Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tentang Tuhan, Keterbatasan Nalar, dan Klaim Kebenaran Kita

7 April 2018   21:15 Diperbarui: 1 Juli 2018   20:18 2228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kelompok mahasiswa yang presentasi (kiri) mencoba menanggapi pertanyaan saya. Sementara mahasiswa lainnya (kanan) mencoba memahami penjelasan yang diberikan. Foto: Yeremias Jena

Pernyataan semacam ini berdampak serius dalam cara kita memahami sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Adalah tepat bahwa negara RI tidak didasarkan pada agama tertentu, tetapi pada keterbukaan dan keyakinan akan adanya Tuhan. Dalam arti itu, posisi saya jelas, bahwa Tuhan yang ditegaskan dalam Sila Pertama itu lebih tinggi posisinya dari Tuhan sebagaimana diklaim agama-agama. Itulah Tuhan dalam totalitasnya, dalam keseluruhan keberadaannya. 

Dalam konteks pemikiran Jaspers, konkretisasi yang transenden (Tuhan) dalam identitas agama tertentu dan mengklaimnya itu sebagai kebenaran tidak hanya mengkerangkeng Tuhan dalam rasionalitas tertentu, tetapi juga menutup kemungkinan bagi penyingkapan diri Tuhan dalam cara yang lain.

Cara pandang seperti ini juga sebenarnya memudahkan kita berelasi dengan orang yang berbeda agama dan keyakinan. Relasi antarmanusia seharusnya berangkat dari keyakinan epistemik bahwa Tuhan sebagai realitas transenden itu mungkin saja menyatakan dirinya dalam diri dan kesadaran orang lain, dan bahwa orang lain itu menangkap dan memahami dia dalam cara yang berbeda dibandingkan dengan saya. 

Keyakinan epistemik semacam ini yang akan memampukan kita untuk -- dalam setiap relasi antarmanusia -- mengklaim diri dan mengklaim keyakinan agamaku sebagai satu-satunya kebenaran. Padahal, sekali lagi mengutip Jaspers, yang transenden dapat menyingkapkan diri dalam berbagai cara.

Kembali ke dua pertanyaan yang saya ajukan di atas. Pertanyaan pertama -- mengapa manusia merasa bahwa lebih baik percaya pada Tuhan daripada tidak -- harus dijawab dengan menegaskan bahwa kepercayaan kepada Tuhan adalah bagian dari tuntutan nalar, kesadaran akan keterbatasan dirinya, tetapi sekaligus penegasan bahwa Tuhan yang dipahami dalam suatu momen bukanlah totalitas dari Tuhan atau realitas transenden itu. Kesadaran ini seharusnya juga menjadi imperatif bagi kita untuk tidak memaksakan kebenaran agama kita.

Pertanyaan kedua dapat dijawab dengan mengatakan bahwa identitas atau penyebutan kita mengenai siapa itu Tuhan memang penting. Kalau ternyata benar bahwa Tuhan pernah menyatakan dirinya kepada nabi tertentu dan seperti itu identitas dia, kita justru senang, karena Tuhan sendiri menyatakan sebagian dirinya kepada manusia dan memberi ruang bagi nalar untuk memosisikannya sebagai dzat yang dapat dialami, jadi Tuhan bersifat eksistensial. Bahkan karena itu, Tuhan dan kehadirannya dapat memengaruhi perilaku tertentu yang baik, dan sebagainya. Tetapi sekali lagi itu karena kebutuhan manusia untuk menjadi baik dan sempurna, dan bukan kebutuhan Tuhan. Tuhan tidak berkurang kediriannya kalau pun identitasnya tidak pernah dinyatakan.

Chintya , salah seorang mahasiswa saya, menyimak penjelasan saya, lalu mengajukan semacam penyimpulan demikian: agama dapat memutlakkan realitas transenden tertentu dan mengklaimnya sebagai kebenaran tunggal. Dan itu bisa berdampak pada bagaimana agama yang memaksakan klaim kebenaran tunggal itu kepada orang lain. "Jika pun ini benar," demikian Chintya,, "hal semacam itu berbeda dengan pengalaman saya." 

Lanjut Chintya, "Saya berasal dari keluarga Buddha tetapi seluruh pendidikan dasar dan menengah saya ada di sekolah Kristen Methodis. Tetapi sampai hari ini saya masih tetap seorang Buddha, dan bagi saya, agama itu tetap sebuah pilihan dari seseorang yang sedang mencari Tuhan."

Sebagai penutup, saya hanya ingin meneguhkan Chintya  Dengan mengatakan bahwa sebaiknya demikian. Kalau pun kita terpapar dengan Tuhan dalam identitas tertentu dan dibesarkan dalam narasi keagamaan yang penuh dengan identitas tertentu itu, baik untuk diingat, bahwa yang transenden dapat menyingkapkan diri dalam cara lain dan kepada orang lain. Jadi, sangatlah sewenang-wenang kalau kita memaksakan Tuhan kita sebagai satu-satunya realitas transenden yang benar dan unggul.

 Apakah memangn seperti itu realitas transenden atau Tuhan itu dalam totalitas dirinya? Saya pun tidak tahu dengan pasti!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun