadapnya.Â
Dalam penyingkapan diri itu, masih menurut Jaspers, "yang-lain" (otherness) atau yang transenden atau alteritas itu membiarkan dirinya "dialami" dan diinterpretasikan nalar. Dalam konteks itu, yang lain atau yang transenden itu tidak tampil ke kesadaran dalam totalitasnya, tetapi sebagai momen atau realitas yang telah terinterpretasikan.
Jika Tuhan atau realitas transenden itu memang benar eksis, memiliki nama tertentu itu tidak penting dari segi dia. "Kebutuhan" untuk memiliki nama itu lebih merupakan kebutuhan manusia. Bisa jadi itu merupakan cara paling sederhana untuk memperlihatkan keterbatasan nalar dalam memahami relasinya dengan realitas transenden, bahwa dengan memberi nama, maka Tuhan dapat dilokalisir, diberi isi, diposisikan dalam ruang dan waktu tertentu?Â
Tetapi identitas itu juga penting sebagai penegasan bahwa Tuhan yang sekarang dipahami nalar itu tidak hanya berbeda, tetapi juga lebih tinggi atau lebih luhur dari tuhan-tuhan lain. Dua hal ini Nampak nyata dalam klaim identitas Tuhan oleh agama-agama samawi.
Belajar dari Perdebatan
Lalu, apa relevansinya bagi diskusi kita hari ini, terutama dalam kaitannya dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa? Saya ingin mengutip Karl Jaspers untuk mendukung argumentasi saya. Kata Jaspers, agama seringkali gagal mengenal dan mengakui bahwa transendensi itu dapat terjadi atau dapat menyatakan dirinya dalam banyak cara. Juga bahwa kebenaran transendensi tidak dapat dibuat konkret sebagai rangkaian pernyataan-pernyataan atau narasi-narasi faktual.